Farel kini perasaannya berbalas. Rin, gadis yang menjadi incarannya sejak tahun pertama di universitas. Tak peduli bahwa gadis itu lebih tua, judes, ketus, cuek, dan irit kata-kata. Ia hanya tahu bahwa hatinya tertarik. Tahu nama dan fakultasnya saja tidak. Hanya berbekal pertemuan yang tak disengaja, itu pun hanya sekali, Farel selalu mencari tahu tentang gadis itu. Saat ia sudah mengetahui fakultas yang didiami si gadis, ia lantas dengan cekatan berkenalan.
Kesan pertamanya buruk karena saat pertama bertemu, Farel tak sengaja menabraknya hingga buku yang dipapah gadis itu jatuh berantakan. Kesan kedua, ia berkenalan dengan nada yang bagi si gadis sok bersahabat. Si gadis pun mengernyit dan meninggalkan Farel begitu saja tanpa menjabat tangannya. Tanpa tahu, ia mempermalukan dirinya sendiri.
Tapi lihatlah sekarang. Cintanya berbalas. Rin menerima pernyataan cinta dari Farel, 15 menit yang lalu, di bangku taman belakang kampus yang cukup sepi. Usahanya yang gigih membuat Rin melihat kesungguhan itu. Sebetulnya Rin yang cuek itu bukan berarti tidak peka. Gadis ini justru memiliki kepekaan di atas rata-rata. Rin tidak buta untuk melihat bahwasanya Farel berusaha mendekatinya sedari awal bertemu.
Rin pun memiliki rahasia. Di balik topeng berwajah stoic itu, nyatanya hatinya pun terikat oleh Farel sejak pertama sekali ia melihat lelaki itu mengikuti tes masuk kampusnya. Saat itu, tanpa sengaja, tes yang kebetulan diadakan di gedung fakultasnya berada. Ia yang sedang kebetulan lewat pun berjinjit untuk mengintip ke dalam ruangan yang biasa disinggahinya. Lelaki itu, tersenyum lepas bersama seseorang yang duduk tak jauh di sisi kanannya. Dan saat itu juga, semburat merah menjalar hangat melewati pipi chubby-nya. Rin jatuh pada pandangan pertama.
Bukan, bukan karena Rin sok jual mahal atau sejenisnya. Ia hanya tak ingin salah pilih. Ia tahu, ia tak perlu bersusah payah mendekati lelaki itu karena sejatinya lelaki itu sendiri yang datang padanya. Saat di mana lelaki itu tak sengaja menabraknya, itu bukan sebuah kebetulan, Rin kala itu melihatnya dan ia sengaja berjalan mendekat dengan wajah menunduk, alhasil mereka bertubrukan. Tapi ia langsung mengambil buku itu dan meninggakjan lelaki itu begitu saja. Pertemuan selanjutnya, saat lelaki itu dengan sengaja memperkenalkan namanya, ia menatap bingung. Ingin sekali ia menyapa hangat, namun, dirinya yang memang tak pandai berekspresi menjadikannya sulit berinteraksi, bahkan dengan teman sekelasnya. Ia hanya akan berdeham atau menggerakkan anggota badannya. Ia hanya leluasa saat berbicara pada orang yang benar-benar dirasanya nyaman. Beruntungnya, lelaki itu tidak pantang menyerah.
Di sinilah ia sekarang. Ia baru saja menerima pernyataan lelaki di hadapannya. Ia bukan gadis yang munafik. Setelah melihat ketulusan yang dimilikinya, ia pun mengangguk dan mengatakan rentetan kata yang mampu menghipnotis lelaki di hadapannya itu dan Farel senang bukan main.
Farel memeluk Rin dan sesaat setelah melepasnya ia tersenyum hangat. Tangannya terulur memberikan belaian lembut pada puncak kepala Rin. Gadis itu miliknya sekarang. Sedangkan Rin menunduk. Wajahnya semerah tomat. Ia tak tahu bahwa rasanya akan seperti ini. Afeksi yang diberikan Farel berimbas besar pada psikologinya. Bukan hal buruk memang, tapi ia tetap harus belajar mengontrol emosinya lagi agar tak tampak seperti manekin.
"Aduh, kakak manis sekali.... Makasih udah mau terima pernyataan cintaku."
"Lo jangan muji dan jangan berterimakasih terus-terusan kali."
"Eh? Kok lo? Panggilannya gak bisa manis dikit ya?"
"Enggak."
Rin menepis tangan yang sedari tadi bertengger apik di kepalanya. Ia hanya merasa malu, sungguh. Terlebih Farel ini tak rahu lokasi. Meskipun mereka di tempat yang terbilang sepi, tapi tetap saja, mereka masih di area kampus.
Farel terkekeh. Ia tak menyangka sifat yang biasa ada pada diri kekasihnya itu bisa kembali secepat itu. Mungkin karena ia terlalu bersemangat dan malah membuatnya kesal. Jadi, sikap tersipunya malah tertutup begini. Ah, jangan salahkan Farel bila ia jadi ingin terus menggoda Rin.
"Ayo aku antar kamu ke kelas, sayang."
Semerah tomat rebus. Farel menahan tawanya. Dengan segera ia menggenggam jemari Rin dan menariknya menjauhi taman belakang sebelum Rin melarikan diri dan menghindar lagi.
***
Seminggu berlalu. Kabar Farel dan Rin yang menjalin kasih pun terdengar juga di telinga Tasya dan Richard. Mereka memberi selamat dan mendoakan yang baik-baik. Tidak, bukan mereka. Sebenarnya hanya Richard yang mendoakan. Tasya hanya berdeham saja di setiap doa yang dipanjatkan oleh Richard.
Tasya berpikir. Rin tidak memberitahunya itu adalah hal biasa karena sepupunya itu memang irit bicara. Tapi Richard? Apa benar Farel tidak bercerita apa-apa padanya? Mengingat mereka adalah sahabat, rasanya mustahil bila Farel menyembunyikannya. Sudahlah, urusan mereka.
Richard mengikuti Tasya dari belakang. Ia tersenyum manis dan balas membungkuk saat berpapasan dengan siapa pun. Tasya pun menoleh, alisnya terangkat satu.
"Lo ngikutin gue ya?"
Richard mengangguk dan balas menjawab, "Gue gak lagi ngikutin lo dalam artian stalker kok."
Tasya berhenti tepat di depan kelasnya. Ia menoleh dan menatap bosan ke arah Richard.
"Lalu?"
Richard mengangkat buku panduan serta daftar absensi kelas yang akan dihadiri Tasya. "Gue diminta gantian Pak Marco buat ngisi kelas. Beliau lagi berhalangan hadir. Penanggung jawab kelas lo harusnya udah kasih kabar, bukan?"
Richard berjalan masuk mendahului Tasya. Fakta yang sempat Tasya lupakan adalah Richard ini berotak encer dan seorang asisten dosen. Bukan cuma di satu bidang studi, ia mampu menjadi pion saat ada dosen yang membutuhkan bantuannya, di bidang apa pun yang tentunya berhubungan dengan jurusannya.
Kelas menjadi riuh. Suasananya jadi tidak kondusif untuk belajar. Meskipun penanggung jawab kelas sudah menginteruksikan untuk diam, tetap saja, keberadaan Richard-lah yang membuat kelas menjadi gaduh. Tujuannya mengajar tapi malah berisik seperti itu.
Richard menoleh ke belakang saat tulisan yang ia buat di papan tulis telah selesai. Ya, ia membuat bagan dengan beberapa penjelasan singkat di sana. Tanpa dijelaskan pun seharusnya para adik tingkatnya sudah paham.
"Kak, mau gak jadi pacar aku?" celoteh salah satu mahasiswi yang duduk di tengah. Parasnya imut sekali.
Richard tidak menanggapi pertanyaannya. Ia hanya tersenyum dan mengomando agar seisi ruangan mencatat yang ada di papan tulis selagi ia menerangkan dengan sangat detil namun mudah dipahami.
Tasya melihat gerak gerik Richard di depan sana. Ia duduk di bangku paling belakang. Tangannya tak menulis sama sekali. Ia hanya memasang telinga, mendengarkan dan juga memperhatikan Richard.
Tasya menghela nafas berat. Jatuh cintakah dirinya pada lelaki di depan sana? Hatinya belakangan ini selalu berdetak tak karuan meskipun hanya melihatnya dari jauh. Ya, Tasya sudah jatuh. Namun, perasaan bersalah membuatnya enggan mengakui itu.
Sepanjang pelajaran berlangsung banyak sekali perempuan yang bertanya seputar status Richard, profil, keseharian, dan sebagainya. Bila Richard merasa pertanyaan itu masih di ambang kewajaran, ia akan menjawabnya. Namun, karena banyak sekali perempuan yang bertanya, para lelaki penghuni kelas pun menjadi berang. Tak ayal banyak yang memarahi dan menasihati para perempuan yang berisik itu.
Tasya langsung ke luar kelas tepat setelah alarm pelajaran yang dibawa Richard berbunyi. Karena ia tidak mengeluarkan buku, ia menjadi orang pertama yang keluar dari kelas. Panas rasanya berada di kelas yang isinya banyak perempuan genit. Telinganya bisa tuli.
Tasya tak sengaja menangkap siluet gadis yang diketahuinya bernama Lea, satu tingkat dengan Richard. Gadis itu, gadis yang dilihatnya sewaktu di lapangan saat tengah hari bolong; yang memberikan sapu tangan dan mengusap peluh Richard sehabis berlari. Tasya tahu betul, gadis itu menyukai Richard dengan tulus.
Tasya tanpa sadar memperhatikan interaksi keduanya. Tampak cocok sekali. Richard sudah bertransformasi menjadi the most wanted di kampusnya dan bila disandingkan dengan Lea yang blasteran, mereka sangat serasi. Bak pangeran dan putri di negeri dongeng.
"Ayo ke kantin, asdos Richard!"
Lea terkekeh. Richard yang mendengar pun ikut tertawa. Lea mengalungkan lengannya pada lengan Richard. Richard tampak tak terganggu dengan hal itu. Namun, selang beberapa detik, ia melepasnya perlahan. Ia tak mau membuat Lea tak nyaman dengan penolakannya. Lea terkejut, tapi sama sekali tak menunjukkan raut wajah sedih.
"Maaf, kebiasaan burukku kambuh lagi."
Richard tersenyum tipis. Ia merapikan buku dan absensi. Sebenarnya banyak sekali yang mengerubungi Richard sesaat setelah selesai kelas. Namun, setelah Lea datang, mereka pun pergi begitu saja. Kebanyakan dari mereka tidak menyukai keberadaan Lea.
"Ayo, Lea. Jadi gak ke kantin?"
Tasya mendengar ucapan Richard. Hatinya, entah kenapa berdenyut nyeri.