Bagai petir di siang bolong. Nama Leonard menjadi bahan perbincangan di kalangan mahasiswa/i kampus. Beritanya terpampang di mading tiap fakultas. Richard menarik lembar pamflet itu dan meremasnya. Ia berjalan dengan terburu-buru melewati banyak pasang mata yang menatapnya bingung.
Richard memutar haluan, berusaha membolos sepertinya. Ini pukul delapan pagi, ia baru saja tiba di kampus dan langsung dikejutkan dengan berita tentang kakaknya.
Di persimpangan lorong, ia bertemu dengan Tasya. Ia baru saja ingin menghindar tapi ia urungkan karena melihat perubahan air wajah Richard kala itu. Sontak ia pun menarik lengan lelaki itu saat berpapasan.
"Mau kemana lo? Kelas Pak Rian mau mulai tuh."
Richard menoleh. Ia menggeleng. Tatapannya melembut saat bertemu pandang dengan gadis pujaannya.
"Gue bakal minta izin kok. Ada sesuatu yang harus gue urus sekarang."
Tasya melepaskan cengkramannya dan balik menatap sepasang manik hazel Richard.
"Lo 'kan baru aja sampe. Apa urusan itu penting banget?"
Richard menggulung senyuman. Ia mengangkat tangannya dan menepuk puncak kepala gadis itu dengan lembut, tiga kali.
"Baaanget."
"Soal kakak lo yang lagi jadi trending topic sekampus?" terka Tasya yang kemudian dihadiahi anggukan oleh Richard.
"Lo mau ikut? Gue cuma mau mastiin sesuatu ke abang gue."
Tanpa sadar Tasya mengangguk begitu saja. Ia memiliki kelas, meski masih jam 9 nanti. 'Mungkin gak bakal sempat masuk tapi gue masih bisa hadir di kelas ganti nanti,' batinnya.
"Sorry ya, harus naik transportasi umum."
"Gak masalah. Rumah lo juga gak gitu jauh, 'kan?"
Richard berdeham. Mereka diam sepanjang perjalanan. Richard terlalu sibuk dengan pikirannya dan Tasya sama sekali tak ingin mengganggu Richard. Tak lama di dalam bus, akhirnya mereka pun sampai. Hanya perlu berjalan sedikit saja dari halte untuk benar-benar tiba di kediaman kakak beradik itu.
Sesampainya di depan rumah, Richard langsung membuka pintu dan masuk mendagului Tasya. Ia juga merapikan sepatunya ke dalam rak di sana.
"Duduk aja dan nyamanin diri lo selagi di sini, Sya."
Tasya duduk di sofa, matanya menangkap Richard yang masuk ke dalam. Ia sedang mengambil minum untuk gadis itu. Setelah minum diantar, Richard menyuruh Tasya menunggu di sana sedangkan dirinya harus menemui sang kakak di halaman belakang.
Richard melihat Leo sedang duduk santai dengan perhatian yang seratus persen diberikan pada ponselnya. Leo bahkan tak sadar bila sang adik pulang dan saat ini sudah berada tepat di belakangnya.
"Bang, ada yang mau gue tanyain."
Richard mengambil posisi untuk duduk di sebelah sang kakak yang nampaknya sedikit terkejut. Bahu yang mendadak terangkat naik mengisyaratkan hal itu. Leo pun sontak mengalihkan perhatiannya.
"Kenapa lo jadi model di sana, bang? Apa ayah yang maksa?"
"Enggak. Ini murni kemauan gue sendiri."
Richard melihat Leo memalingkan wajahnya. Ia tahu kakaknya sedang berbohong, hanya saja ia tak mau mendesak sang kakak untuk bercerita lebih dari kemampuannya saat ini.
Richard mendesah. Ia memfokuskan arah pandangnya pada dinding yang didekorasi seperti air terjun mini. Setidaknya itu bisa membuat pikirannya lebih santai.
"Lo jadi hot issue di kampus, bahkan rasanya pamflet itu ada di setiap mading fakultas."
"Haha. Gue jadi seterkenal itu? Repot banget pasti ya. Apa mereka nanyain lo yang macam-macam?"
Richard melirik sang kakak yang tertawa hambar. 'Pembohong ini ...,' batinnya.
"Kalo ngerepotin, kenapa lo masih mau jadi model di sana? Bukannya lo tolak mentah-mentah semua tawaran ayah dari dulu?"
Hening. Leo menarik nafas dan membuangnya dengan berat. Ia sedang mencoba menetralkan emosinya yang entah kenapa ingin sekali meledak saat itu juga.
"Kenapa milih bertahan dalam kepompong kalo jadi kupu-kupu jauh lebih baik?"
Leo menoleh menatap adiknya dengan tersenyum tipis. Richard termangu, ia tak percaya pada kata-kata sang kakak yang ia dengar.
"Gak selamanya jadi kepompong itu cukup, kadang manusia harus mengikuti ulat, kita juga harus jadi kupu-kupu."
"Metafora macam apa itu?"
Richard menaikkan suaranya. Tidak sampai memekik, hanya saja ia benar-benar tak habis pikir melihat sang kakak berucap dengan ekspresi tenang seperti itu.
"Maaf sudah berteriak. Maksud gue, apa lo benar-benar melakukan itu karena ingin? Lo gak lagi nutupin sesuatu dari gue kan, bang?"
Leo mendesah. Ia tahu adiknya tidak mudah dibohongi. Tapi untuk saat ini, dirinya belum bisa memberitahu keadaan sesungguhnya pada sang adik.
"Chie, hidup ini penuh pilihan dan inilah pilihan gue sekarang."
Richard mengangguk kecil selama beberapa kali. Kakaknya keras kepala sekali. 'Masih saja berkilah,' batinnya.
"Baiklah. Kalo terjadi sesuatu, lo bisa cerita. Kita ini saudara dan hanya memiliki satu sama lain. Kalo gitu gue balik ke kampus dan sebaiknya lo gak usah masuk hari ini, nanti gue izinin ke dosen pengampu kelas lo bang."
Leo melihat kepergian adiknya yang menghilang di balik tembok. Ia mendesah, senyumannya sirna begitu saja.
"Benar, Chie. Kita hanya memiliki satu sama lain...."
Leo menatap Richard yang melangkah menjauhinya. Punggung adiknya terlihat sempit dan ia malah mengingat sosok Richard yang lama, seorang yang masih gemuk. Ada gurat kesedihan yang ia tunjukkan di sana. Adik kecil kesayangan yang mati-matian ia lindungi sudah bisa berdiri sendiri dan bisa mengkhawatirkan dirinya seperti itu. Sosok adik yang bisa ia jadikan sandaran kelak. Ia bangga, Richhard bisa menjadi sosok yang seperti ini. Ia berharap, tekatnya yang sekuat baja itu tak akan goyah meski banyak badai menerpa. Tidak sepertinya. Ia lemah akan segala hal.
Tasya melihat Richard yang mendatanginya. Wajahnya sudah tampak sedikit manusiawi dibandingkan dengan yang tadi pagi. Ia langsung berdiri dan menunjuk cangkir di hadapannya.
"Sudah habis, terimakasih minumannya."
"Iya. Ayo kembali ke kampus. Lima belas menit lagi lo ada kelas, nanti terlambat loh."
Tasya menggeleng. Ia menunjukkan layar ponselnya pada Richard. Richard membaca dengan saksama dan mengangguk paham.
"Kalo udah minta izin, sekalian aja pergi sama gue, mau gak? Ada sesuatu yang harus gue beli buat Bang Leo."
Tasya menimang tawaran Richard. Dipikir-pikir ia memang sudah tidak ada jam kuliah lagi setelah itu. Jadi, sekalian saja ia terima daripada sendiri di rumah, bosan.
"Kemana emangnya?"
"Mall."
Richard berjalan ke garasi. Tasya pun mengikuti dari belakang. Ia mengernyitkan dahinya.
"Gak masalah 'kan naik motor? Bakal lama kalo naik transportasi umum yang harus berkali-kali pindah jalur."
"Eum...."
Tasya diam menyaksikan Richard yang memasangkan helm untuknya. Lalu ia beralih melihat Richard yang sudah menaiki motor dan memakai helm. Bahkan Richard sudah memanggil dirinya untuk segera naik, tapi Tasya urung mendekat, ia malah membatu.
Richard membuka kaca helmnya. Ia memanggil nama Tasya sekali lagi dengan sedikit berteriak. Ia menyentuh jemari Tasya yang saat itu tampak melamun.
"Ayo!"