Tasya terbangun saat matahari telah tepat berada di ubun-ubun. Ia melenguh dan sedikit melakukan peregangan bangun tidurnya. Matanya masih terpejam, jemarinya menyentuh sudut matanya yang berair dan satu tangannya menutupi mulutnya yang sedang menguap. Ia mendudukkan dirinya di tepi kasur. Bening matanya melirik jam di atas pintu kamar. 'Sudah jam satu siang rupanya,' pikirnya. Pasang matanya menoleh ke samping. Pusat atensinya beralih pada setangkai mawar putih yang bertengger manis di tengah apitan buku dongeng klasik.
'Tidak. Cukup ingat Vernon aja, Tasya.' Tasya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat. Mencoba menghapus dan menyembunyikan kenyataan bahwa sebenarnya ia sedang ragu.
Suara ketukan di pintu membuyarkan semua kerumitan yang ada di kepala Tasya dan membuatnya menoleh. Alisnya mengernyit bingung. Pikirnya, 'Untuk apa mengetuk, mengapa tidak langsung masuk saja seperti biasa?' Ia beranjak dari kasur dan membuka kenop pintu kamarnya.
Terlihat Rin berdiri dengan wajah super datarnya. Alih-alih bertanya, ia malah memukul kepala Tasya dengan kuat.
"Bisa gak tidur lo gak kayak orang mati?" Tasya mendengkus menanggapi pertanyaan Rin. Matanya berotasi, jengah.
"Gue lagi sakit kalau lo lupa."
Kali ini Rin yang tampak mmerotasikan bola matanya. "Tidur mati lo makin menjadi pas sakit gini. Kurangi kebiasaan itu. Lo itu perempuan, Anak Agung."
Tasya segera masuk dan duduk di tepi kasurnya lagi, diikuti Rin. Rin tahu pasti kemana pikiran sepupunya itu. Lantas, sekalian saja ia memastikannya.
"Hei, Anak Agung, masih keingetan calon suami bule lo itu?"
Tasya menoleh. Pandangan jatuh tepat pada manik kembar sepupunya. Tentu saja, ia selalu memikirkan Vernon. Memangnya siapa lagi?
"Gue harap mereka semua selamat dan kembali ke sisi gue."
Rin melihat tatapan itu menyendu. Rindu yang kian membuncah akan menyiratkan rasa sakit yang begitu nyata. Satu yang ia tahu, sepupunya betul-betul tulus, namun ada yang mengganjal perasaannya.
"Gue pikir lo tadi lagi bayangin Richard." celetuk Rin cukup untuk membuat Tasya terkesiap. Faktanya memang benar. Tasya sebenarnya sedang memikirkan Richard, bukan Vernon. Iru hanyalah pengalihan semata.
Tasya menolehkan kepalanya agar tidak tertangkap pandangan Rin. Sedangkan Rin yang kelewat peka dapat dengan mudah mengetahuinya. Gerak-gerik seperti itu adalah sesuatu yang sangat mudah dibaca, menurutnya.
"Gue cuma mikirin Vernon, kekasih gue, calon suami gue."
Rin menghela nafas perlahan. Sepersekian detik ia bangkit dan meletakkan tangannya di bahu Tasya. Caranya menatap pun melembut, ia berkata. "Kalo Vernon kembali, apa pun keputusan lo, bulatkan. Lo harus belajar memperjuangkan dan mengikhlaskan pada waktu yang sama."
Rin melangkah ke luar meninggalkan Tasya yang kini tercenung. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan dalam hati ia memikirkannya begitu keras. 'Sampai mana? Sampai mana lo tahu, kak?' Kira-kira begitulah isi pikirannya.
***
Sepekan berlalu dengan damai. Setidaknya untuk Farel. Karena sang adik, Rayhan, sudah dibelikan motor oleh ayahnya setelah merengek selama hampir 5 hari. Jadilah Farel dengan leluasa menjadi ojek pribadi bagi Rin.
"Maaf El, Tasya udah sehat. Jadi, mulai sekarang gue bakal berangkat bareng dia lagi."
Farel mendesah. Ia tidak akan dapat pelukan dari gebetannya lagi.
"Jangan jadikan gue sebagai alasan. Gue bisa pergi sendiri." sanggah Tasya yang muncul dari belakang Rin. Ia mengunci pintu.
"Enggak boleh. Lo baru aja sehat. Jadi, gak boleh capek."
"Kasih aja sini kunci mobil lo. Gue bisa nyetir sendiri."
Satu alis Rin terangkat. Ia ragu. Sempat ia menoleh pada Farel dan di beri anggukan oleh Farel.
'Akhirnya,' batin Farel penuh suka cita.
Rin pun setuju dan menyerahkan kunci mobilnya pada sepupunya. Sebelum pergi ia tentu mewanti-wanti Tasya agar hati-hati.
Pagi hari, pukul sembilan tepat. Kampus masih terbilang sepi. Hanya ada beberapa mahasiswa yang berlalu lalang di sana. Tampak Tasya berjalan menyusuri koridor. Tangannya menyisipkan sebuah hairpin sederhana yang senada dengan blouse turqoise yang dikenakannya. Di tengah lorong ia berhenti dan sedikit menunduk. Rambut hitam panjangnya tampak bercahaya saat sinar mentari pagi tepat mengenai sebagian tubuhnya.
"Cantik seperti biasa."
Tasya menoleh. Ia melihat pria jangkung dengan wajah tampannya. Ia membuang nafasnya kasar.
"Terima kasih pujiannya, Bani."
Alih-alih pergi, pria itu malah mengikuti dan mengajak Tasya berbicara. Yang pasti, Tasya hanya membalasnya dengan jawaban singkat, bahkan terkadang dengan hm saja.
Tanpa basa-basi, saat Tasya melihat Richard yang berjalan dari arah berlawanan, ia menarik cepat lengan itu dan beralasan pada Bani.
"Syukurlah lo udah sembuh, Sya."
Percakapan itu dibuka oleh Richard. Sontak Tasya melepaskan tangannya dan melangkah mendahului Richard. Tipikal seorang Tasya sekali.
"Sebentar. Ada yang mau gue omongin ke lo."
Tasya melirik genggaman tangan Richard yang berada apik di tangannya dan sama sekali tak mencoba melepasnya. "Ngomong aja sekarang".
"Enggak bisa. Jangan di sini. Ikut gue bentar ya."
Richard kemudia membawa Tasya ke suatu tempat yang mana tak begitu ramai dan jarang sekali mahasiswa/i lain melewati tempat itu. Namun bukannya berbicara, Richard malah diam saja sepanjang perjalanan. Akhirnya hanya ada keheningan yang menyambut. Getaran lembut terasa merasuk ke dalam hati keduanya. Tak ada satupun yang berusaha melepaskan eratnya genggaman tangan itu.
Sesampainya di tempat tujuan, akhirnya Richard melepas genggamannya. Ia mendudukkan dirinya di bangku panjang di mana pertama kali dirinya memberikan roti melon serta susu strawberry untuk Tasya. Kilasan kenangan itu berlalu di pikirannya. Seketika ia tersenyum singkat.
"Lo mengerikan."
Richard tersentak. Ia pun menoleh ke arah sang gadis. "Oh ya? Gue cuma lagi ingetin sesuatu secara gak sengaja. Lucu banget."
"Gue gak tanya alasan lo."
Tasya mengambil posisi tepat di depan Richard. Matanya menatap manik hazel Richard dan kedua tangannya tertata rapi di atas meja.
"Apa yang mau lo omongin tadi?"
"Gak ada. Gue cuma mau kasih ini."
Pasang mata Tasya berpendar indah. Tangannya menerima apa yang diberikan oleh Richard dengan mudahnya.
"Stalker."
Richard terkekeh. Bukan stalker. Hanya terlalu memperhatikan sampai hapal hampir semua rutinitas si gadis pujaan.
"Bukan gitu. Roti dan susu kan emang kesukaan lo. Gue gak sengaja merhatiin. Lalu syal itu gue kasih karena hari ini dingin dan lo tipe yang acuh buat menyadari itu. Ingat ya, lo baru aja sembuh."
Tasya menarik sudut bibirnya, samar. Bentuk perhatian itu, sama seperti yang ayahnya berikan. Ayahnya memang tipikal ayah dengan rasa khawatir yang berlipat kali lebih banyak, bahkan dari sang ibu.
"Terima kasih."
Richard mengangguk. Sedetik kemudian, ia bangkit dan mengambil alih syal itu. Tangannya terulur untuk melilitkan syal itu ke leher Tasya.
Di lain waktu, Leo merenggangkan tubuhnya. Hari ini dirinya punya banyak sekali tugas. Tubuhnya terasa terlepas dari tulangnya. Ingin sekali ia segera merebahkan diri di kasur empuk miliknya.
Leo melangkahkan kakinya memasuki pekarangan. Ia melihat adiknya sedang di ambang pintu, menatap ke arahnya. Ia pun segera menutup pintu gerbang dan berjalan ke pintu masuk.
Adiknya, Richard, bingung. Raut wajah kakaknya menampakkan keletihan yang berlebih. Setahunya, sang kakak tidak ada jadwal kampus sampai selarut ini.
Maksud hati, Richard ingin sekali bertanya. Namun ia mengurungkannya. Wajah letih itu tampak tak sedang ingin ditanya. Dan benar saja, kakaknya menyapa sebentar lalu berjalan melewatinya dan langsung menuju kamarnya.
'Apa tingkat enam sebegitu sibuknya? Oh ya, kakak seharusnya sudah mulai melakukan penelitian,' batin Richard menerka.
Richard mengunci pintu dan berjalan memasuki kamarnya yang berada di lantai dua. Sedangkan sang kakak, kamarnya ada di lantai bawah, tepat di sebelah ruang keluarga.
Richard berjalan ke balkon kamarnya. Ia dapat melihat jalanan di depan rumahnya yang tak terbilang ramai. Suasana komplek perumahannya memang lumayan sepi. Tapi itu yang disukai Richard. Ia dapat menenangkan pikiran dan melepas segala penat yang seharian hinggap di dirinya.
"Kerumitan seakan suka sama gue. Gak Tasya, ayah, ibu, bahkan bang Leo."
Pendarnya menerawang jauh ke angkasa. Teduhnya langit disertai taburan bintang menghipnotis dirinya. Ia sangat menyukai astronomi tapi malah terjebak di jurusan yang sekarang ia diami.
Ia mendesah, kecewa. Tapi apa lagi yang mampu diharapkannya? Ia sendiri yang memutuskan untuk beralih mengambil jurusan bisnis. Padahal kala itu, ia sudah diterima saat tes masuk jurusan astronomi.
"Gue harus bersyukur. Seenggaknya banyak yang berubah dan semua itu hal yang positif."
Richard tersenyum. Ia menerawang lagi. Bila saja ia diterima di jurusan astronomi, ia mungkin tidak akan bertemu pujaan hatinya yang notabene pengubah hidupnya.
Benar, Tuhan punya cara yang indah agar rasa kecewa itu berimbang dengan rasa bahagia, atau bahkan lebih.