Pukul tujuh malam Haikal baru kembali. Tentu saja ia membawa oleh-oleh berupa seblak dan minuman matcha untuk pacar kesayangannya. Dan jangan lupakan perihal pertambahan memar di wajah Haikal akibat perkelahian singkat dengan Anta tadi juga menjadi oleh-oleh untuk Bella.
Pulang dari gedung olahraga dan membeli seblak tadi, ia tidak langsung pulang ke rumahnya, melainkan ke rumah Bella terlebih dahulu.
Haikal memencet bel rumah Bella. Padahal biasanya ia langsung menyelonong masuk.
Bella membuka pintu rumahnya dan menatap Haikal yang berdiri dengan satu tangan memegang plastik seblak dan minuman matcha, dan tangan lainnya di masukkan ke dalam saku jaketnya.
"Kal," sapanya dengan senyuman yang terukir indah di wajahnya.
Haikal membalas senyuman Bella. Namun, sepersekian detik kemudian, senyuman di wajah Bella itu luntur dan digantikan oleh ekspresi murung.
Bella maju dan memegang wajah Haikal dengan kedua tangannya. Ia menggerakkan kepala Haikal ke kanan dan ke kiri. Ia memperhatikan wajah Haikal dengan begitu intens. "Perasaan ini sama ini tadi nggak ada, deh, mempunyai. Kenapa sekarang malah ada?" tanya Bella sambil menunjuk dua memar baru di wajah Haikal.
Haikal menjauhkan wajahnya dari tangan Bella. Ia tidak ingin membuat Bella khawatir lagi akan hal itu. "Perasaan lo doang, kan?" tanyanya.
Bella langsung menggeleng. "Nggak, nggak! Ini bukan perasaan doang, ini beneran, Kal!"
"Tadi katanya perasaan," jawab Haikal.
"Gue ralat. Fix, sih, ini memar baru. Gue hafal letak memar di wajah lo, Kal."
Haikal menghela napas dan menggeleng kecil. "Pesanan lo." Ia mengangkat plastik seblak dan minuman matcha itu.
Bella mengambil alih plastik itu dari tangan Haikal. "Iya, makasih," jawabnya dengan ekspresi datar. "Tapi lo jangan coba mengalihkan pembicaraan, ya! Memar baru lo itu dari mana?"
"Dari sahabat jadi cinta," jawab Haikal, asal.
"Kal!" sentak Bella. "Bukan waktunya bercanda, Kal. Gue nanya serius."
"Gue jawab serius."
"Lo berantem sama siapa tadi? Di mana? Karena apa?" Satu pertanyaan saja belum tentu bisa dijawab jujur oleh Haikal, Bella malah menyerang Haikal dengan banyak pertanyaan.
"Gue nggak berantem," tekan Haikal. Nah, benar, kan, Haikal tidak akan mau jujur.
"Lo bohong," jawab Bella.
Haikal membuang muka. "Terserah, Bel, gue capek. Nggak mau berantem."
"Ya, makanya, jawab gue!"
Haikal kembali menghela napas. "Udah gue jawab, kan, tadi? Lo lupa?" sinisnya.
"Yang gue pengen jawaban jujur."
"Berapa kali harus gue bilang, Bel? Nggak semua hal di dunia ini harus kita ketahui. Ini urusan gue." Haikal mengingatkan Bella atas ucapannya beberapa waktu yang lalu. Mendengar ucapan Haikal seperti itu, Bella langsung diam membeku. Ia berpikir, apakah ia terlalu mencampuri urusan Haikal?
Beberapa detik kemudian, Bella menatap dalam manik mata Haikal. "Apa salah kalau gue peduli sama lo?"
Haikal tersenyum sinis. "Lo bukan peduli, tapi terlalu mencampuri! Lo terlalu ikut campur setiap urusan gue, Bel."
Lagi-lagi Bella tersentak akan ucapan Haikal. Sangat sakit rasanya saat Haikal mengatakan dirinya terlalu ikut campur. Padahal itu murni atas dasar kepeduliannya kepada Haikal sebagai sahabat sekaligus pacarnya.
Bella geleng-geleng tak percaya. "Cuma karena gue nanya tentang itu, lo malah mengklaim gue terlalu mencampuri urusan lo? Lo sehat, Kal? Gue rasa nggak. Lo udah nggak bisa bedain mana peduli, mana ikut campur. Gue sahabat, sekaligus pacar lo kalau lo lupa," ucapnya dengan menekankan kata 'pacar'.
"Iya. Gue mengklaim seperti itu. Hak gue, kan?"
Jawaban dari Haikal benar-benar di luar ekspektasi Bella.
Bella tertawa tak percaya. "Gila lo, Kal!" Ia menatap Haikal penuh arti. "Apa kabar dengan lo yang selalu memcampuri seluruh aspek kehidupan gue? Lo nggak pernah membiarkan gue hidup bebas," lanjutnya.
Mendengar itu, Haikal langsung menatap Bella dengan tatapan menusuk. "Beda urusan, Bel. Jangan disamain!" tegasnya.
"Apa yang beda? Sama-sama urusan manusia, kan?"
Haikal membuang napas lelah. "Bel, tolonglah! Itu urusannya beda, jangan disamaratakan semua!"
Bella menaikkan kedua alisnya. "Kenapa, Kal? Alasannya apa? Lo mau jawab karena itu wasiat orang tua gue, kan? Lo harus memenuhi tanggung jawab itu, kan? Basi, Kal!"
"Bel!" tegur Haikal.
"Apa?" balas Bella cepat dan menantang.
"Lo udah kelewatan."
"Lo selalu jadiin orang tua gue tameng untuk memcampuri urusan gue. Dan gue apa? Cuma cewek lemah yang nggak punya kekuatan untuk ngelawan lo."
"Udah, Bel!"
"Apa yang udah, Kal? Lo tersinggung karena gue bicara fakta?"
Kini keduanya saling menatap tajam. Berusaha menahan emosi yang memungkinkan di ubun-ubun keduanya.
"Terserah bangsat! Capek gue. Ngomong sama lo emang nggak pernah sejalan."
Hati Bella bagaimana tertusuk ribuan jarum. Ini adalah kali pertama Haikal mengumpat kepadanya. Biasanya, semarah apapun Haikal, sebesar apapun masalahnya, ia tidak akan pernah mengeluarkan kata tak pantas untuk Bella. Namun, kali ini kata itu lolos dari mulut Haikal hanya karena masalah yang sangat sepele.
"Urus aja hidup lo sendiri!" ucap Haikal dan meninggalkan Bella sendirian dengan rasa sakit yang tertahan.
Bella menatap kepergian Haikal hingga lelaki itu tak tampak di matanya. Tanpa sadar, setetes air mata jatuh dari matanya, tetapi ia langsung menghapusnya. Bella memang cengeng. Apalagi karena hal seperti ini. Sungguh sakit dikatai seperti itu oleh orang yang paling ia sayangi.
"Lo jahat, Kal," gumamnya sambil menahan tangis. Ia mereka kuat plastik yang membungkus seblak dan minuman matcha pemberian Haikal.
Tak ingin berlama-lama menahan tangis, ia masuk ke rumah dan menuju kamarnya. Di sana, ia melepaskan segala sesak dan tangis yang sedari tadi ia tahan.
"Lo ... jahat ..., Kal," isaknya.
Dalam tangis, ia berusaha untuk mengingat hal indah yang pernah dilaluinya bersama Haikal. Ia berharap dengan itu tangisannya bisa mereda. Ternyata tidak. Tangisannya justru makin parah setiap mengingat hal indah bersama Haikal. Ia malah berpikir, ternyata seindah itu kebersamaannya dengan Haikal dulu, tidak seperti saat ini. Itu membuatnya merasa gagal menciptakan kesenangan bersama Haikal dan berakhir dengan menangis sejadi-jadinya.
"Sakit, Kal ..., denger itu tadi ...."
"Gue ... gue bakal urus hidup gue sendiri .... Sesuai ucapan lo tadi."
Ia masih terus terisak. Terisak karena Haikal memang sudah menjadi rutinitasnya.
Beberapa menit kemudian, ia mengangkat kepala dan menghapus air matanya. Ia mengambil foto kedua orang tuanya yang ada di atas meja nakas. "Ma, Pa, maafin aku yang selalu nyusahin kalian. Bahkan di saat kalian udah nggak ada di dunia ini, aku tetap menyusahkan kalian dengan ikatan tanggung jawab Haikal atas kalian. Makasih karena udah nitipin aku ke orang-orang baik seperti keluarga Haikal, tapi mungkin udah saatnya untuk aku berdiri di kaki aku sendiri, Ma, Pa." Ia mengusap foto kedua orang tuanya. "Jangan marah ke Haikal kalau dia nggak menjalani tanggung jawab, ya, Ma, Pa! Itu keinginan aku."
"Selamat malam, Ma, Pa. Selamat malam, Haikal."
Setelah itu, ia berbaring dan berusaha tidur dengan memeluk foto kedua orang tuanya.