Bella menatap lama ke arah rumah Haikal sebelum ia berangkat sekolah, lebih tepatnya arah kamar Haikal. Ia teringat bahwa hari ini Haikal tidak masuk karena sanksi skorsnya. Tidak apalah, artinya ia tidak akan melihat Haikal bersama gadis lain di sekolah hari ini, pikirnya.
Setelah memandang cukup lama ke arah kamar Haikal, tiba-tiba Lia datang dengan motor vespa matic orange kesayangannya untuk menjemput Bella.
"Nggak orangnya, nggak kamarnya, semuanya selalu berhasil menarik perhatian lo, ya," ujar Lia saat Bella baru saja menaiki motornya.
Lia mulai melajukan motornya menuju sekolahan. "Semua tentang dia seindah itu, Li," balas Bella sambil sedikit termenung.
Lia melirik Bella melalui kaca spion, lalu ia menggeleng pelan sambil sedikit tersenyum. "Mencintai sewajarnya aja, ya. Bel. Gue yang nggak siap kalau lo patah hati semalam lo jatuh hati."
Bella tersenyum kecil. "Udah telat, Li. Gue udah seterlanjur itu dalam mencintai dia dengan ketidakwajaran."
"Sorot mata lo sedih. Masalah apa kali ini?" tanya Lia yang kelewat peka.
Bella tertawa. "Bisa nggak, sih, Haikal jadi sepeka lo? In my dream banget, hahaha."
"Itu sadar. Yang bisa begini cuma gue, Bel," canda Lia.
"Tadi malam dia bonyok lagi."
Lia melirik Bella melalui kaca spion. "Lagi?" tanya Lia sedikit tak menyangka. Bisa-bisanya Haikal mendapat banyak luka dan memar dalam satu hari.
Bella mengangguk. Kejadian tadi malam masih teringat jelas di benarnya. Mulai dari bagaimana Haikal melarangnya untuk tidak ikut campur, sampai lantaran kata kasar Haikal kepadanya.
"Pas gue tanyain, dia bilang jangan ikut campur." Ekspresi wajah Bella sangat murung saat ini. Lia menjadi tak tega untuk membiarkan Bella melanjutkan ceritanya.
"Nggak sekali dua kali, Bel, dia bilang jangan campuri urusan dia. Harusnya lo nggak usah peduliin dia. Setiap kepedulian lo, dia selalu marah. Gue yang kesel," ucap Lia.
Memang benar ini bukan kali pertama Haikal melarangnya seperti itu. Namun, apa sesalah itu jika ia hanya ingin peduli pada Haikal? Haikal membuat kepedulian itu seolah sangat terlarang. Ia juga tidak pernah berkaca bagaimana ia terlalu mencampuri urusan Bella. Sangat wajar jika Bella menaruh kekebalan yang mendalam akan hal itu.
Bella menghela napas. "Lo paham kan, Li, gimana perasaan gue ke dia? Nggak mungkin gue bisa biasa aja pas lihat dia begitu. Gue nggak baik-baik aja kalau dia kenapa-napa, Li."
Lia menghentikan motornya karena saat ini mereka berada di lampu merah. "Gue paham betul, Bel, tapi masalahnya ini bukan pertama kali dia begitu. Ada banyak cerita sejenis dari lo yang gue denger. Udah cukup, Bel, lo diginiin. Kalau lo aja bisa mengabaikan sakit hati lo saat dia begitu, kenapa lo nggak bisa mengabaikan dia juga?"
Bella mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Lia. Bibirnya terasa mudah jika hanya untuk mengatakan 'mulai sekarang gue nggak mau peduli sama dia lagi'. Namun, lain halnya dengan hati yang sangat sulit menerima itu. Hatinya berkata tidak akan pernah melakukan itu. Ia akan selalu peduli dengan Haikal apapun keadaannya. Sekelas apapun Haikal melarangnya untuk tidak campur, ia akan tetap mencampurinya jika Haikalnya kenapa-napa. Namun, ingatan yang kembali berputar di saat Haikal mengatainya. Untuk sepersekian detik hatinya menjadi murka pada Haikal karena itu, tetapi setelahnya, ia kembali menjadi Bella yang lemah jika sudah berkaitan dengan Haikal.
Lampu merah berpindah ke lampu hijau. Lia kembali melakukan motornya. Mengejar waktu demi sampai ke sekolah dengan tepat waktu.
"Kenapa gue nggak bisa mengabaikan Haikal?" tanyanya pada diri sendiri.
"Memang itu yang lo butuhin. Tanya ke diri lo apa alasannya. Apa yang salah sehingga lo rela sakit berulang kali demi dia." Lia benar-benar kasihan dengan temannya itu. Baru juga beberapa hari pacaran, sudah ada saja masalah yang menerpa. Kekhawatiran terbesarnya adalah jika suatu saat nanti Bella dan Haikal harus putus, bagaimana dengan Bella? Apa ia siap menerima kenyataan seperti itu nantinya? Apa ia siap jika harus menjalani hubungan canggung dengan Haikal setelah putus? Ia tau, Haikal memang lebih lama menjadi sahabat Bella, tapi selama apapun hubungan itu, yang salah akan tetap salah, kan? "Jadi sekarang lo sama dia gimana? Diem-dieman?" lanjutnya bertanya.
Bella mengangguk. "Kayaknya kami butuh silent treatment untuk beberapa waktu."
"Semoga setelah ini hubungan kalian lebih membaik."
"Thanks, Li." Bella terdiam untuk beberapa saat. "Kayaknya ke depannya dia bakal nggak peduli sama gue lagi, Li," lanjut Bella.
Lia melirik ke arah kaca spion. "Kenapa begitu? Sebelumnya dia selalu peduli semua tentang lo, kan?"
"Iya, sebelum akhirnya dia bilang untuk gue urus hidup gue sendiri. Memang itu keinginan gue, sih. Tapi tetap sakit rasanya pas denger dia bilang begitu. Lo paham, kan, sakitnya gimana orang yang kita sayang mutusin buat nggak peduli lagi sama kita?" Bella tampak sangat sedih akan hal ini. Dapat dilihat dari sorotan matanya saat menceritakan hal itu.
"Mau dia peduli atau nggak sama lo, inget, lo nggak sendiri. Lo punya gue. Dan inget, Bel, lo punya Tuhan. Dia yang selalu peduli sama lo, nggak pernah berhenti. Memang nggak ada yang bisa diharapkan dari seorang manusia, Bel. Apalagi manusia kayak Haikal. Udah playboy, doyan berantem, suka nyakitin lo, hidup lagi," kesal Lia. Ia mengeluarkan segala uneg-unegnya kepada Haikal yang mungkin selama ini tertahan.
Bella tertawa mendengar kalimat terakhir dari ucapan Bella. "Bel, gitu-gitu dia juga pacar gue," balas Bella diselingi kekehannya.
"Iya, pacar lo yang nggak tau diri itu. Udah punya lo masih aja mepet cewek lain. Kesel banget gue."
Bella tertawa lagi. Lia merasa senang mendengar tawa temannya yang sedang sedih itu. Setidaknya itu membuatnya merasa sedikit berhasil menjadi seorang teman. Ya, walaupun ia membuat Bella tertawa dengan cara yang salah, sih.
Bella memukul kecil lengan Lia. "Udah, ah, Li. Kasihan cowok gue ntar keselek lagi pas sarapan."
"Nggak papa. Biar tenggorokannya nggak bisa ngeluarin suara khas buaya jantan lagi."
Bella lagi-lagi tertawa. Ia memegang perutnya akibat tawanya itu. "Li, udah, please. Gue capek banget ketawa," pintanya.
Jika sikap Haikal dijadikan bahan candaan seperti ini, ia bisa tertawa. Namun, jika sikap Haikal yang playboy dan buaya itu ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia malah sakit hati bukan main.
"Udahlah, Bel. Kata gue percintaan jaman SMA jangan terlalu dibawa serius. Ini masih permulaan. Belum tentu dia jodoh lo, kan? Bahkan jika keinginan lo seperti itu."
Bella mengangguk paham atas ucapan Lia. Namun, tentu saja itu hanya sekadar anggukan. Yang namanya Bella, ia akan terus membawa serius hubungannya dengan Haikal.