Haikal tengah menikmati goreng bakwan di Ngege—warung belakang sekolah yang menjadi tempat favorit mereka jika bolos. Walaupun diskors, ia tetap datang ke area sekolah untuk menghilangkan rasa bosan di rumah. Ia ditemani oleh Jiro dan Adan yang tengah cabut jam pelajaran fisika.
"Gue minta maaf soal kemarin," ujar Adan dan mengambil satu bakwan yang ada di depan Haikal.
Haikal menatap Adan sekilas, lalu ia mengangguk. "Gue juga minta maaf."
"Gini kan adem," ujar Jiro sambil menatap kepada dua temannya itu.
"Lo ngapain ke sekolah, sih? Enakan juga di rumah. Udah untung diskors bukannya dimanfaatin dengan baik," tanya Adan. Memang teman Haikal yang satu ini rada edan.
Haikal memajukan kepalanya agar dapat menatap Adan lebih dekat. "Lo pikir gue di rumah mau ngapain? Bantuin bunda bikin bolu susu?"
Adan dan Jiro tertawa atas penuturan Haikal. Benar juga kata cowok itu. Haikal tidak memiliki saudara dan teman jika di rumah, pastinya ia akan merasa sangat bosan.
Jiro mengambil satu botol teh pucuk yang ada di depannya dan segera meminumnya. "Udah lama juga gue nggak ngerasain bolu susu rumah lo," ucapnya setelah menghabiskan setengah botol teh pucuk.
Haikal mengeluarkan smirknya. "Kalau mau main ke rumah langsung aja, jangan ngode begitu, gue nggak peka."
"Ya temen lo tolol, sih," ejek Adan.
Jiro melemparkan tatapan sinis nan mematikannya pada Adan. Namun, tatapan itu sama sekali tidak membuat mental Adan goyah. "Mau kapan, nih?" tanya Jiro.
"Balik sekolah inilah."
"Gimana, Kal?"
"Ya, terserah, sih. Rumah gue always open house," jawabnya.
"PS aman, kan?" tanya Adan.
"Selalu aman. Emang PS-nya Jiro yang ditekan dikit stiknya langsung mati layarnya," jawab Haikal sembari menghina.
"Yee, gue udah dibeliin PS baru sama bokap, kalau lo pada mau main gas keun."
"Ciaelah, anak bokap," ejek Adan.
"Kenapa? Lo nggak punya bokap, ya?" tanya Jiro terdengar mengejek.
"Bapak gue dua tolol!"
"HAHAHAHA, GUE LUPA. Banyak bener bokap lo, Dan."
Adan tidak mau kalah untuk menghina Jiro. "Sumber uang kok satu? Dua dong!"
Haikal menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan absurd kedua temannya itu. Candaan mereka memang terkesan gelap, tapi percayalah, mereka tidak akan memasukkan ke hati atas segala candaan itu. Bagi mereka itu adalah hal yang sangat biasa.
"Kal," panggil Adan.
"Oit."
"Si Anta tadi nyariin lo," ucapnya.
Satu alis Haikal terangkat karena ucapan Adan barusan. Ada apa gerangan Anta mencarinya? Bukannya tadi malam mereka baru saja tonjok-tonjokan? Apa Anta ingin tonjok-tonjokan sesi dua?
"Kenapa, dah?" tanya Haikal.
"Ngajak tanding basket satu lawan satu."
Haikal hampir tersedak bakwan karena mendengar keinginan Anta. Setelahnya ia malah tertawa meremehkan. "Antanjing? Ngajak gue tanding basket? Satu lawan satu pula?" tanya Haikal tidak percaya.
Adan dan Jiro mengangguk mantap atas pertanyaan Haikal. "Cih, yang bener aja! Gue aja udah kebayang wajah memerah dia pas kalah nanti."
"Gue juga, hahaha. Lo pada bayangin, urat dia pada keluar semua nanti. Inget waktu classmeet tahun lalu? Tim basket kelas dia kalah ngelawan kelas kita. Bukannya terima dia malah gebrak meja. Edan emang musuh lo, Kal," ucap Jiro mengenang saat-saat kemenangan mereka.
"Dia bukan musuh gue, tapi calon temen," ujar Haikal santai.
"Gue ogah temenan sama dia," ucap Adan sambil menghidupkan rokoknya.
"Apalagi gue. Duluan aja, Kal, kalau mau jadi temen dia. Kita belakangan aja. Ya, nggak, Dan?"
"Jangan terlalu benci, ntar jadi cinta."
"DIH? AMIT-AMIT!!!"
Haikal tak kuasa menahan tawanan saat melihat ekspresi wajah teman-temannya ketika ia mengatakan hal menjijikkan itu.
"Jadi, mau kapan duelnya?" tanya Haikal.
Jiro dan Adanya saling tatap, lalu mereka menaikkan kedua bahunya sebagai isyarat tidak tahu. "Mending lo tanya langsung sama calon temen lo itu," ucap Adan.
***
"Aduh." Bella mengaduh karena tak sengaja menabrak seseorang saat berjalan di koridor.
"Kalau jalan matanya fokus ke jalan, jangan ke ponsel!"
Bella sedikit mendongak untuk dapat menatap orang yang telah ditabraknya. "Lo lagi?!!!" kesalnya saat mengetahui orang itu.
"Ya, kalau gue kenapa?"
Bara. Orang yang ditabrak Bella adalah Bara. Kenapa dari banyaknya siswa-siswi di sekolah ini ia harus menabrak Bara? Bisa tidak jika ia menabrak Haikal saja?
Bella berkacak pinggang sambil membulatkan matanya. "Gue udah gedeg banget lihat muka lo dan setelah apa yang lo lakuin, mulai dari nyeret gue, hukum gue, marah-marahin gue dan sekarang lo masih berani untuk nabrak gue? Punya akal nggak sih, lo?"
"Bentar-bentar." Bara tentu tidak terima atas ucapan Bella barusan. Kenapa malah jadi dirinya yang disalahkan? Sudah jelas-jelas dia yang salah malah menyalahkan orang. "Kenapa jadi lo yang marah-marah? Posisinya di sini yang salah itu lo, bukan gue. Harusnya gue yang marah dan nanya lo itu punya akal atau nggak," lanjutnya.
Bella tertawa remeh. "Kalau lo perhatiin jalan baik-baik pastinya kita nggak bakal tabrakan. Lo pasti bakal ambil jalan lain kalau lihat ada objek di depan lo," kesal Bella.
"Ya, gue perhatiin jalan dengan sangat baik, tapi gue nggak lihat kalau ada lo sebagai objek yang beresiko untuk menabrak gue." Bara tetap pada pendiriannya bahwa ia tidak salah. Begitu pula dengan Bella. Keduanya tidak ada yang ingin disalahkan.
"Oh, atau jangan-jangan lo sengaja nabrakin diri ke gue, ya? Mau cari kesempatan, kan, lo? Ngaku!" tuduh Bella.
Bara mengeluarkan smirknya dan mengangkat sebelah alisnya. "Dari sekian banyak cewek di sekolah ini kenapa harus lo yang kepedean begini?"
Bella semakin kesal karena pertanyaan Bara barusan. Memang cowok itu paling jago dalam urusan memancing emosi Bella. "Gue bukan kepedean! Memang begitu kenyataannya!"
"See if i care," ucap Bara sambil membuang muka. "Di sini posisinya tetap lo yang salah karena udah nggak fokus pas jalan."
"Enak aja! Lo yang cari kesempatan!"
"No! Lo yang salah dan lo harus dihukum."
Bella menganga setelah mendengar perkataan Bara barusan. Hukuman lagi? Yang benar saja?
"Hukuman lagi? Brengsek lo! Dikit-dikit hukuman! Ini udah nggak sejalan sama kewajiban lo seharusnya."
"Tenang aja. Hukumnnya nggak seberat tadi."
"Pala lo tenang." Bella menatap tajam dan menantang pada Bara. "Minggir! Gue mau pulang."
Bara menghalangi jalan Bella untuk pulang. "Selangkah lebih dekat dengan hukuman lo."
"Nggak jelas lo! Mending urusin OSIS sana daripada ngurusin gue!"
Bara hanya mengabaikan ucapan Bella. Ia justru menatap lekat pada gadis itu hingga membuat Bella salah tingkah. "Lo mau pulang, kan?" tanyanya dan langsung diangguki Bella. "Karena lo udah nabrak gue, lo harus dihukum. Hukumannya anterin gue pulang."