Selesai urusan dengan pacar kesayangannya, Haikal kembali melajukan motornya menuju ke rumah gebetannya, Inka. Selama perjalanan, pikirannya tak terlihat dari Bella, gadis cantik yang sudah mengisi hidupnya selama bertahun-tahun. Setiap mengingat tentang Bella, bibirnya pasti akan mengukir senyum yang indah dan matanya akan menyorotkan sinar kebahagiaan. Bella adalah segala-galanya bagi Haikal. Ia tidak bisa membayangkan akan sehancur apa hatinya, segila apa jiwanya dan seberantakan apa hidupnya jika tidak ada Bella di sisinya.
Tak lama kemudian, tempat yang ia tuhu sudah di depan mata. Ia menghentikan motornya dan segera turun untuk memencet bel rumah Inka.
Pintu rumah Inka dibuka dan menampakkan pria paruh baya dengan perut sedikit buncit dan kepala yang dipenuhi uban. Haikal menebak pria itu adalah papanya Inka. "Cari siapa?" tanyanya dengan nada dingin.
Haikal menarik napas untuk menteralkan detak jantungnya yang bergerak lebih cepat karena aura mengintimidasi dari pria di depannya.
"Cari Inka, Om."
Pria itu tampak memperhatikan Haikal secara intens dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Kamu siapanya anak saya? Kenapa berani-beraninya ajak dia keluar malam-malam begini?"
"Lah, kan, si Inka yang ngajak gue," batin Haikal.
"Mau ngajak nonton, Om," jawab Haikal.
"Kamu menghina atau bagaimana? Apa kamu pikir di rumah yang sebesar ini tidak ada televisi? Kamu pikir saya tidak mampu membelikan televisi untuk anak saya?" Sorot tak suka terpancar dari mata pria itu.
"Maksudnya mau ngajak Inka ke bioskop, Om."
Baru saja pria di depannya itu hendak berbicara, Inka sudah datang menghampiri mereka. "Hai, Kal," sapanya dengan sangat ceria.
"Papa, jangan galak-galak, dong!" lanjutnya dengan nada manja.
"Dia siapa, Inka?"
Inka menoleh ke Haikal dan melemparkan senyum padanya, lalu ia kembali menatap papanya. "Pacar aku, Pa," jawabnya dengan tingkat percaya diri di atas rata-rata.
Detik itu juga mulut Haikal menganga dengan maga yang lebar terbuka. Kenapa Inka seenak jidat mengakui dirinya sebagai pacarnya? Kira-kira begitulah pemikiran Haikal.
Pria itu kembali menatap Haikal dengan tajam. "Sudah berapa lama pacaran dengan anak saya?"
Pertanyaan yang seharusnya ditujukan pada Haikal itu malah dijawab oleh Inka. "Baru aja tadi, Pa." Inka terlihat sangat panik saat ini.
"Benar?"
Lagi dan lagi pertanyaan untuk Haikal dijawab oleh Inka. "Ih, beneran, Pa! Udahan ,ya, Pa, nanya-nanyanya."
"Inka," tegur pria itu.
"Papa, aku mau pergi. Ini filmnya bentar lagi mulai, Pa. Please, izinin, ya?"
Pria itu menghela napas dan mengangguk pasrah.
"Pamit, ya, Pa."
Haikal sedari tadi hanya diam saja. Menurutnya lebih baik begini daripada nanti ja salah jawab dan urusannya malah panjang.
"Pamit, Om."
Saat Haikal dan Inka baru berjalan dua langkah, panggilan dari pria itu terpaksa membuat mereka berbalik badan. "Tunggu," ujarnya sambil menatap Haikal.
Haikal yang ditatap seperti itu langsung merasa bahwa panggilan itu untuk dirinya. "I-iya, Om, kenapa?" Kegugupan terpancar jelas dari gerak-gerik Haikal.
"Nama kamu siapa? Nanti saya susah nyari data kamu kalau seandainya terjadi apa-apa sama anak saya."
Inka langsung melototkan matanya mendengar itu. "Papa," tegurnya dengan berbisik.
"Haikal, Om. Om tenang aja, Inka bakalan baik-baik aja sama saya."
"Bawa anak saya pulang sebelum jam sepuluh."
Haikal mengangguk. "Baik, Om."
"Inka, hati-hati." Setelah mengucapkan itu ia langsung masuk ke dalam tanpa meninggalkan sepatah kata untuk Haikal.
"Kal, maafin papa aku, ya," sesalnya.
Kesal. Kata itulah yang dapat menggambarkan perasaan Haikal saat ini. Bisa-bisanya pria itu berlaku seperti itu padanya, padahal anaknya yang mengajak untuk pergi. Namun, di depan Inka ia harus tetap tersenyum dan tidak menunjukkan kekesalannya agar gadis itu tidak tersinggung. "Iya, santai aja." Ia mengusap puncak kepala Inka.
"Jalan sekarang?" tanyanya dan langsung diangguki oleh Inka.
Gadis itu menggandeng kuat tangan Haikal, dan Haikal tentunya menerima dengan lapang dada gandengan dari Inka.
Haikal memasangkan helm yang ia bawa dari rumah untuk Inka. "Berat nggak?" tanyanya setelah selesai memasangkan helm pada Inka. Inka menggeleng. "Nggak, Sayang. Memangnya kalau berat kamu bakal bantu aku buat nanggung bebannya, ya?"
Sepertinya tingkat percaya diri Inka memang sangat tinggi dan patut diacungi jempol.
"Hahaha, iya. Aku nggak mungkin biarin kamu nanggung beratnya helm sendirian."
Inka langsung memeluk Haikal tanpa aba-aba. "Iiiih, kamu sweet banget, sih."
Haikal yang awalnya terkejut atas pelukan dari Inka pun membalas pelukan gadis itu.
"Sweetnya cuma sama kamu doang."
Mereka melepaskan tautan tubuh mereka dan saling tatap satu sama lain. "Ayo," ajak Haikal.
"Ke mana?" Inka berlagak seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.
"Kamu maunya ke mana?"
"Ke hati kamu boleh nggak?"
"Boleh, Sayang. Hati aku memang buat kamu."
Mereka berdua lalu terkekeh. "Ayo jalan."
Dalam perjalanan, ada banyak sekali hal yang mereka bicarakan. Mereka sudah seperti pasangan bahagia yang saling mencintai satu sama lain, padahal aslinya yang Inka ajak jalan tak lain dan tak bukan adalah seorang buaya darat kelas kakap.
"Kal, ayo buruan, ntar filmnya keburu mulai!" ujar Inka saat mereka sudah berada di parkiran sebuah mal terkenal di kota ini.
Haikal menghampiri Inka dan merangkul mesra pinggang gadis itu. "Iya, Sayang."
Dan benar saja, saat mereka memasuki studio bioskop, filmnya sudah jalan sekitar sepuluh menit. Mereka langsung mengambil posisi duduk sesuai dengan tiket yang sudah dipesan Inka secara online.
Adegan demi adegan berlalu hingga kini film tersebut sudah berakhir. "Kal, cowok di film tadi romantis, ya. Kamu bisa nggak kayak dia?"
"Lho, jadi aku kurang romantis bagi kamu?" Haikal menangkup pipi Inka.
"Bukan gitu, Ikallll."
"Oh, jadi ini cewek lo?" Pertanyaan tersebut berhasil membuat Haikal mengalihkan perhatiannya dari Inka.
Betapa terkejutnya Haikal saat melihat orang yang melontarkan pertanyaan itu adalah Anta. "Lo ngapain ada di setiap kegiatan gue, anjing?" tanya Haikal penuh emosi.
"Santai, Bro. Jangan kepedean! Gue nggak ada niatan untuk ngikutin lo."
Anta maju dan mendekatkan wajahnya ke telinga Haikal. Ia berisik, "Ini cewek lo? Inka? Cabe-cabean sekolah begini yang jadi pilihan lo ternyata."
Haikal meraih kerah baju Anta untuk menahan cowok itu agar tetap dekat dengan dirinya. Ia pun berbalik mendekatkan wajahnya ke telinga Anta. "Cewek gue yang kesekian," jawab Haikal berbisik. Ia tidak mau perkataannya terdengar oleh Inka dan akan menyakiti cewek itu.
Anta melepaskan dirinya dari cengkeraman Haikal dan menjauhkan diri. Ia mengeluarkan smirknya. "Lo pikir gue percaya sama omongan lo? Mungkin selama ini lo bisa ngebohongin gue, tapi kali ini gue yakin kalau dia orangnya."
Haikal rasanya ingin tertawa terbahak-bahak atas ucapan sok tau Anta tersebut.
"Terserah lo mau percaya atau nggak."
"Apasih kalian?" tanya Inka yang bingung atas situasi di depannya. Dua orang lelaki yang sangat ia kenal sedang menahan dendam satu sama lain.
"Lo diem! Emang nggak salah temen gue putus sama cabe-cabean kayak lo karena lo cocoknya sama Haikal. Sama-sama murah." Ucapan Anta terasa begitu menusuk bagi Haikal. Ia sadar bahwa dirinya adalah seorang playboy, tapi hatinya tidak begitu.
"Udah berapa lama lo sama Haikal?" tanya Anta.
Inka menatap dengan angkuh pada Anta sambil menggandeng tangan Haikal. "Berapa lamanya nggak penting, yang penting gue sama Haikal sekarang." Ia menyenderkan kepalanya pada lengan Haikal. "Dan bilangin sama temen lo itu, gue udah bahagia sama Haikal."
Anta menatap Haikal dan tersenyum miring. "Bener, kan, dia orangnya?"
Haikal menatap tajam lelaki di depannya itu. Ia membalas gandengan tangan Inka dan mendorong tubuh Anta yang menghalangi jalannya agar ia bisa segera keluar dari studio ini.
"Cupu lo!" teriak Anta menggema di satu studio.