Haikal dan Jiro masih berada di depan markas Anta. Mereka sibuk berpikir cara untuk menemukan Inka sesegera mungkin. Sungguh hari ini merupakan waktu sial bagi Haikal. Pastinya Papa Inka akan sangat marah jika mengetahui anaknya tidak bersama Haikal saat ini.
Saat mereka sedang sibuk-sibuknya berpikir, ponsel Haikal berdering. Ia mengernyitkan dahinya saat mendapati nomor yang tidak dikenal terpampang di layar ponselnya. Ia mengangkat panggilan itu dan menyapa sang penelepon. "Halo," sapanya.
Haikal tak perlu menunggu lama untuk mendapatkan jawaban dari lawan bicaranya. "Sudah jam sepuluh lewat satu menit dan Inka belum menginjakkan kaki ke rumah ini, di mana kalian?" Haikal dapat menebak siapa lawan bicaranya dari pertanyaan dan suara orang itu. Siapa lagi orang itu kalau bukan papanya Inka.
Ia menarik napas dalam-dalam untuk mempersiapkan diri sebelum mengeluarkan kata-kata selanjutnya. "Maaf, Om-" Ucapan Haikal langsung terhenti seketika.
"Maaf?" sela pria itu. "Saya nggak butuh kata maaf, saya butuh kamu bawa Inka ke hadapan saya sekarang juga," lanjutnya.
"Siapa?" bisik Jiro saat menyadari perubahan raut wajah Haikal. Haikal mengangkat tangannya sebagai isyarat 'nanti' dan Jiro memahaminya.
Ia memberanikan diri untuk langsung menjelaskan keadaan Inka saat ini. "Inka saat ini tidak bersama saya, Om, karena dia kabur dari saya."
"Maksud kamu apa? Anak saya tidak bersama kamu?"
"Iya, Om."
"Saya tunggu kamu di rumah saya dalam waktu sepuluh menit."
Detik itu juga panggilan langsung diputuskan oleh Papa Inka. Haikal tak ingin membuang waktu lagi, bahkan untuk sekedar berpikir saja ia enggan. Waktu yang ia miliki saat ini sangat singkat. Ia harus bisa tiba ke rumah Inka dalam waktu sepuluh menit.
"Jir, gue ke rumah Inka dulu. Gue minta tolong cari terus keberadaan Inka, ya. Thanks," pamit Haikal dan langsung melajukan motornya.
Haikal melakukan motornya dengan kecepatan penuh. Ia tidak memedulikan umpatan, kekesalan, dan terkakan dari pengguna jalan lainnya karena yang ia pikirkan saat ini hanyalah Inka, tidak ada yang lain. Untungnya ia memiliki skill yang cukup bagus dalam mengendarai motor sehingga ia dapat tiba di rumah Inka dalam waktu sepuluh menit.
Ternyata Papa Inka sudah menunggunya di halaman depan dengan tangan terlihat di dada. Haikal menghampiri pria itu dengan menunduk. Raut wajah pria itu tampak tenang dan tidak menunjukkan kekhawatiran sedikit pun. Haikal dapat menebak bahwa pria itu adalah tipe orang yang tidak mudah panik karena sesuatu.
"Kamu lakI-laki, kan?" tanyanya dan diangguki oleh Haikal. "Hanya laki-laki pengecut yang menunduk," sindirnya yang terdengar sangat menusuk bagi Haikal.
Haikal langsung mengangkat kepalanya dan menatap tepat pada manik mata pria itu. Ia mencoba untuk menghilangkan rasa ketakutan yang ada pada dirinya.
Plak. Sebuah tamparan melayang di pipi kanan Haikal sesaat setelah ia mendongakkan wajahnya. Tidak sampai di situ saja, pipi sebelah kirinya juga ikut ditampar dan perutnya diberi pukulan bertubi-tubi.
Haikal menahan rasa sakitnya. Ia juga tidak akan membalas perbuatan pria itu karena hilangnya Inka juga merupakan kesalahannya.
"Maaf, Om," cicitnya.
Pria itu menatap Haikal yang berdiri lemas di depannya dengan wajah yang dihiasi memar.
"Berapa kali harus saya katakan untuk tidak minta maaf? Saya sama sekali nggak butuh itu," tegas pria itu dengan tatapan yang sangat mengintimidas.
"Saya dan teman saya sedang berada dalam proses mencari Inka, Om. Saya janji akan membawa Inka secepat mungkin."
Pria itu tersenyum meremehkan pada Haikal. "Secepat mungkin? Saya ingin sekarang juga," tekannya.
"Saya harus berusaha dulu, Om."
Haikal tidak ingin menjadi pengecut. Ucapannya yang mengatakan akan membawa Inka kembali itu akan dibuktikannya. Ia akan menyelesaikan masalah yang telah ia buat walaupun itu bukan sepenuhnya kesalahannya. Namun, tentu saja ia akan tetap mencari keberadaan Inka. Dan satu lagi, ia tidak akan membiarkan Anta lolos begitu saja karena ia yakin bahwa dalang dibalik hilangnya Inka adalah Anta. Lelaki lirik seperti itu mana bisa dipercaya omongannya.
"Usaha apa yang kamu maksud? Usaha mencari Inka sendirian seperti ini? Kamu terlalu percaya diri untuk dapat menemukan Inka seorang diri di malam hari dan ramainya pusat kota. Tapi itu tetap tanggung jawab kamu. Saya tunggu dalam satu kali dua puluh empat jam. Jika kamu tidak bisa juga menemukan Inka, siap-siap memakai baju tahanan," ancam pria itu panjang lebar.
Haikal mwnganggukkan kepalanya walau sedikit susah karena ada beberapa memar. "Baik, Om, terima kasih. Saya benar-benar minta maaf atas kejadian ini."
Bugh. Satu pukulan mendarat lagi di perut Haikal tanpa aba-aba. Ia melenguh kesakitan saat merasakan sensasi dari pukulan pria itu.
"Pukulan terakhir untuk saat ini. Pergi cari Inka sekarang juga!"
Haikal kembali mengangguk dan berjalan menuju motornya dengan sedikit kesusahan akibat rasa tidak enak di tubuhnya. Pria itu walaupun sudah tua tenaganya boleh juga.
Sebelum pergi dari rumah Inka, Haikal kembali menghampiri pria itu. "Om," panggilnya.
"Kamu sengaja membuang waktu untuk mencari anak saya?" bentak Pria itu.
Haikal menggeleng kuat. "Bukan seperti itu maksud saya, Om. Saya sama sekali belum menceritakan kronologi hilangnya Inka pada om."
Pria itu masih tetap memasang wajah datarnya, sementara Haikal mulai menjelaskan kronologi hilangnya Inka. "Saat saya dan Inka selesai menonton, kami bertemu teman yang tidak menyukai saya, Om. Saya tidak menghirauaknnya dan mengajak Inka untuk pulang. Namun, di perjalanan menuju parkiran Inka menyatakan perasaannya pada saya dan saya tolak."
"Kamu menolak anak saya?" tanya pria itu terkejut. Mungkin sedari tadi hanya raut wajah itu yang jelas dari wajah pria itu.
"Maaf,Om. Cinta memang nggak bisa dipaksa, kan?"
"Maksudnya kamu tidak menyukai anak saya?"
Haikal ragu untuk menjawab pertanyaan ini. Jujur jika ditanya seperti itu hanya ada satu nama yang terlintas di pikirannya, Bella.
"Maaf, Om, saya nggak ada rasa ke Inka."
Bugh. Lagi dan lagi pukulan mendarat di perut Haikal. "Apa gunanya kamu mengajak dia seperti itu kalau nyatanya kamu tidak mempunyai perasaan ke dia? Kamu ini gila atau bodoh?"
"Maaf, Om ...."
"Setelah itu bagaimana?"
"Setelah saya tolak sehalus mungkin, Inka nggak terima dan kabur dari saya sehingga saya kehilangan jejaknya. Menurut saya Inka sudah dibawa oleh teman yang saja jumpai di bioskop tadi, Om."
"Kamu sudah brengsek dan kini malah membawa anak saya ke dalam masalah kamu."
"Maaf, Om."
"Cepat pergi dari sini dan cari anak saya sebelum sebuah pukulan mendarat lagi di perut kamu."
Haikal mengangguk. Kali ini ia benar-benar pergi meninggalkan rumah Inka untuk mencari pemilik rumah itu.