"Shh." Desisan menahan perih keluar dari mulut Haikal. Saat ini sudah pukul dua malam dan ia masih berada di tepi jalanan sepi sambil duduk di atas motornya. Ia melihat wajahnya yang lebam melalui kaca spion dan menyentuh beberapa spot lebam itu.
"Gue kalau nggak lebam gantengnya berkurang," gumamnya sambil menatap penuh bangga pada pantesan dirinya di kaca spion.
"Untung aja si Inka udah ketemu, kalau nggak gue masih keliling kota nyariin dia pasti," lanjutnya. Ia sungguh sangat kesal dengan kejadian beberapa jam lalu. "Ngerepotin aja tuh cewek."
Drrt drrt. Ponsel Haikal berdering menandakan ada panggilan. Ia segera mengangkat panggilan itu.
"Halo, Kal," sapa seseorang di seberang sana saat panggilan tersambung.
"Halo," jawab Haikal.
"Gimana? Udah ketemu dia?" tanya Jiro. Penelepon itu adalah Jiro.
"Udah, Jir. Gue baru bisa tenang sekarang."
Helaan napas lega terdengar dari seberang sana. "Syukurlah. Lo aman, kan, Kal? Maksud gue ... bokapnya Inka nggak macam-macam ke lo, kan?" tanya Jiro. Kekhawatiran tentu melandanya tatkala teman dekatnya tertimpa masalah.
Haikal terkekeh kecil mendengar pertanyaan dari Jiro yang sarat akan kekhawatiran. "Lebam dikit gue, tapi oke kok," jawabnya santai.
"Buset, bokapnya Inka mana mungkin dikit doang ngelebamin lo. Posisi di mana? Biar gue sama Adan nyusul lo sekarang."
Haikal benar-brnar merasa beruntung karena dikaruniai teman seperti Jiro dan Adan yang siap siaga membantunya di setiap masalah. Menurut Haikal, mereka adalah definisi sebenarnya dari sahabat sejati.
"Nggak usahlah, Jir. Gue oke kok." Haikal yang merasa tidak enak tentu saja menolak tawaran Jiro barusan. Sudah banyak ia merepotkan teman-temannya. Ia tidak ingin mereka merasa direpotkan lagi. "Mending lo pada pulang. Besok masih harus sekolah."
"Iye ..., tapi lo janji ceritain gimana si Inka bisa ditemuin, ya?" pinta Jiro membuat perjanjian.
Haikal tersenyum seraya mengangguk. "Aman."
"Oke, gue matiin teleponnya."
"Eh, tunggu!"
"Kenapa lagi?" tanya Jiro.
"Makasih banyak atas bantuan lo dan Adan malam ini. Lo berdua selalu ada di setiap kondisi gue," ucap Haikal benar-benar tulus.
Jiro sebenarnya agak geli mendengar ucapan manis dari Haikal barusan. "Kal, jujur gue geli," balas Jiro.
Haikal terkekeh. "Hahahah, udah ah. Pokoknya makasih banyak buat lo berdua. Besok lo sama Adan bakal gue traktir."
"Waduh, nggak jadi geli gue kalau begini ceritanya," jawab Jiro diakhiri kekehan ringan.
"Hahahah. Udah dulu, gue mau pulang."
"Gue juga, hati-hati lo."
"Ya, lo juga."
Sambungan telepon terputus satu sama lain. Haikal tak tau harus mendeskripsikan dengan kata-kata indah yang bagaimana untuk temannya. Mereka benar-benar sebaik itu padanya. Walaupun konflik sering menyertai hubungan pertemanan mereka, ia tidak akan pernah melupakan semua jasa yang telah dilimpahkan teman-temannya. Sebisa mungkin ia akan membalas jasa mereka di saat mereka membutuhkan pertolongannya. Bagi Haikal kesolidan dalam.pertemanan adalah yang terpenting. Prioritas yang gak ada duanya.
Ia melirik jam yang meningkat di tangannya. Waktu terus berjalan dan kini sudah menunjukkan pukul 02.23. Ia harus segera pulang karena besok sekolah. Namun, yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana ia menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh Mina saat nanti ia pulang? Pasti Mina akan bertanya dengan sangat rinci tentang lebam yang menghiasi wajahnya. Tidak hanya Mina, Bella pasti juga akan melakukan hal yang sama. Sudahlah, itu urusan belakangan. Yang terpenting saat ini adalah ia harus sampai rumah dengan selamat agar cecaran pertanyaan dari Mina dan Bella tidak bertambah.
Ia memakai helmnya dan segera melajukan motornya dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Jalanan yang sepi sangat memberikan akses bagi Haikal untuk berlagak seperti Rossi. Saat masa kecil Haikal memang mempunyai cita-cita menjadi pembalap. Namun, status pembalap yang bisa ia dapat hingga saat ini hanyalah sebatas pembalap karung saat acara peringatan hari kemerdekaan Republik Indonesia. Maka dari itu, ia tidak akan menyia-nyaman momentum ini. Ia akan melajukan motornya dengan kecepatan full dan berhalusinasi menjadi Rossi. Khawatir wajah lebam tidak perlu, berlagak jadi Rossi nomor satu. Mungkin hal itu yang bisa mendeskripsikan keadaan Haikal saat ini.
Tak butuh waktu lama bagi Haikal untuk sampai di rumahnya. Sebelum ia masuk ke dalam rumahnya, ia melirik rumah Bella pada bagian kamar gadis itu. Lampu kamar gadis itu terlihat masih menyala. Ia berpikir apakah gadis itu masih terjaga dari tidurnya? Ataukah ia menunggu kepulangan Haikal, padahal tadi ia sudah bilang bahwa tidak akan pulang? Tak ingin menghabiskan waktu, Haiakl merokok sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Ia segera menelepon Bella, tetapi tidak diangkat. Sudah lima kali panggilannha tak diangkat oleh Bella. Akhirnya, Haikal memilih untuk positif thinking. Siapa tau gadis itu sudah tidur, tapi lupa mematikan lampu kamarnya.
Saat ia memasuki rumahnya, keadaan rumah sangat sepi. Wajar saja pasti seluruh penghuni rumah sudah terlelap saat ini. Hanya orang gila yang akan pulang dengan wajah lebam saat jam segini.
Haikal berjalan menuju kamarnya dan membuka pintu. Sebelum ia menghidupkan lampu kamarnya, semua tampak aman-aman saja. Namun, setelah ja menghidupkan lampunya, betapa terkejutnya ia saat melihat Bella sedang terlelap nyenyak di kasurnya.
Ia menghampiri gadis itu dengan rasa penasaran yang tinggi. Namun, ia tidak akan membingungkan gadis itu hanya untuk bertanya kenapa Bella bisa berada di kamarnya. Ia sungguh tidak tega untuk membangunkan Bella yang terlelap sangat nyenyak dalam tidurnya.
Haikal duduk di tepi ranjang sebelah Bella. Ia menatap intens wajah gadis itu dan sebuah senyuman terbit di wajahnya. Ia mengusap lembut rambut Bella dan membuat kenyamanan tersalur ke gadis itu. Jika tahu ada Bella di rumahnya, sudah dari tadi ia pulang ke rumah ini.
"Bel, Bel, lo tidur sambil mangap aja cakep," gumamnya sambil terus mengusap rambut Bella. "Langsung hilang sakit di wajah gue pas ngelihat lo," lanjutnya.
Pengaruh Bella dalam hidupnya sungguh besar. Ia tidak tau apa jadinya hidup ini jika tidak ada Bella di sisinya. Di dunia ini Haikal hanya mencintai dua wanita, yaitu Mina dan Bella. Dua wanita yang berkontribusi besar dalam hidupnya. Mereka bagaikan dua lentera sejenis, tetapi memiliki fungsi yang berbeda. Haikal sungguh akan gula jika salah satu dari mereka sirna.
"Maafin gue karena selalu nyakitin lo, Bel .... Gue cuma butuh lo percaya sama gue," ucapnya dan diakhiri dengan kecupan singkat pada dahi gadis itu.
Haikal yang sudah tak tahan dengan kantuk yang menyerang pun segera merebahkan diri di sofa dalam kamarnya. Ia menatap Bella dalam sebelum akhirnya mematikan lampu dan mulai masuk ke alam mimpinya.