Haikal turun dari motornya sesaat setelah memarkirkan motornya di area parkiran salah satu gedung olahraga, tempat di mana ia dan tim basketnya akan melakukan latihan.
Ia segera masuk ke dalam gedung olahraga itu dan didapatinya teman-temannya yang sudah menunggu di sana. Ia segera melakukan tos andalannya dengan Jiro, Adan dan Bima. Ia melewatkan Vano dan menatap cowok itu dengan pandangan tak suka. Sementara Vano, ia menundukkan kepalanya, sadar akan kelakuannya beberapa waktu yang lalu.
"Kal, udahlah. Jangan diemin Vano mulu. Dia juga temen kita, Kal," ujar Adan yang melihat dendam pada diri Haikal.
Jiro menyenggol lengan Adan agar menyadarkan pria itu dari omongannya barusan. "Apa?" tanya Adan dengan mengangkat sebelah alisnya.
"Suasananya nggak pas," bisiknya.
Adan menarik napas, lalu membuangnya kasar. "Nggak pas gimana? Ini waktu yang pas. Kita lagi ngumpul semua. Apa salahnya kita bahas ini? Nggak baik kalau masalah ini didiemin terus. Akhirnya, apa? Musuhan selamanya, gitu?"
Haikal menatap malas pada Adan. Moodnya benar-benar sudah hancur sekarang. Padahal tadi saat akan berangkat ke tempat ini, hatinya sangat senang karena habis bermanja-manja dengan Bella. "Lo tenang aja, Dan. Gue bakal tetap profesional dalam setiap kegiatan basket kita," ujarnya.
"Jadi pertemanan lo cuma sebatas basket?"
Pertanyaan dari Adan itu bagi Haikal terdengar seperti ia meremehkan kesolidaritasannya dalam berteman. Ia mengepalkan kedua tangannya untuk menyalurkan emosi yang kini sudah berpuncak di ubun-ubun.
"Jangan ngeraguin kesolidan gue dalam berteman! Gue bersikap gimana orang itu bersikap, jika dia baik, gue bakal lebih baik. Begitu pula sebaliknya," geramnya.
Vano dari tadi hanya diam saja. Ia juga tidak berniat untuk buka suara sedikit pun. Entah itu agar suasana tidak semakin keruh atau pun untuk berlagak baik.
Haikal mengambil bola basket yang tergeletak di lantai lapangan. Lalu ia membalikkan badannya dan mulai mendribble bola.
"Lagian kenapa lo segitunya cuma karena Bella? Cewek yang bahkan nggak lo kenal sama sekali. Vano kenal lo lebih lama dibanding Bella, Kal!" teriak Adan dari belakang.
Mendengar itu, emosi Haikal semakin memuncak. Ia membalikkan badannya dan langsung melemparkan bola itu ke Adan dan tepat mengenai dada pria itu. Ia berjalan mendekati Adan dengan sorot mata tajam dan tangan yang mengepal. "Jelasin maksud lo!" tajamnya saat sudah sampai di depan Adan.
Mereka saling tatap dengan tajam dari jarak dekat. "Vano berhak dapat maaf lo," ucapnya.
Haikal tertawa sinis. "Apa perempuan nggak berhak untuk hidup tanpa pelecehan?"
"Kal, Dan, udah! Jangan karena gue kalian malah berantem!" Vano akhirnya buka suara karena merasa suasana semakin mencekam. Ia mendekati Haikal dan Adan dan mencoba untuk mempertahankan jarak antara mereka berdua.
Haikal menghempas tangan Vano yang mencoba untuk membawanya lebih jauh dari Adan. "Diem lo! Jangan sok baik!" hardik Haikal.
"Tadi niat awal ke sini untuk latihan, kan? Sekarang kenapa malah berantem?" tanya Jiro.
"Salahin temen lo yang nggak solid," jawab Adan sambil menatap tajam Haikal.
Bugh. Satu tinjuan mendarat sempurna di perut Adan sehingga membuat cowok itu jatuh terduduk ke belakang.
Jiro, Vano dan Bima mendekat. Mereka berniat untuk menengahi.
Haikal membungkuk untuk lebih dekat dengan Adan. Ia meraih bagian leher jersey yang dipakai cowok itu. "Harus dengan cara apa gue bilang ke lo untuk jangan ajarin gue tentang solidaritas? Ajarin temen lo untuk menghargai perempuan!" geramnya. Lalu, ia melepaskan dan menghempas badan Adan ke lantai lapangan.
Ia berdiri dan diikuti oleh Adan. Adan tersenyum sinis. "Apa lo udah ahli dalam menghargai perempuan? Playboy seperti lo nggak akan ngerti yang namanya menghargai perempuan, Kal! Bahkan nggak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti, lo bakal ngelakuin hal yang sama seperti Vano," sinis Adan.
"Dan, udah!" tegur Jiro.
Haikal kembali menggeram. Ia tidak terima atas ucapan Adan barusan. Ia melakukan semua itu juga karena suatu alasan.
Ia kembali mendekati Adan dan memberi bogeman pada rahang cowok itu.
Kali ini Adan tidak tinggal diam. Ia juga membalas bogeman yang diberikan Haikal padanya. Hingga terjadilah perkelahian saling pukul antara Haikal dan Adan.
Bugh. Adan meninju rahang Haikal. "Untuk lo yang nggak bisa menghargai pertemanan!" ucapnya tinjuan yang ia berikan pada Haikal.
Haikal membalas tinjuan itu tepat pada rahang Adan yang sebelahnya. "Untuk lo yang bersikap biasa aja atas pelecehan!"
Jiro dan Bima bergerak untuk menahan tubuh Haikal. Sementara Vano, ia menahan tubuh Adan.
"Kal, udah, Kal! Dia masih temen lo!" ujar Jiro.
"Kal, gue paham tentang jalan pikir lo, tapi udahin perkelahian ini. Dia temen kita, Kal," kata Bima.
Haika berusaha melepaskan diri dari pegangan Jiro dan Bima. "Lepas!"
"Nggak bakal dilepas kalau kalian nggak stop."
Haikal yang mendengar itupun langsung melepas paksa dirinya dari kukungan Jiro dan Bima. Begitu pula dengan Adan.
Haikal dan Bima saling melempar tatapan tajam. Lalu, Haikal memutuskan tatapan itu. Ia beralih menatap Jiro dan Bima. "Hari ini nggak usah latihan dulu," ucapnya dan diangguki oleh Jiro dan Bima. Mereka paham akan maksud ketua basket mereka itu untuk tidak jadi latihan hari ini. Suasana sudah tidak kondusif. Mereka saling bertikai di pikiran masing-masing. Latihan tidak akan berjalan dengan baik jika dipaksa untuk dilakukan.
Adan berbalik badan dan mengambil tas olahraganya. Dia berjalan keluar gedung olahraga tanpa berpamitan dengan yang lain. Haikal menatap datar kepergian Adan itu.
Saat suasana sudah mulai tenang, mereka duduk di kursi yang tersedia. Beberapa menit setelahnya, Vano menyadari bahwa kehadirannya tidak diinginkan untuk saat ini. Jadi, ia memilih untuk pulang. "Gue balik dulu, ya," pamitnya. Ia menatap Haikal yang sama sekali tidak menatapnya.
"Kal, gue balik. Maaf untuk semuanya," ucapnya sambil terus menatap Haikal. Sementara Haikal, ia terlalu enggan untuk menjawab. Bahkan untuk sekedar menatap saja ia seperti tidak sudi.
Jiro memberikan kode pada Vano agar cowok itu lekas pulang. Ia khawatir akan terjadi baku hantam sesi dua jika Vano terus berada di sini.
Vano yang paham akan kode itu pun mengangguk dan segera meninggalkan pelataran gedung olahraga.
Jiro merangkul bahu Haikal. "Kal, tenangin diri lo. Kita nggak bisa begini terus. Ada banyak perlombaan yang menunggu kita, Kal. Lo inget, kan, kalau kita nggak pernah pulang tanpa bawa piala?" ucapnya.
Haikal terdiam untuk beberapa saat. Ia mencoba unik mencerna perkataan Jiro. Jiro benar, ini semua harus segera selesai. Ia harus bisa untuk lebih mengendalikan emosinya. Ia tidak mau membuat nama tim basketnya menjadi tercoreng.
Lalu, ia mengangguk sebagai isyarat setuju atas ucapan Jiro. "Iya. Thanks," ucapnya dan diangguki oleh Jiro.
Jiro menatap Haikal dan Bima bergantian. "Lo semua temen gue. Udah sewajarnya kita saling mengingatkan. Perselisihan itu wajar dalam pertemanan. Baku hantam kayak tadi juga wajar dalam lingkup pertemanan laki-laki, tapi satu hal yang harus diingat, jangan biarkan itu berlarut-larut," katanya.
Haikal dan Bima mengangguk setuju atas ucapan Jiro.