Suasana yang ramai di sebagian besar penjuru sekolah saat jam istirahat merupakan suatu hal yang biasa di SMA Perkasa. Namun, ada satu tempat yang memang sangat jarang dikunjungi oleh warga sekolah, itu adalah kebun belakang yang sudah tidak terurus. Konon katanya, tempat itu ada penghuninya. Tempat itu juga sering mengeluarkan bau pandan jika kita sedang berada di sekitarnya.
Sialnya, Bella terpaksa harus melintasi jalan yang berhadapan langsung dengan tempat tersebut. Tadi ia dari toilet dan hendak kembali ke kelasnya. Namun, ia urungkan niatnya untuk melewati akses jalan utama karena ada banyak murid laki-laki yang sedang berkumpul.
Lebih dari sial lagi, kini ia harus melihat Haikal sedang duduk berdua di kebun belakang itu dengan seorang siswi yang berbeda dari sebelum-sebelumnya.
Ia dapat melihat kondisi wajah Haikal yang babak belur dari arah samping. Tidak hanya itu, ia juga dapat melihat gadis itu sedang mengobati setiap luka yang menghiasi wajah Haikal, dan Haikal malah merangkul mesra pinggang gadis itu.
Ia memperhatikan setiap gerak-gerik Haikal dan gadis itu dengan emosi yang tertahan. Tangannya mengepal. Walaupun ia sudah tahu bagaimana resiko jika menjadi pacar Haikal, tapi tetap saja ia sakit hati.
Kini, gadis itu sudah selesai dengan kegiatannya dan mereka terlihat akan pergi dari tempat itu. Bella juga segera bergegas pergi dari sana. Bisa panjang urusannya jika ia ketahuan mengintipi Haikal di sana. Bisa-bisa orang-orang bertanya apa alasan Bella melakukan itu, lalu mereka akan berpikir bahwa Bella dan Haikal memiliki hubungan.
Namun, baru saja ia ingin melangkahkan kakinya, ia harus terjatuh karena terpijak tali sepatunya yang lepas. "Aduh," keluhnya.
Suaranya tentu saja langsung menarik atensi Haikal dan gadis itu. Untung saja sebagian wajah Bella tertutupi oleh rambut panjangnya. Jadi, resiko untuk ketahuan siapa yang mengintip menjadi lebih kecil.
"Hai? Lo nggak papa?" tanya gadis yang berada di samping Haikal.
Ia segera berdiri dari posisi jatuhnya dan langsung berlari dari tempat itu.
"Bella?" batin Haikal. Ia hafal betul suara dan sepatu Bella. Siapa lagi pemilik sepatu berwarna putih dengan gambar boneka boba itu kalau bukan Bella? Sepatu itu adalah pemberian Haikal. Jadi, tentu saja Haikal tau akan sepatu itu.
"Siapa, sih, itu? Aneh banget. Kamu kenal?" tanya gadis itu sambil memeluk lengan Haikal.
Haikal mengusap rambut gadis itu dan menggeleng. "Nggak kenal. Ayo pergi dari sini," ajaknya.
Bella berlari dengan kecepatan kilat menuju kelasnya. Ia juga menahan rasa perih di lututnya akibat luka saat jatuh tadi.
"Li ..., Li," panggilnya dengan napas ngos-ngosan.
Lia yang sedang memakan roti langsung menatap heran pada Bella. "Kenapa lagi lo?"
Bella duduk di sebelah Lia dan mulai mengatur napasnya. "Gue hampir aja ketauan."
"Ngintipin toilet cowok ya lo?"
Bella memicingkan matanya menatap Lia. "Gue nggak sehina itu, ya!"
Lia mengedikkan bahunya dan lanjut memakan rotinya. "Gue hampir ketauan ngintipin Haikal sama gebetannya," bisiknya.
Lia mengangguk-anggukkan kepalanya. "Hal yang biasa."
"Bener dugaan gue, Li, lukanya udah diobati." Ia menunduk dan memasang wajah sedihnya.
"Tinggal tambahin bonyoknya, Bel. Terus nanti lo yang obatin, deh."
"Masih heran, kok bisa orang kayak lo masuk tiga besar."
Lia mengambil susu kotaknya di atas meja. "Kan belajar sama lo."
Mendengar itu Bella hanya bisa memutar bola matanya.
***
"Tadi Bunda dapet telfon lagi dari sekolah. Kali ini apalagi, Kal?"
Haikal yang sedang asyik bermain PS hanya melirik sekilas ke Mina yang sedang duduk di sofa. "Biasalah, Bun."
"Apa yang biasa?"
"Urusan lelaki sejati, Bun. Nggak afdol kalau diselesaikan secara kekeluargaan. Aku nggak punya keluarga di sekolah, Bun."
Mina menggelengkan kepalanya sembari menghela napas. "Berapa hari skorsnya?"
Haikal melirik sekilas lagi ke Mina. "Kok Bunda tau hukumannya di skors?"
"Biasanya begitu, kan?"
Haikal menampilkan cengiran tak berdosanya. "Iya, sih. Cuma tiga hari, Bun. Padahal aku udah berdoa banget tadi itu biar skorsnya seminggu."
"Yahhh." Ia mengeluh dan sedikit membanting stik PS-nya saat game berakhir dengan hasil ia yang kalah.
Ia memutar badan dan menghadap Mina. "Apa wajah aku kurang bonyok, ya, Bun? Makanya skorsnya bentar. Harusnya tadi durasi gelutnya dilamain dikit."
"Ngomong kamu, tuh! Bunda laporin ayah, ya, ntar!"
"Ayah pasti dukung aku."
Lagi dan lagi Mina hanya bisa menggeleng karena kelakuan absurd anaknya. "Udah diobatin belum lukanya?"
"Udah, Bun."
Mina tidak habis pikir dengan kelakuan anaknya itu. Haikal dari dulu memang selalu nakal. Namun, ia tidak pernah main tangan ke orang jika bukan orang itu yang cari masalah. Mina juga selalu memperingati Haikal agar jangan main tangan sedikit pun kepada wanita. Haikal sangat memegang teguh prinsip itu. Haram baginya jika seorang pria sudah main tangan dengan wanita. Bagi Haikal, pria yang main tangan dengan wanita itu adalah pria rendahan dan tidak punya harga diri.
"Kamu udah kelas dua belas, bukannya fokus belajar buat ujian malah sibuk hantam."
"Menikmati masa muda, Bun. Masa SMA cuma sekali, sayang kalau dihabisi buat belajar doang," ucapnya sambil menikmati biskuit di atas meja.
"Sekali-sekali belajar sana sama Bella. Bella itu pintar."
"Udah pernah, Bun."
"Terus kenapa nggak dilanjutin?"
"Kata Bunda sekali-sekali aja."
"Susah ngomong sama kamu, ya, Kal."
"Kalau belajar sama Bella, kena omel mulu, Bun. Males akunya." Ia mencoba mengingat kejadian beberapa bulan lalu, saat ia dan Bella belajar bersama.
"Kamu diomelin Bella pasti ada sebabnya."
"Masalah sepele doang, Bun. Aku cuma nggak sengaja numpahin air ke buku catatan fisikanya. Ngomel-ngomel, tuh, Bellanya, udah gitu aku didiemin tiga hari lagi."
Mina memijit pelipisnya. Kepalanya sampai sakit memikirkan tingkah laku Haikal. "Kalau Bunda jadi Bella, bakal Bunda unfriend, sih, kamu."
"Sekarang nggak bisa unfriend lagi, soalnya udah jadi boyfriend," gumam Haikal yang tak bisa didengar oleh Mina.
"Apa?"
"Eh, nggak, Bun."
Satu ide terlintas di kepala Mina. Ia sangat penasaran akan hal ini dari dulu. "Kal," panggilnya.
Haikal mendongakkan kepalanya sebagai respon. "Bella udah punya pacar belum, sih?"
Haikal mengangkat bahunya. "Udah kali, Bun."
"Yah." Nada sedih dapat terdengar jelas dari keluhan Mina.
"Kenapa, Bun?"
"Padahal Bella itu tipe menantu idaman Bunda banget."
Haikal mengangguk-anggukkan kepalanya. "Mending Bunda sama Ayah buat anak laki-laki lagi, Bun, terus jodohin, deh, sama Bella."
Mina menatap kesal pada Haikal. "Ribet! Mending kamu aja Bunda nikahin sama Bella."
Haikal menggelengkan kepalanya. "Big no, Bun! Aku mau jadi rich uncle dulu."
"Kamu nggak bakal punya keponakan, Kal. Kamu anak tunggal kalau kamu lupa."
Haikal menutup kaleng biskuit yang ada di pangkuannya dan menaruhnya kembali di atas meja. "Udahan, deh, Bun. Aku mau ke rumah Bella dulu."
"Cie ..., mau ngapel, ya?"
"Nggaklah! Dia yang nyuruh ke sana," jawab Haikal yang tentu saja bohong, padahal memang ia yang ingin bertemu dengan Bella.