Bella tertawa sinis. "Jadi temen lo aja susah, Kal, gimana jadi pacar lo?"
"Kita Cuma butuh backstreet, Bel," ucapnya meyakinkan Bella.
"Kenapa gue harus mau backstreet sama lo? Gue aja nggak tau apa alasan lo minta kita jadi orang asing di sekolah."
Haikal memghembuskan napas lelah. Ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling agar bisa lebih tenang.
"Kenapa lo nggak pernah paham kalau alasannya itu karena gue sayang sama lo, Bel?"
"Gimana gue bisa paham kalau lo nggak ngasih tau dan buktiin?"
Haikal dan Bella saling menatap dengan penuh arti. Bella dengan isi kepalanya yang ingin Haikal memaparkan alasannya lebih jelas, dan Haikal dengan isi kepalanya yang berusaha agar Bella tidak mengetahui alasannya lebih jelas.
"Gue selama ini buktiin, Bel," gumamnya nyaris tak terdengar.
Bella memutuskan tatapan mereka berdua. "Maaf, gue nggak bisa, Kal."
"Lo harus bisa! Lo harus mau! Kita harus saling berbalas perasaan, Bel!"
"Berbalas perasaan nggak harus terikat dalam sebuah hubungan, kan?"
Haikal menggeleng kuat seraya menatap Bella dengan sangat yakin. "Nggak, Bel! Kita harus terikat dalam hubungan yang jelas! Gue ...."
Bella mengangkat alisnya atas ucapan menggantung Haikal. Ia terus menunggu kelanjutan dari kalimat itu, tapi Haikal tak kunjung bersuara.
"Lo kenapa?"
"Gue ...."
"Kenapa, Kal? Ngomong yang jelas!"
Haikal menunduk. "Gue nggak mau lo jadi milik orang lain," ucapnya dengan suara yang sangat kecil. Untung saja Bella masih dapat mendengarnya.
Bella benar-benar salah tingkah atas ucapan Haikal barusan. Namun, ia langsung mendatarkan ekspresinya saat ingat akan situasi saat ini.
"Gue nggak mau telat ngungkapin semuanya," lanjut Haikal.
"Lo nggak akan telat. Sampai kapanpun gue bakal punya perasaan yang sama seperti saat ini."
"Gue pulang dulu, Kal. Lakuin hal seperti ini lagi di saat kita udah nggak perlu berlagak jadi orang asing," lanjut Bella seraya berdiri dari duduknya.
Bella mulai melangkahkan kakinya. Namun, baru beberapa langkah ia menjauh dari sofa, sebuah tangan melingkar di pinggangnya dengan sangat erat. "Bel," gumam Haikal sembari menopang kapalanya pada bahu Bella.
Tangan Bella terulur untuk mengusap tangan Haikal yang berada di pinggangnya. Haikal merasa sangat tenang dalam posisi ini, terlebih setiap telapak tangan Bella membelai lembut punggung tangannya.
"Bel," panggil Haikal lagi.
"Kenapa, Kal?"
Kepala Haikal terus bergerak di bahu Bella seolah mencari kenyamanan. "Kal, geli," adu Bella yang membuat Haikal menghentikan pergerakannya.
"Gue udah lama menunggu momen ini. Gue udah lama ngumpulin nyali buat ungkapin semuanya ke lo. Lo yakin mau buat penantian gue selama ini sia-sia?"
Bella tertawa atas penuturan Haikal. "Lemah banget lo!" ejeknya.
Haikal mengangkat kepalanya dan menatap Bella dari belakang. "Lemah maksud lo?"
"Lo baru berani ngungkapin semuanya setelah gue yang ngungkapin duluan. Mana kemarin sok nolak lagi."
Haikal tertawa kecil saat mengingat semuanya. Setelahnya, ia kembali menopang kepalanya pada bahu Bella.
"Bel, boleh, ya?"
Bella menoleh ke belakang, menatap Haikal yang masih setia pada posisinya. "Boleh apa?"
Haikal kembali mengangkat kepalanya dan ikut menatap pada Bella. Kini, jarak wajah mereka sangat tipis, bahkan deruan napas keduanya bisa terasa satu sama lain. "Jadi pacar lo."
"Gue bimbang, Kal," jawab Bella.
Haikal memutar badan Bella agar berhadapan degannya. Tangannya masih setia memeluk pinggang Bella. Tangan Bella berada di dada Haikal untuk membuat jarak di antara mereka. "Nggak lucu kalau gue harus bilang 'gue nggak terima penolakan' kayak cowok-cowok fiksi lo itu."
Bella geleng-geleng kepala sembari tertawa. "Apasih, Kal? Lagian lo tau dari mana coba kalimat itu?"
"Itu nggak penting, yang penting itu lo bolehin gue jadi pacar lo."
"Lo minta izin, tapi terkesan memaksa, ya."
Haikal menyelipkan anak rambut Bella yang sedikit mengganggu pandangannya untuk menatap wajah cantik Bella. "Maksanya cuma sama lo."
"Kalau sama gebetan-gebetan lo di sekolah?"
"Gue yang dipaksa."
"Lo nya mau-mau aja lagi dipaksa."
"Rejeki nggak boleh ditolak."
"Kalau lo sama gue, lo bakal tetap jadi playboy, kan?" tanya Bella sambil memperhatikan dengan intens setiap inci wajah tampan Haikal.
Haikal mengangguk. Dengan reflek Bella memukul pelan dada Haikal. "Kok malah iya sih jawabnya?" tanyanya kesal.
"Masa jawab enggak? Kan gue lakuin itu atas dasar alasan."
Bella membuang muka dengan kesal. "Selalu bersembunyi di balik kata alasan. Pacaran aja sana sama alasan!" gerutunya.
Bukannya panik karena Bella kesal, Haikal justru merasa gemas pada gadis itu. Ia meraih wajah Bella dengan sebelah tangannya agar kembali menatapnya. "Lo harus bolehin gue jadi pacar lo, Bel! Lo juga harus bertahan untuk alasan gue yang nggak boleh lo ketahui saat ini, tapi gue janji, setelah semuanya selesai, gue bakal kasih tau kenapa kita harus seperti orang asing di sekolah."
Bella tampak berpikir atas ucapan Haikal. Dari matanya terlihat bahwa Haikal tidak berbohong akan janjinya untuk memberitahu alasan yang selama ini membuat Bella penasaran.
Bella mengangkat jari kelingkingnya. "Janji bakal kasih tau gue kenapa lo minta kita jadi asing di sekolah?"
Haikal tersenyum dan langsung menautkan kelingkingnya dengan kelingking Bella. "Janji, nanti. Kita tunggu sama-sama, ya?"
Bella mengangguk. "Dengan ini, apa artinya gue boleh jadi pacar lo?"
Bella mengangguk lagi, tapi kali ini versi malu-malu kucing. "Peluk dong guenya, masa udah pacaran nggak ada peluk-peluknya," pinta Haikal. Ia langsung tersenyum senang saat Bella membalas pelukannya yang tak lepas sedari tadi.
"Makasih, Bel," ucapnya sembari mengusap lembut kepala Bella.
"Gue bingung sama diri gue yang mau nerima lo, padahal lo nggak jelas, udah gitu jahat lagi sama gue." Suara Bella sedikit teredam saat mengucapkan itu karena terhalang oleh dada Haikal yang menempel dengan wajahnya.
"Cewek baik emang cocoknya sama cowok jahat."
Mereka melepaskan pelukan itu dan saling menatap satu sama lain. "Kalau minta cium boleh nggak, Bel?"
Bella melototkan kedua matanya atas pertanyaan Haikal. Tanpa basa-basi, ia langsung meninju perut Haikal dan membuat cowok itu mengeluh kesakitan. "Itu belum seberapa, ya!"
"Bercanda, Bel," ucapnya sambil memegangi perutnya.
"Udah ah, gue mau pulang."
"Sekarang boleh pulang, tapi gue yang anterin."
"Dari rumah lo ke rumah gue tinggal nyeberang, Kal. Biasanya juga gue pulang sendiri."
"Spesial edition karena hari ini first day jadi pacar lo."
"Jadi, besok-besok nggak dianterin lagi?"
Haikal menggeleng. "Makanya, lo harus mau! Siapa tau ini kesempatan pertama dan terakhir lo untuk diantar sama gue."
"Dih? Sok kecakepan banget."
"Emang cakep, makanya lo suka."
"Terserah lo," ucap Bella dan berlalu meninggalkan Haikal.
"Tunggu, bolu susunya ketinggalan." Ia segera mengambil bolu susu di atas meja makan dan berlari mengejar Bella.