"Bolu susu buatan Bunda emang paling enak," ujar Bella pada Mina—Bunda Haikal.
"Kamu itu, ya, dari kecil emang suka banget bolu susu, sama tuh kayak Haikal. Mama kamu dulu juga sering bikin, kan?"
Bella mengangguk antusias sembari tersenyum. Sepulang sekolah tadi, Mina meyuruhnya untuk ke rumah dan mencicipi bolu susu itu.
"Kamu di sini aja, ya, bentar lagi Haikal pulang. Bunda mau arisan dulu."
"Iya, Bun, titidije, ya!"
Mina mengangkat kedua jempolnya dan pergi meninggalkan Bella.
Beberapa menit setelah kepergian Mina, Bella teringat akan sesuatu. "Tapi ngapain juga, ya, gue di sini? Malu gue, udah confess tertolak, sekarang malah nungguin Haikal. Ntar dia gede kepala lagi," gumam Bella.
Ia segera berdiri dari duduknya hendak keluar dari rumah Haikal. Namun, baru saja ia ingin membuka pintu, seseorang dari luar sudah lebih dahulu membukanya. "Eh, Kal?" kejut Bella.
"Gue di sini karena tadi bunda minta nyicip bolu susunya." Lebih baik ia to the point daripada Haikal mengira yang tidak-tidak.
Haikal mengangguk. "Sekarang mau ke mana?"
"Ya, pulang, lah."
"Tadi bunda chat gue, lo disuruh di sini aja."
"Ya, tadi bunda juga bilang gitu, tapi sekarang lo udah pulang, ya, gue juga boleh pulang, kan?"
"Terserah, gue tinggal bilang bunda kalau lo nggak nurut."
"Emangnya kenapa gue harus di sini, sih?"
Haikal berjalan meninggalkan Bella. "Biar lo nggak gila kali di rumah."
Bella mengikuti Haikal yang kini duduk di tempatnya tadi, sofa ruang keluarga. "Sama lo di sini lebih gila."
"Iya, gue tau, lo emang tergila-gila sama gue."
Bella mencubit kuat pinggang Haikal sehingga membuatnya teriak kesakitan. "Awhh, sakit, Bel!"
"Ngomong begitu sekali lagi gue cocol sambel mulut lo."
"Sambel di rumah lagi habis."
"AWHHH, BELLL!" Satu cubitan mendarat lagi di pinggang Haikal, tepat di tempat cubitan tadi.
"Apa? Mau balas? Balas aja kalau bisa!" ucap Bella dan berdiri dari duduknya untuk berjaga-jaga jika Haikal akan menyerang.
Haikal menatap datar pada Bella. "Berharap gue pegang-pegang, kan, lo?"
"KURANG AJAR LO!" Bella yang tak terima atas ucapan Haikal pun segera mengambil satu potong bolu susu dan menyuapkan semuanya ke dalam mulut Haikal.
"Mampus, tau rasa lo!"
Tawa Bella menggelegar ketika melihat Haikal yang kesusahan untuk menelan kue tersebut.
"Brutal banget jadi cewek, pantes nggak ada yang mau sama lo."
Kalimat Haikal barusan terasa begitu sakit di hati Bella. Kenapa Haikal semakin semena-mena sejak ia tahu bahwa Bella menyukainya? Apa ia serendah itu di mata Haikal?
Haikal melirik ke arah Bella yang tampak termenung. Sepersekian detik kemudian, ia sadar bahwa ucapannya barusan tergolong kasar dan bisa menyakiti hati Bella.
Ia mengambil sepotong bolu susu dan menyerahkannya pada Bella. Bella melirik ke arah Haikal yang sudah menatapnya sedari tadi. "Makan! Ntar kalau semua kue ini udah habis, lo boleh pulang."
Bella menerima kue itu dan memakannya. "Lo udah makan siang?" tanya Haikal. Bella mengangguk. "Pakai apa?"
"Bolu susu."
Haikal menghela napas lelah atas jawaban yang diberikan oleh Bella. "Itu bukan makan siang, tapi ngemil," ucapnya seraya berdiri dari duduknya. Bella diam saja, ia sama sekali tidak mengacuhkan ucapan Haikal.
Tak lama kemudian, Haikal kembali dengan sepiring makanan dan segelas air di kedua tangannya. Ia meletakkan gelas dan piring itu di meja depan Bella. "Makan dulu," suruhnya.
Bella menunjuk bola susu yang ada di tangannya. "Udah kenyang."
"Itu cuma kue, Bel. Makan!" ucapnya tak terbantahkan.
Bella memilih untuk menurut saja, daripada nanti malah menambah masalah. Ia makan dengan sangat lahap sekali. "Katanya kenyang," sindir Haikal sambil terus menatap ponselnya.
"Gue cuma menghargai rezeki."
Di suapan terakhir, Bella tersedak oleh makanan itu. "Uhuk, uhuk." Haikal dengan segera meletakkan ponselnya dan menyerahkan segelas air pada Bella, tak lupa ia juga memijat tengkuk Bella.
Bella meraih gelas itu dan segera meminum airnya. "Kalau makan itu diselingi sama minum, biar nggak keselek. Masa gitu aja harus diajarin."
"Lo tadi cuma nyuruh makan, bukan nyuruh minum."
"Harusnya lo inisiatif aja buat minum. Lagian gelasnya juga di samping piring lo tadi."
"Ya, masa gue harus minum, tuan rumahnya aja belum nyuruh."
"Lagak lo tuan rumah, lo pikir ini di mana? Dulu hampir buat dapur gue kebakaran, lo biasa aja, tuh. Sekarang minum aja harus disuruh."
"Terus salah siapa? Salah gue gitu?" tanya Bella dan menatap tajam Haikal.
Haikal memutar bola matanya dan kembali fokus pada ponselnya. "Salah gue," ucapnya.
"Udah habis, nih, tolong cuciin, ya, piring sama gelasnya, gue mau pulang dulu." Bella berdiri dari duduknya dan hendak pergi meninggalkan Haikal. Namun, baru satu langkah ia berjalan, ia harus kembali duduk karena tasnya ditarik paksa oleh Haikal dari belakang. "Bolu susunya belum habis."
"Kal, lo yang bener aja, gue udah kenyang banget ini."
"Makan aja, kasihan badan lo kayak orang kurang gizi."
"Susah ngomong sama orang nggak tau trend. Ini body goal!"
"Iya, body goal sama kurang gizi emang beda tipis."
"Gue bawa pulang boleh?"
"Makan aja dulu yang di sini, yang buat lo bawa pulang udah disiapin bunda."
Bella mendecak. "Mau pulang doang ribet banget lo, Kal."
Bella mengambil kue itu dan memakannya dengan pelan. Sebenarnya perutnya masih bisa menampung beberapa potong kue lagi, tapi ia ingin segera pulang. Malas jika harus mendengar omongan nyelekit dari Haikal lagi.
Haikal menatap Bella yang kini tengah fokus memakan kue sembari menonton televisi. "Bel," panggilnya.
"Hm?"
"Bel."
"Apa?"
Kesal karena Bella hanya menjawab tetapi tidak menoleh padanya, Haikal pun menarik kunciran rambut Bella hingga terlepas.
"Apasih, Kal?" kesalnya.
"Kalau orang manggil itu noleh."
"Emang lo orang?"
Haikal membuang napas lelah. Ia benar-benar lelah dengan kelakuan Bella.
Bella kembali fokus menonton televisi. "Kalau gue juga suka sama lo ... gimana, Bel?"
Bella langsung menoleh dengan cepat. Ia benar-benar terkejut atas pertanyaan Haikal. "Apa?" tanyanya memastikan. Ia takut jika dirinya hanya salah dengar.
"Kalau gue juga suka sama lo gimana?"
Jantung Bella berdetak berkali-kali lipat lebih kencang, pipinya memerah dan tangannya bergetar. "Ya ..., ya, nggak gi ... mana-gimana, sih, paling gue seneng," jawabnya terbata-bata.
Haikal tersenyum tipis atas respon dari Bella. Baru saja Haikal ingin bicara, Bella sudah terlebih dahulu mengeluarkan suara. "Tapi itukan 'kalau'. Lo sendiri aja nggak mengharapkan pernyataan dari gue, kan? Udahlah, gue nggak bakal bisa jadi mangsa lo, Kal."
"Gue seneng sama pernyataan lo."
"Seneng ada bahan ejekan baru?"
Haikal menggeleng. "Seneng karena perasaan gue terbalas."
"Lo ngeprank gue, ya, Kal? Udahlah jujur aja, di mana kameranya?" Bella benar-benar belum bisa menerima kenyataan ini.
"Boleh gue jadi pacar lo?"
Bella terdiam. Namun, beberapa detik kemudian ia tertawa remeh akan pertanyaan Haikal. "Apa ini cara lo untuk memikat cewek di luar sana?"
"Gue belum pernah pacaran."
Bella termangu saat sadar akan kenyataan bahwa Haikal belum pernah berpacaran. Selama ini Haikal hanya sebatas mendekati para gadis saja, tidak pernah sampai berpacaran. Itu artinya, jika ia menerima Haikal, ia akan menjadi gadis pertama yang dipacari oleh lelaki itu.
"Boleh, Bel?"