"Menurutmu kenapa?"
Cheryl bertanya dengan mata yang hampir berkaca-kaca, menahan rasa tangis.
Aaron terdiam, membalas tatapan Cheryl yang tidak bisa ia tebak, seolah ia pernah melakukan kesalahan yang begitu besar.
"Apa aku melakukan kesalahan?" tanya Aaron.
"Iya. Kau banyak melakukan kesalahan," batin Cheryl yang masih mengingat dengan jelas kejadian 'waktu itu'.
"Kita putus saja." Sebuah kalimat yang tidak masuk akal bagi Aaron keluar dari mulut Cheryl.
"Kenapa? Katakanlah, apa kesalahan yang telah kubuat sampai kau ingin putus?" tanya Aaron yang tidak percaya.
"Kau tidak mencintaiku, kan? Kau lebih suka perempuan imut dan lucu seperti Bella?" balas Cheryl, melepaskan genggaman Aaron, meninggalkannya.
"Apa? Omong kosong macam apa itu? Tunggu!" Aaron mengejar Cheryl dari belakang, berusaha menahannya lagi.
"Aku tidak pernah menyukai Bella!" ujar Aaron dengan yakin.
"Kau yakin?"
"Tentu saja!"
Terdiam melihat Aaron, kehabisan kata-kata, Cheryl pun lanjut, "Kalau begitu kenapa setiap kali kita berpergian selalu ada Bella? Bukankah kita pacaran? Kita butuh waktu untuk berdua saja, bukan? Apa bedanya pacarana atau tidak kalau ke mana-mana saja tetap bertiga?"
"Kalau memang itu masalahnya, aku bisa meminta Bella untuk tidak ikut-ikutan ke mana pun kita berada-"
"Tidak perlu. Bukan itu yang kuinginkan. Kau tanyakan pada dirimu sendiri dulu, siapa yang kau cintai sebenarnya!" Cheryl mengakhiri pembicaraan dengan meninggalkan Aaron.
***
Di kamar.
Di atas meja kerjanya, Cheryl tengah fokus mengoreksi kesalahan yang ia buat. "Aku bahkan tidak ingat dengan kejadian ini."
Untungnya tidak lama, sebab sesampai di rumah kepalanya kembali dingin, sehingga lebih fokus bekerja.
"Kalau tidak salah, nanti Lila akan meneleponku untuk menggantikannya di acara minum-minum yang diadakan perusahaan, dan di sana aku akan bertemu Bella," batin Cheryl.
"Cih, Bella bahkan tidak memberitahuku soal ini, padahal ia bilang kita sahabat," lanjut Cheryl.
"Tapi … ada satu kejadian yang paling tidak kusuka, aku hampir saja dilecehkan oleh beberapa pria mabuk di sana, aku tidak mau mengulangnya untuk yang kedua kalinya!"
Drrtt! Baru saja diomong, nama Lila tertera di layar handphone Cheryl.
"Halo? Ryl! Kau bisa bantu aku?" tanya Lila di balik layar handphone.
"Bantu apa?" tanya Cheryl berpura-pura.
"Bisa kau gantikan aku untuk mengikuti acara minum yang diadakan perusahaan?"
"Maaf, Lil, aku tidak bisa. Aku masih ada banyak kerjaan," tolak Cheryl.
"Kumohon, Ryl. Aku tidak punya pilihan lain, Ayahku baru saja meninggal. Aku harus urus banyak hal-" ucap Lila yang sontak mengejutkan Cheryl.
"Apa? Turut berdukacita, Lil. Apa tidak ada orang lain yang bisa menggantikanku? Mau kupanggilkan Aaron?" tanya Cheryl yang masih berusaha mencari jalan.
"Aaron juga tidak bisa, Ryl. Aku tidak tahu harus bertanya ke siapa lagi, kalau kutolak, aku takut namaku jadi buruk," ujar Lila yang terlihat khawatir. Mau bagaimana pun juga, Lila sudah banyak membantu Cheryl di kehidupan lalu, rasanya seperti tidak tahu diri kalau tidak ia bantu.
***
Sampailah Cheryl di depan sebuah gedung elite yang menjadi sumber traumanya. Kedua kakinya gemetar, namun gemetar karena takut, bukan kedinginan.
Membawa sebuah tiket VVIP di tangan, namun dengan nama yang berbeda.
"Nona Lila Patricia?" tanya seorang pelayan. Cheryl mengangguk. Ia pun diantar oleh sang pelayan ke ruang VVIP.
"Aku hanya perlu menghindari ruangan itu, bukan? Buktinya aku bisa melewati kejadian pulang bersama dengan brengsek itu!" batin Cheryl.
Kriettt! Suara pintu terbuka, ia melihat begitu banyak karyawan yang sudah duduk di depan meja. Ia masih mengingat dua pria itu, mereka tengah asik minum. Tepat di ujung ada kursi yang masih kosong, diperkirakan itu kursi Xavier.
Tidak lama sesudah Cheryl datang, Xavier menyusul dari belakang. Namun ternyata Xavier tidak sendirian, ada Bella di belakangnya. "Eh? Cheryl juga ikut?"
Cheryl hanya balas dengan senyuman dan anggukan.
"Selamat atas rekor penjualan yang kita raih, Pak Direktur!" ucap salah satu dari mereka.
Selagi berjalan menuju tempat duduknya, Bella terus di sampingnya, berusaha menarik perhatian Xavier namun tak kunjung mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Pfftt!" Diam-diam Cheryl tertawa. Sialnya, ia harus duduk di samping pria pemabuk itu. "Aku hanya perlu menolak bantuannya."
***
Acara berjalan dengan lancer. Paling tidak sebelum dua orang pemabuk yang berusaha meminta bantuan Cheryl.
"Boleh kita cari tempat privasi untuk membicarakan bisnis? Ada beberapa hal yang Pak Direktur baru saja sampaikan kepada kami."
"Waktu itu, aku dengan bodohnya langung mengiyakan, tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada Pak Direktur," batin Cheryl. Sialnya, Xavier tidak ada di sana, sehingga ia tidak bisa mengeluarkan alasan yang paling tepat.
"Benarkah? Tapi Pak Direktur sendiri tidak mengkonfirmasi apa pun sebelumnya," tolak Cheryl dengan alasan.
"Tentu saja, karena ini mendadak, ia baru membicarakannya sebelum acara dimulai, sebelum kau sampai di sini," ujar mereka.
"Tapi, kalau pun begitu, seharusnya Pak Direktur mengkonfirmasi melalui chat, biasa ia melakukan hal demikian," bohong Cheryl.
"Ah …." Kehabisan kata-kata, mereka pun langsung meninggalkan Cheryl tanpa ada kalimat terakhir.
Menghela napas lega, ia merasa sudah berhasil melewatinya.
Sudah 30 menit berlalu, namun Pak Direktur maupun Bella tak kunjung terlihat. Cheryl tentunya tidak peduli, ia hanya lanjut memakan makanan di depannya.
"Cheryl!" panggil Sarah.
"Sudah 30 menit Pak Direktur tak kunjung kembali, sudah ditelpon pun tak diangkat. Boleh bantu aku mencari keduanya? Beberapa dari kami juga ikut membantu," ujarnya.
"Tentu." Cheryl tidak punya pilihan lain, tidak mungkin ia menolak hal itu.
"Padahal dulu tidak pernah ada kejadian seperti ini," batin Cheryl.
Beberapa karyawan ada yang keluar, dan beberapa menetap di dalam ruangan.
Awalnya ramai, namun perlahan entah kenapa tertinggal Cheryl sendiri. "Sial, kenapa auranya begitu mengerikan?"
Lebih mengerikannya lagi, sedari tadi Cheryl merasa ada yang mengikutinya dari belakang. Karena terlalu fokus mencari Xavier, ia jadi terlupa akan satu hal yang penting.
"Tunggu dulu," batinnya. Jantungnya berdebar kencang, sekujur tubuhnya gemetar. Memang ia menghindari tempat 'itu', namun percuma jika hal itu bisa dilakukan di lain tempat.
"Sial! Kenapa aku begitu bodoh?" batinnya yang menoleh sedikit ke belakang, langsung berlari sekencang-kencangnya ke tempat yang ramai.
Benar saja, kedua orang yang sedari tadi mengikutinya dari belakang, langsung mengejarnya dengan cepat.
Drap! Drap! Drap! Ia berlari sekuat tenaga, air matanya bercucuran. Ketakutan. Hany aitu yang bisa mendeskripsikan apa yang ia rasakan. Sialnya, tidak ada satu pun orang di sekitar, ia terus mengitari lorong demi lorong, hingga ia menemukan tangga darurat.
"Hei wanita cantik, untuk apa kau lari?!" teriak salah satu dari pria itu dengan nada yang menjijikan bagi Cheryl.
Tangga demi tangga, walau menguras banyak tenaga Cheryl, namun ia tak menyerah. Ia terus menaiki tangga, hingga tersampai di sebuah pintu. Hanya pintu, dan ternyata sudah tidak ada jalan lagi selain memasuki pintu itu.
Sialnya, pintu itu terkunci.
"Wanita cantik, akhirnya berhenti juga! Sini, bermainlah dengan kami!"
"Sial! Malahan lebih parah dari yang sebelumnya! Sebelumnya untung Bella memanggil polisi, namun di sini? Apa 'aksi' mereka akan lancer-lancar saja? Sial! Sial!!!" batin Cheryl yang berusaha menggedor pintu dengan kencang.
"Tolong! Tolong saya!" Walau harapannya sudah pupus, namun ia masih memiliki harapan.
"Tolong! Kumohon, bukakan pintunya!" tangisnya.
Ia sudah bisa melihat pria-pria brengsek memasang senyum tawa bahagia.
Kriet! Pintu di belakangnya terbuka, dua tangan langsung menarik Cheryl ke dalam dan mengunci pintunya.
"Mmfff!!!" Cheryl yang panik, berusaha melepaskan dirinya dari genggaman tangan seorang pria yang tidak ia kenal.