Hari sudah gelap, namun Cheryl belum saja sampai di rumah. Tentu saja karena ia ingat sudah ada janji dengan kedua orang tuanya. Tas berisi oleh-oleh sudah di tangan, namun tubuhnya gemetar tak kunjung berhenti, rasa takut menggerogoti sekujur tubuh. Ia hanya bisa membayangkan sejenak apa yang nantinya akan ia terima.
Ting! Tong! Ia menekan tombol bel dengan penuh keraguan. Rumah yang ia tinggali sejak kecil memberikan kenangan yang buruk, memori yang tidak pernah ia harapkan.
Gerbang pun dibuka, terlihat seorang pria tua dengan ekspresi wajah yang tidak baik.
"Sudah lama, Yah," sapa Cheryl dengan senyum hangat, namun kosong.
Tanpa membalas, Joshua, sang Ayah, hanya memberikan jalan bagi Cheryl untuk masuk ke dalam rumah, menutup pintu gerbang setelah Cheryl melewati batasnya.
PLAK! Sebuah tamparan mendarat di pipi kanan Cheryl, pipinya langsung merah bengkak, sebab begitu kencang tamparan yang sang Ibu keluarkan.
"Apa yang kau katakan pada Aaron? Memutuskan tali perjodohan? Kau pasti sudah gila! Dasar perempuan yang tidak tahu diri! Seorang Aaron menginginimu saja sudah menjadi sebuah keajaiban!" bentak Sharon, sang Ibu.
"T-tapi, Ibu-"
PLAK! Sebuah tamparan lainnya melanda di pipi kiri Cheryl, kali ini berasal dari sang Ayah. "Dengarkan Ibumu dulu ketika ia sedang berbicara!"
"Kau tahu kalau kita memiliki hutang dengan keluarga Javier? Membangun tali perjodohan adalah salah satu hal yang sudah cukup bagi kita!" lanjut Sharon yang tak hentinya marah.
Cheryl datang ke rumah kedua orang tuanya hanya untuk dimarahi, tentu hal itu menyakitkan. Tas yang berisi makanan restoran kesukaan kedua orang tuanya ia genggam dengan erat karena kesal.
"Ibu tidak mau tahu! Kalau kau memang tidak mau menikah dengannya, cari cara lain untuk melunasi hutang kita yang sudah bermiliaran!!!"
***
Shaa!!! Hujan begitu deras turun, dan kebetulan Cheryl tengah berjalan kaki menuju terminal bus. Di sela air hujan membasahi wajah dan sekujur tubuhnya, terselip air mata yang juga mengaliri wajahnya, mengikuti arus air hujan.
Terkadang ia iri dengan Bella. Bella memiliki semua hal yang ia inginkan, mulai dari pria-pria yang pernah ia suka, keluarga yang baik, kekayaan, sampai prestasi, seolah Bella mengambil semua hal yang baik, sedangkan Cheryl hanya menyerap hal buruk.
"Hiks! Aku pikir kehidupanku yang kali ini akan lebih baik dari yang sebelumnya … malahan apa yang kuperbuat memperburuk keadaan lebih dalam," tangis Cheryl mengelus pelan luka di kedua pipinya.
Di sisi lain …
"Berikan padaku hasil tes sidik jarinya," ujar Xavier pada Jhonson.
"Ini, Pak Direktur."
Melihat hasil tes sidik jari, terlihat jelas siapa pelakunya, sebab Cheryl hanya memegang bagian talinya, sedangkan Kylie sempat menyentuh bagian berliannya.
"Kau tidak bisa menipuku."
BRAK!!! Keesokannya, Lila dengan heboh menendang pintu begitu kencang, hingga mengejutkan Cheryl.
"Ada apa? Kau tidak bisa-"
"Gawat! Seisi kantor sedang heboh! Pencuri permata hijau sudah terkuak-" bisik Lila belum menyelesaikan topik, baru menyadari satu hal.
"Tunggu! Apa yang terjadi dengan wajahmu?! Kau tidak apa?!" Lila begitu khawatir dengan kondisi Cheryl, namun tidak dengan Cheryl, ia lebih memikirkan kondisi Kylie. Shock tidak main dengan kabar yang ia dengar, ia langsung meninggalkan Lila tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Ruangan begitu ramai, Cheryl berusaha menyela satu per satu barisan agar bisa ikut menyelesaikan masalah. Sampailah ia di hadapan kedua orang yang paling berperan penting.
Kylie dengan tubuh gemetarnya, menundukkan kepala dengan perasaannya yang bersalah. Xavier masih menatap Kylie, sebelum ia kembali bertanya, "Jadi bagaimana? Apa yang akan kau pilih-"
"Tunggu!" Cheryl dengan berani menyela Xavier, mengejutkan seluruh penonton, tidak terkecuali Aaron dan Bella. Ia berjalan memasuki lingkaran, berdiri di depan Kylie dengan beraninya.
"Kita sudah tidak lagi berurusan, jadi jangan ikut campur," tegas Xavier.
"Ini masih urusanku, sebab Pak Direktur hampir menuntutku secara sembarangan tanpa ada barang bukti yang jelas," balas Cheryl.
"Sekarang kau sudah menemukan barang buktinya, soal apa yang kau inginkan, bisa kita bincangkan nanti? Karena saya ingin mengurus hal penting."
"Bagaimana kalau kita bicarakan sekarang untuk sebentar saja?"
Xavier menghela napas begitu dalam, sebelum ia berkata, "Katakanlah."
"Aku ingin Pak Direktur membebaskan Kylie, jangan pecat maupun menuntutnya, itu permintaanku." Cheryl dengan terpaksa menggunakannya, padahal ia ingin menggunakannya untuk kepentingannya sendiri, namun tidak bisa karena sudah berjanji pada dirinya sendiri. Hal itu sontak mengejutkan semuanya, terutama Kylie.
"Cheryl-" Kylie hendak menghentikan hal ini, namun Xavier langsung memotong pembicaraan.
"Baiklah, terserah kau," ucapnya demikian sebelum ia meninggalkan ruangan. Setelah itu, perdebatan pun berakhir. Satu per satu orang meninggalkan ruangan untuk kembali bekerja, menyisakan Cheryl dan Kylie berdua.
"C-Cheryl … terima kasih banyak …," ujar Kylie dengan nada kecil, kepalanya masih sedikit menunduk.
"Tidak apa! Aku juga sudah memastikan kalau aku tidak akan membahayakan dirimu, bukan? Ini kewajibanku sendiri! Lain kali, jangan kau lakukan hal yang sama, resikonya besar," ujar Cheryl mengelus pundaknya dengan senyuman tipis.
"Ryl! Kau tidak apa? Kenapa wajahmu begitu?" tanya Aaron menghampirinya dengan penuh kekhawatiran.
Menatap Aaron sejenak, masih belum bisa menerima semuanya, Cheryl menjawabnya dengan judes. "Tidak apa."
"Cheryl!!! Kau yakin? Kau ingin kopi? Kita ke kafe sebentar saja untuk menyegarkan otak," saran Bella yang ikut menghampiri mereka.
"Tidak perlu, aku sudah dibelikan Lila kopi. Aku ke ruanganku dulu," tolak Cheryl langsung meninggalkan mereka.
"WOAH! Cheryl, kau hebat sekali!" puji Lila.
"Aku tidak menyangka kalimat itu keluar dari mulutmu," balas Cheryl yang tengah mengetik komputer.
"Ajarkan aku agar bisa seberani kau!" ucap Lila mendekatkan dirinya pada Cheryl.
Melihat tingkah laku temannya, ia tertawa. Rasanya ia tidak pernah sebahagia ini. Ia berhasil menyelamatkan seseorang hanya dengan kemampuannya sendiri, ia berhasil melawan Xavier yang dikenal dingin oleh banyak orang, terakhir ia membuat Lila kagum dengannya, bahkan hubungan keduanya semakin dekat.
"Aku tidak menyangka, petaka yang tadinya terlihat memburuk, berubah drastis," batin Cheryl.
"Ngomong-ngomong, aku dapat undangan semacam masquerade ball, di mana kau berdansa dengan pria-pria yang tidak dikenal dengan menggunakan topeng." Mendengar kalimat Lila, Cheryl sudah bisa menduga apa yang dia inginkan.
"Kau ingin aku menggantikanmu, bukan?"
"Hahaha! Seperti sudah hafal saja, kau!"
"Kali ini apalagi alasannya?"
"Aku ada janji dengan Adikku yang masih di rumah sakit, jadi …." Mendengar itu, bagaimana bisa hati Cheryl tidak luluh? Dia paling lemah jika membicarakan soal keluarga.
"Baiklah-baiklah! Berikan saja undangannya padaku!"
***
Ballroom begitu ramai dengan pria dan wanita bertopeng, namun Cheryl sama sekali tidak mengingat kejadian ini. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dan hal itu sedikit membuatnya khawatir. Meminum champagne yang ditawarkan oleh seorang pelayan, sambil ia melihat-lihat sekitar.
Pesta yang begitu mewah, untuk pertama kalinya ia menghadiri acara demikian.
Celingak-celinguk mencari pria untuk berdansa bersama, hingga akhirnya seorang pria menawarkan diri untuk berdansa dengannya.
"Mau berdansa denganku?" tanya seorang pria dengan jas biru dongker beserta postur tubuh yang tinggi dan sempurna. Memakai topeng dengan warna yang sama dengan bajunya, serta suara yang terkesan halus namun familiar.