Diam sejenak menatap Lila, Cheryl dengan perlahan mulai menceritakan kronologi hilangnya kalung batu permata hijau milik Xavier, Lila sendiri shock mendengarnya.
"APA?!"
"Kau gila! Itu kalung termahal yang pernah aku dengar! Sebaiknya kau cepat menemukan barang bukti, karena … harganya sangatlah mahal!" ucap Lila dengan panik.
"Itu dia masalahnya, bagaimana caranya? Sudah kuperiksa rekaman CCTV, sialnya kamera CCTV waktu itu sedang dalam masa perbaikan!" Cheryl mulai terlihat putus asa.
"Hahh!!! Kita laporkan saja ke polisi? Menurutku hanya itu satu-satunya jalan!" saran Lila.
"Aku sudah melaporkan hal ini ke polisi sekitar tiga hari yang lalu, dan sampai sekarang aku tidak mendapat kabar apa pun," ucap Cheryl sembari ia duduk di depan meja kantornya.
"Lalu kita harus bagaimana?!" Lila mulai panik sendiri, padahal bukan dia yang mengalaminya. Cheryl mengetik komputer sejenak sebelum ia menatap Lila.
"Mau bagaimana lagi? Serahkan saja pada nasib," ucap Cheryl yang sudah pasrah.
***
Matahari sudah terbenam, beberapa karyawan sudah mulai berpulangan, tidak terkecuali Cheryl.
Tengah berjalan dengan santai, mendadak saja seseorang menghentikannya, Aaron.
"Apa yang terjadi denganmu?" tanya Aaron.
"Bukan urusanmu," balas Cheryl.
"Tolong beri aku satu kesempatan lagi, Ryl!" ucap Aaron yang menggenggam pergelangan tangan Cheryl.
"Kau kan yang melaporkan hal ini pada kedua orang tuaku?" ucap Cheryl yang kini berhadapan langsung dengan Aaron.
"Aku hanya menceritakan apa yang kualami, tidak bermaksud memaksamu."
Melepaskan genggaman tangan Aaron, Cheryl membalas, "Keputusanku sudah bulat."
"Apa salahku? Katakanlah, aku tidak akan mengulanginya lagi, aku masih mencintaimu!" ujar Aaron bersungguh-sungguh, namun sayangnya hati Cheryl sudah tertutup rapat.
"Aku sudah tidak mencintaimu, jadi carilah wanita lain," tolak Cheryl secara langsung, menatap Aaron tanpa ada ekspresi sakit hati.
"Melihat sendiri apa yang nantinya akan kau perbuat, langsung membakar perasaanku," batin Cheryl.
"Apa tidak ada sedikit pun kesempatan untukku?" tanya Aaron untuk yang kesekian kalinya, menghentikan langkah kaki Cheryl. Ia hampir saja luluh, namun ia sudah membulatkan tekad.
"Kalau kau memang mencintaiku, lepaskanlah aku. Putuskan perjodohan yang sudah dibuat oleh orang tua kita, aku tidak mengingininya," ucap Cheryl berusaha menjebak Aaron. Aaron terdiam menatap Cheryl.
"Aku ingin jika aku bisa, tapi kalau soal itu, kau harus berhadapan langsung dengan kedua orang tuaku, sebab bukan aku yang mengingininya," ujar Aaron. Tanpa membalas, Cheryl langsung meninggalkan Aaron.
Menaiki bus, Cheryl yang duduk di dekat kaca, melihat pemandangan luar. Mengenang kembali kenangan masa kecilnya yang begitu indah, namun ia sadar setiap kenangan indahnya selalu momen yang bukan bersama dengan kedua orang tuanya.
Di tengah perjalanan, ia mendapat kabar dari pihak kepolisian kalau mereka tidak menemukan barang bukti yang kuat untuk bisa membela Cheryl sendiri.
"Rasanya dulu masalahku tidak seberat ini, hanya seputar kisah percintaanku dengan Aaron," batin Cheryl.
Berbeda dengan malam sebelumnya, malam ini Cheryl lebih memilih untuk membawa santai segala hal dan menenangkan diri.
Besokannya, ia pergi ke kantor seperti biasa, namun tanpa dengan keberadaan lingkaran hitam di bawah mata.
"Bagaimana?" tanya Lila sesampai Cheryl di kantor.
"Sudahlah, mungkin aku harus membincangkannya dengan Pak Direktur," ujar Cheryl dengan nada suara yang tenang.
"Ngomong-ngomong, mau kubelikan kopi?" tanya Cheryl.
"Biar aku saja yang belikan." Tidak tega Lila dengan Cheryl, itu sebabnya ia berkata demikian. Biasanya, pagi-pagi keduanya minum kopi Bersama dengan suasana yang hangat gembira, namun kali ini suasananya berbeda.
"Tidak apa, biar aku saja, sekalian aku mencari udara segar."
***
Memang di pagi hari, kafe di sebrang kantor Cheryl ramai dengan pengunjung karyawan dari kantor yang sama, hampir menjadi rutinitas bagi beberapa karyawan di sana.
"Frappucino satu dan Capucino satu," ucap Cheryl. Selagi menunggu pesanan, ia duduk di kursi. Melihat ke sana ke mari, namun ada sesuatu yang cukup menarik perhatian, sebuah kain yang terjatuh di bawah meja seseorang. Bermaksud untuk membantu, Cheryl mengambil kain itu untuk memberikannya kepada sang pemilik yang sepertinya salah satu teman sekantornya, Kylie.
Klang! Suatu benda kecil terjatuh darinya, ternyata kain tersebut digunakan untuk membungkus suatu barang. Betapa terkejutnya Cheryl melihat benda tersebut, kalung permata hijau yang dicari-cari oleh Xavier. Wajah Kylie langsung membeku, sedangkan Cheryl langsung mengambilnya dengan cepat.
"Apa maksudnya ini?" tanya Cheryl. Memang pada malam itu Kylie ikut ke acara, namun ia tidak bisa menebak kapan Kylie melancarkan aksinya.
"Kumohon, jangan adukan ini kepada Pak Direktur, aku janji akan melakukan apa saja! Aku terlilit hutang, aku terpaksa melakukan ini!" Kylie langsung panik, memohon dengan keras pada Cheryl. Ia menangis tersendu, tubuhnya gemetar. Melihat itu Cheryl tidak tega.
Cheryl mengusap punggungnya dengan perlahan sebelum ia angkat bicara, "Hey, aku juga berharap untuk tidak mengadukan hal ini, tapi satu perbuatanmu itu merugikanku, sekarang Pak Direktur menuntutku dan mengira aku yang mencuri barang ini, dan dalam waktu seminggu ini aku harus membuktikan kalau aku tidak bersalah."
"Aku akan menyerahkan ini ke Pak Direktur tanpa membawa namamu, aku ingin melihat reaksinya terlebih dahulu, kalau reaksinya tidak membaik, aku tidak akan membawa namamu. Akan tetapi kalau ia terlihat berbaik hati untuk memaafkan kesalahanmu, maka kau harus menghadapinya sendiri," lanjutnya membawa batu permata hijau itu.
Melihat Tindakan Cheryl, Kylie menghentikan tangisnya, memeluknya dengan rasa bersyukur. "Terima kasih, Ryl!"
***
Tok! Tok! Tok! Kriett! Jhonson membukakan pintu ruang kerja Xavier. "Ada apa?"
"Apa Pak Direktur sedang sibuk?" tanya Cheryl.
"Hmmm, kalau kau bertanya demikian, tentu saja iya. Ada apa? Apa ada sesuatu yang penting?" tanya lagi Jhonson.
"Ini. Aku menemukannya, seseorang mencurinya." Cheryl menyerahkan kalung permata hijau itu kepada Jhonson. Jhonson terlihat begitu senang, sebelum ia berucap, "Terima kasih sudah menemukannya-"
Belum selesai ia mengucap, Xavier dari belakang langsung merebut kalung itu dengan kasar dari tangan Cheryl. Menatap sejenak kalungnya, sebelum ia menatap kembali Cheryl.
"Mana bukti bahwa kau tidak bersalah?"
Cheryl menatap pria dingin itu, sejenak ia merasa ragu dengannya. "Aku ada bukti yang paling kuat, tapi kau harus berjanji untuk tidak memenjarakan maupun memecatnya."
Xavier mengangkat alisnya sebelah, heran dengan Cheryl. "Kenapa demikian? Tentu saja harus kutuntut, apalagi karyawanku sendiri, paling baik kupecat."
Melihat respon yang ia dapat, Cheryl mengernyitkan dahi, menatap Xavier sejenak, ia pun memutuskan untuk tidak membeberkan siapa pelakunya. "Ya sudah, karena aku gagal membuktikan ketidakbersalahan diriku, anggap saja aku tidak mendapatkan apa pun."
Ia pun langsung meninggalkannya tanpa berpamitan, sudah terbawa kesal dengannya. Xavier menggenggam erat kalung itu, menatapnya dan berkata, "Kau pikir aku bodoh?"