Di lain tempat ….
Srett! Seorang pria dengan tubuh yang tinggi dan tegap, sedang merapikan dasinya. Dengan pakaian yang sudah rapi dan sempurna, ia sudah siap untuk berangkat kerja.
Tok! Tok! Tok! Kriett!
"Pak Direktur, kendaraan sudah siap. Bagaimana dengan Bapak?" tanya Sekretarisnya.
Tanpa menjawab, ia hanya memberikan aba-aba singkat dengan tangannya. Memang pria yang satu ini, Xavier Anderson, terkenal cukup dingin dan jarang angkat bicara. Perilakunya yang keras kepala dan selalu mempertahankan argumennya, karena ia merasa tidak ada yang lebih berkompeten darinya.
"Baik, Pak. Silahkan."
***
"Ini kan wajahku 10 tahun yang lalu!!!"
"Bicara apa sih, kau?" tanya Lila, teman sekaligus rekan kantor yang dekat dengannya selain Bella dan Aaron.
"Ah! Bukan apa-apa, kok!" Cheryl yang panik, langsung mengalihkan perhatiannya.
"Nih, kita dapat tugas baru. Ada projek baru yang diusulkan oleh salah satu kepala divisi di rapat kemarin …." Selagi Lila menjelaskan, Cheryl mengingat-ingat mengenai projek yang satu ini.
"Ah … ini projek daur ulang yang dimenangkan oleh Bella, bukan? Aku masih mengingat dengan jelas suasana rapat yang begitu panas karena jumlah vote yang hanya beda tipis," batin Cheryl sembari mendengarkan Lila.
"Paham, Ryl?"
"Uhmm!" Angguk Cheryl.
"Baik, kalau begitu. Jangan lupakan dokumen-dokumen ini. Selesaikan lebih cepat agar bisa lanjut ke projek selanjutnya. Sebelum mengumpulkan ini pada Pak Direktur, jangan lupa periksa detailnya, karena Pak Direktur ini orang yang teliti!" ucap Lila panjang lebar dengan bisikan. "Aku duluan, ya! Aku harus mengawas divisi lainnya yang akan bekerja, dah!" lanjutnya lagi.
"Baiklah!" balas Cheryl.
Tring! Tepat setelah Lila meninggalkan ruangan, dering telepon berbunyi dari saku Cheryl.
"Pasti dari Aaron." Benar saja sesuai dugaannya. "Kalau tidak salah dia menanyakan soal pulang bersama, namun ia malah mengajak Bella tanpa sepengetahuanku. Waktu itu, karena kupikir kita bersahabat, jadi tak kuacuhkan. Tanpa kusadari, ternyata ada udang di balik batu."
Dengan cepat Cheryl mematikan telepon Aaron, masih merasa 'panas' dengan fakta yang baru saja ia ketahui.
***
Selesai mengurus beberapa dokumen penting, Cheryl pun keluar dari ruang kantornya untuk menyerahkannya pada CEO perusahaannya yang bernama Xavier Anderson. Pria dingin yang cukup popular di antara para wanita. Di kehidupannya yang lalu, Cheryl hampir tidak pernah berkomunikasi dengan Xavier, saking tertutupnya orang itu.
Ia terkenal tidak peduli dengan sekitar, dan lebih mengandalkan tangan kanannya yang langsung turun tangan. Ia juga salah satu pria yang paling dihindari Cheryl, karena aura dinginnya.
"Bukankah lebih baik turun tangan sendiri agar kinerja lebih maksimal dan sesuai dengannya? Apa mungkin dia tidak suka karena seringkali dikerumuni para wanita?" batin Cheryl selagi berjalan di lorong.
Tok! Tok! Tok! Sesampai di depan pintu kantor sang direktur, Cheryl mendadak gugup. Karena ia lupa apa yang akan terjadi setelah ia memasuki ruangan.
"K-kenapa tidak ada satu pun pecahan ingatan mengenai kejadian ini?" batin Cheryl dengan wajah memucat. "Bahkan wajahnya saja tidak kuingat!"
Glup! Namun Cheryl tidak memiliki pilihan lain, sebab ia harus mengantarkan dokumen penting.
Kriettt!
Pintu pun terbuka, ia melihat Xavier yang tengah duduk di meja kantornya, sedang membalikkan lembaran kertas putih tertera di atas mejanya. Tubuhnya membelakangi sinar matahari, sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Pemandangan yang indah dilihat namun Cheryl sadar pastinya akan ada masalah nantinya.
"Selamat siang, Pak Direktur. Saya ingin mengantarkan dokumen mengenai projek lalu …," ucap Cheryl di depan pintu, menunggu aba-aba dari Xavier.
Pria itu menatap Cheryl sejenak dengan ekspresi yang tidak tertebak, entah apa yang ia pikirkan soal Cheryl. Namun Cheryl tidak mau ambil pusing, ia hanya memiliki satu tujuan, yakni mengantarkan dokumen.
Tepat setelah meletakkan dokumen-dokumen tersebut di samping Xavier, Cheryl baru bisa melihat wajahnya dengan jelas.
"Oh, jadi ini wajahnya. Tetap saja aku tidak mengingat apa pun! Kenapa begitu?" batinnya sembari membalikkan badan, hendak meninggalkan ruangan.
"Tunggu!" Suara rendah Xavier yang secara mendadak mengejutkan Cheryl dari dalam hatinya.
Deg!!! Rasa kagetnya menyelimuti sekujur tubuhnya, rasa seperti dapat jumpscare dari film horror.
"Apa ada masalah, Pak?" tanya Cheryl yang langsung membalikkan badannya, berusaha menjawabnya dengan tenang.
Sret!!! Sembari membalikkan halaman dokumen, Xavier mulai angkat bicara, "Bagian ini, ada begitu banyak kesalahan. Tolong diperbaiki."
Glup! Cheryl baru saja melakukan sebuah kesalahan. Xavier juga dikenal sebagai orang yang perfeksionis. Kesalahan kecil pun dipermasalahkan.
"Baik, Pak Direktur. Maaf atas kesalahannya." Cheryl langsung mengambil dokumen tersebut dan membungkukkan badan.
Kriett!
Pandangan Xavier masih ke arah pintu yang sudah tertutup.
Di belakang pintu ruang kantor Xavier, ada Cheryl yang masih merasa deg-degan.
"Hahhh …." Cheryl menghela napas lega setelah keluar dari ruangan yang penuh dengan aura gelap. "Mau tidak mau, aku harus kembali ke ruang kantor untuk ini."
***
"Perbaiki." Begitu kalimat yang keluar dari mulut Xavier. Sudah lima kali Cheryl bolak-balik dari ruangannya ke ruang kerja Xavier, dan selama bolak-balik itu memakan waktu sebanyak 15 menit.
"Baik, Pak Direktur," ucap Cheryl yang mengambil kembali dokumen-dokumennya dengan senyum paksa. "Kalau boleh tahu, bagian mana yang harus saya perbaiki?" ceplos Cheryl yang sudah merasa lelah. Xavier tak menjawab, hanya menatap Cheryl dengan tajam, membuat Cheryl merinding seketika.
Saat hendak berbicara untuk membatalkan niatnya, suara ketukan pintu terdengar.
Tok! Tok! Tok! Kriett!
Seorang pria berkacamata dengan jas hitam sambil memegang tablet, Cheryl masih mengingat jelas bahwa dia ini sekretaris dari Xavier yang bernama Jhonson.
"Dulu ia pernah membelikanku minuman energi hanya untuk menyemangatiku … bukan karena ada apa-apa, memang dia ini seorang yang ramah," batin Cheryl.
"Loh? Bahkan aku mengingat memoriku dengan asistennya, kenapa aku sama sekali tidak mengingat Pak Direktur? Apa kembalinya diriku ada hubungannya dengan Pak Direktur?" lanjutnya berpikir.
"Pak Direktur, waktunya untuk rapat dengan Direktur perusahaan XXX," ucap Jhonson, sedangkan Xavier hanya membalas dengan aba-aba kecil.
"Selesaikan ini, dan besok harus dalam keadaan yang sempurna, paham?" ucap Xavier, dan itu kalimat yang terakhir kalinya Cheryl dengar di hari itu.
***
Brak! Cheryl menendang meja kantornya untuk meredam rasa kesalnya.
"Kesal sekali! Rasanya dulu aku tidak sekesal ini dengan Pak Direktur!!!" marah Cheryl. "Sudahlah, aku selesaikan di rumah saja!"
Drrttt! Belum lagi Aaron yang terus menerus memanggil Cheryl. Dengan kesal ia mengangkat dan langsung berkata, "Kau ingin mengajak pulang bersama, kan?"
"Kenapa tidak mengangkat teleponku dari tadi? Tepat sekali tebakanmu itu," balas Aaron di balik telepon.
Tuttt! Cheryl kembali mematikan teleponnya. Dulu, ketika mendengar suara Aaron, ia merasa sangat senang, namun sekarang rasanya mau muntah.
Ia pun memutuskan untuk pulang dengan membawa dokumen-dokumen.
Drrrttt! Sembari berjalan melewati lorong, dering teleponnya berbunyi, ternyata panggilan dari Aaron. Lagi-lagi ia matikan.
"Cheryl!" panggil Aaron dari kejauhan, seketika menghentikan langkahnya, Cheryl pun menghela napas.
Aaron dengan cepat menggenggam tangannya, bertanya, "Ada apa? Kenapa kau mematikan telepon dan menolak panggilanku berkali-kali?"
"Menurutmu kenapa?" tanya Cheryl dengan nada arogan, membuat Aaron keheranan.