POV; Neng Lia
"Habis sholat, bantu Mami memasak!"
Benar anganku, bahwa Mami akan memberi aba-aba untuk lekas menuju dapur. Setelah Mami rasa, bahwa sepuluh menit lebih, aku belum saja turun dari mushola rumah.
Hal terbiasa yang aku lakukan akan segera aku laksanakan. Apalagi kalau bukan menemani Mami di dapur, untuk memasak sarapan pagi. Hanya saja aku tidak sempat membantu Mami memasak, karena harus membereskan piring-piring yang berpesta pora di atas meja dapur. Serta harus mampir ke ruang tamu, untuk membereskan barang-barang adikku yang berserakan di sana.
"Nggih, Mami."
Aku turun dari mushola rumah, lalu menuju kamar.
Sesekali hembusan nafas berat seakan kuteguk dalam beberapa saat. Setidaknya, sesaat aku menyadari, bahwa urusan rumah masih belum terlaksana tepat waktu.
Tidak tahu, pagi ini terasa begitu malas. Malas untuk mengerjakan semuanya. Dan terasa semua itu berat. Bahkan membuka gawai juga rasanya enggan. Percuma saja, tidak ada yang mengirim pesan setelah kejadian pada malam yang diketahui oleh Papiku itu.
"Iya, Mas. Wassalamu'alaikum."
Aku teringat. Dan ingatan itu begitu kental seakan membungkamku masih dalam pertanyaan yang dalam. Kenapa aku harus sampai melangkah pada hal itu?
"Wa'alaikumsalam."
Aku tidak tahu, malam yang di mana saat hening berpadu itu aku tengah berdialog dengan siapa. Dari telpon, itu adalah suara seorang laki-laki.
Aku memanggilnya Mas Sun, yang artinya matahari.
Aku tidak mengenal jelas mengenai seluk beluk seorang laki-laki tersebut, bahkan rumahnya saja aku pun tidak tahu.
Aku mengenalnya di media sosial yang berinisial F dengan background biru.
Dari profil, yang terlihat hanya tanggal lahirnya yang memang saat itu tak pernah aku pedulikan. Karena aku hanya menganggapnya seorang kakak saja dan tidak lebih.
Hanya saja pagi itu setelah telpon pertamaku dengan Mas Sun, siangnya sepulang sekolah Papiku harus marah besar kepadaku. Aku diberikan pertanyaan banyak mengenai Mas Sun itu. Aku menjawabnya jujur, maka semakin marahlah Papiku.
"Siapa Sun itu? Orang mana?"
Aku menggeleng tak mengerti. Waktu itu yang teringat hanyalah Mas Sun yang rumahnya dekat Alun-alun Kota Pusat.
Di mana lagi kalau bukan berada di kabupaten Harumna. Karena setiap kali aku mendengar kata pusat, yang ada dalam pikiranku adalah dekat dari rumah ustad yang membimbingku qiroah.
"Kulo tidak kenal. Tapi katanya usianya tiga puluh tiga tahun dan alamatnya di alun-alun kota pusat."
Aku menunduk dengan semua rasa salah. Pada saat itupun, pikiranku terbebankan semua pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang silang sengkrawut bak bayangan hitam.
Apakah aku salah dengan berkomunikasi pada orang laki-laki yang anggap kakak laki-lakiku?
"Kalau samean ingin menikah, Nak. Bilang saja, jangan seperti ini. Kalau samean selalu berkomunkasi, pasti akan semakin rindu. Kalau samean sudah rindu, anakku, pasti memiliki rasa ingin bertemu. Kalau samean bertemu dengan orang yang tidak dikenal, lalu dia membawamu pergi dan menghamilimu. Kami harus bagaimana?"
Saat itu aku hanya bisa menunduk dengan berlinang air mata kesalahan. Memikirkan baik-baik apa yang dikatakan Papi.
Semua itu benar, masuk dalam logikaku. Namun kenapa sejak kurang lebih dari sebulan di waktu itu, aku tidak pernah memikirkan, kalau memang dampaknya akan seperti itu.
Akhirnya setelah keputusan yang ditetapkan Papi, aku patuh kepada Papi. Memblokir semua media sosial yang dapat terhubung kepada Mas Sun. Namun selama tujuh hari berturut-turut, telpon dalam gawaiku kian berbunyi dan membuat aku resah hampir setengah mati.
Sampai aku mematikan gawai hampir sebulan. Akhir bulanlah aku baru kembali membuka gawai.
Namun sebelum itu, aku ingin mengganti nomor lamaku dengan nomor yang baru, agar aku tidak seperti diteror dengan orang yang mengaku menyayangiku itu sebagai adik. Akan tetapi Papiku melarang. Katanya kalau aku tidak angkat telpon sama sekali, si Mas Sun itu akan pergi dengan sendirinya.
Ternyata benar. Si Mas Sun, tidak pernah mengangguku lagi dengan bayang-bayang yang disebut kasih sayang darinya.
Dan benar, hingga sekarang. Aku tak menjumpai hal itu kembali. Bahkan tentang teror telpon yang tiap hari, tiap pagi dan bahkan setiap pergantian jam itu, sekarang tidak aku dengar kembali.
"Nduk, tadi Mami ketemu sama Mbak Nisa' katanya mau ngajak samean untuk ngajar di Taman Pendiidikan Al-Qur'an milik Kyai Hasan. Kebetulan juga, kan, samean itu lagi tidak sibuk. Nah, pasti bisa ikut."
Aku yang tengah minum air kelapa, rasanya sedikit tersedak mendengar yang dikatakan Mami. Soal mengajar, bukannya setelah ini aku ada ujian mengajar di Madrasah Diniah di Anyar?
"Tetapi, kulo besok sore mau ada tes ujian mengajar di Madrasah Diniah. Sebentar lagi kan, mau lulus dari sana, Mami."
"Sekarang masih libur, samean kan masih bisa membantu ngajar anak-anak yang di Taman Pendiidikan Al-Qur'an dulu. Kalau memang mau tes mengajarsamean juga perlu bekal agar tidak gerogih saat tes mengajar nanti."
Aku mengangan yang dikatakan Mami. Benar, tetapi mengajar anak usia balita sampai umur sepuluh tahun di Taman Pendiidikan Al-Qur'an itu, bukankah beda dengan mengajar anak yang seusia di atas empat belas hingga delapan belas tahun?
"Memang Papi setuju, Mami?"
"Papi kok tidak setuju, kalau anaknya ngajar malah setuju."
Aku tidak ada pilihan, kecuali setuju untuk hal ini. Selagi ada waktu, kenapa aku harus menolak. Mungkin ini adalah lingkungan berbeda yaitu mendekat dengan para anak-anak yang berusia di bawah sepuluh tahun.
Tetapi aku mungkin dari sini bisa belajar mencoba lebih sabar, saat menuangkan ilmu kepada mereka. Bukankah menjadi guru tidak perlu memilih siapa yang diajar? Selagi mampu, kenapa aku enggan?
"Nanti kalau ada Mbak Nisa', panjenengan sampaikan saja. Kulo siap membantu mengajar anak-anak yang di Taman Pendiidikan Al-Qur'an. Tetapi tidak janji untuk terus datang, pas ada longgar waktu saja, Mami."
"Iya, Nduk."
***
POV; Gus Iqbal
"le, yang daftar jadi santri di pesantren kita makin banyak ya?"
Umi menghampiriku yang tengah menikmati secangkir kopi moka yang panas.
Aku sebenarnya menginginkan untuk meminum kopi hitam, hanya saja aku cari di dapur tidak ada. Dan di dapur, yang ada hanya kopi susu sama kopi moka dalam kemasan instan. Maka kupilih yang ada di dapur saja. Dari pada, tidak meminum kopi sama sekali.
Lantai tiga ini, bagaikan tempat bersantai paling nyaman. Angin seakan berembus dua kali lipat dan di sini, dapat pula menikmati pemandangan lautan biru kehijauan bersama pasir putih yang berjarak kurang lebih delapan hingga sepuluh kilo dari sini.
Meski sesaat di balik kediaman yang melambat.
Dan waktu yang memang terasa berjarak. Panorama yang terlihat, seakan mengambil jenuh yang pernah berpijak.