Chereads / Hanyalah Milikmu / Chapter 4 - Kenangan Duri

Chapter 4 - Kenangan Duri

Mereka semua begitu banyak. Dan melainkan banyak pula yang suka melamun serta meninggalkan jam pelajaran hanya karena keegoisan mereka.

Tidak, mereka semua seakan tidak sanggup bila ujian yang mereka kerjakan atas soal-soalku. Dan itu seakan membuat ketertekanan sendiri untuk mereka yang tak pernah mendengarkan pembelajaran dariku.

Soal-soal yang aku buat, aku sesuaikan dengan kaidah yang tersedia. Hanya saja, jawabannya akan begitu banyak bila dijabarkan. Akan tetapi, yang berbeda dari pelajaran lainnya, kitab ta'lim begitu menyimpan banyak pelajaran berharga mengenai adab menuntut ilmu.

"Kalau tidak salah mengenai samudera ilmu, Gus."

"Ya sudah, dibuka kitabnya. Di samping menunggu kalian baca sebentar."

***

POV; Neng Lia

"Bagiamana Nduk, ngajarmu di Taman Pendiidikan Al-Qur'an?"

Aku tersenyum tipis menatap Mami yang mulai menempatkan diri di sofa sebelah kananku.

Apa aku akan menyampaikan bagaimana pengalaman pertamaku dipanggil Ibu di Taman Pendiidikan Al-Qur'an? Apa aku akan bilang ke Mami juga, kalau aku tadi mengantarkan seorang anak untuk pipis?

Atau, aku bilang saja kepada Mami. Bahwa anak-anak yang berada di Taman Pendiidikan Al-Qur'an, umurnya dimulai lima tahunan tetapi ada juga yang empat tahun. Dan mereka banyak yang istimewa saat disuruh membaca Al-Qur'an.

Aku akan memulainya dari mana?

"Alhamdulillah, Mami. Senang bisa mengajar di sana."

"Nah, begitu tadi samean malah berniat menolak, Nduk!"

Aku meletakkan gawai di pangkuan, lalu mengambil umbi goreng yang barusan Mami bawa dari dapur.

Maghrib seperti ini, biasanya pada ramai mengaji. Dan lantunan ayat Al-Quran itu akan selalu terdengar hingga adzan isya' mulai berkumandang.

Papi masih belum pulang, akan tetapi cuaca di luar sepertinya akan turun hujan padahal ini masih belum menginjak musim hujan.

Angin yang riuh dan bertiup kencang seakan membangkitkan kecemasan untuk kami yang berada di rumah.

Memang Papi tadi izin pergi ke mana? Apa hanya untuk membeli kain? Atau cuaca di kota pusat tempat Papi untuk belanja sedang hujan dan tidak memungkinkan untuk Papi melanjutkan perjalanan?

"Mami, sepertinya mau hujan. Papi tadi kenapa harus berangkat pas surup?"

Mami meletakkan cangkir teh di atas nampan putih yang tertaruh di pertengahan meja bulat. Lalu mengambil ubi.

"Karyawan pabriknya Papi barusan konfirmasi kalau kekurangan kain, karena besok pesanan baju sudah harus dikirimkan. Maka tidak ada pilihan lain kecuali Papi harus membelanjakan kain itu waktu tadi."

Aku tidak jadi memakan ubi. Setelah permisi untuk keluar, aku mempercepat langkah menuju teras depan. Menatap keadaan alam yang seakan menyampai pesan. Dan pesan itu sepertinya tidak akan kumengerti.

Kalau aku mengingat tentang cuaca yang akan turun hujan seperti ini. Maka teringatlah, bahwa aku memiliki teman yang suka bermain hujan denganku.

Akan tetapi pertemanan itu seakan sesingkat nada hujan yang berlangsung sekejap.

Bukan seminggu yang cepat, tetapi beberapa minggu dari satu bulan kami bermain dengan hujan di tempat yang sama.

Teman itu seperti halnya saudara yang menemani suka duka, akan tetapi, aku seperti tak mampu disebut teman yang mampu melindunginya. Karena aku tidak bisa menyelamatkannya dari kejadian pahit yang menusuknya di pagi usai subuh itu.

Saat pagi yang sembab sebelum hujan itu pun, telah menjadi saksi bahwa aku lemah dalam keadaan yang ikut juga lemah. Di mana keadaan itu akan selalu teringat dan bahkan tidak bisa aku buang begitu saja tentang perihalnya.

Teman yang suka hujan seperti diriku itu harus terampas masa depannya karena ayah tiri yang merenggut keperawanannya.

Aku hanya bisa ikut menangis ketika menyaksikannya dikrumuni oleh para warga setelah diberi selimut tebal oleh ibunya yang dari pasar. Dan betapa terkejut ketika tahu, bahwa lelaki yang menodainya adalah lelaki hidung belang yakni ayah tirinya sendiri yang tak mau bertanggung jawab.

Karena peristiwa itu, Widya, teman yang suka hujan itu hamil. Dan sebab itulah, dia memilih transmigrasi dengan ibunya ke kota lain. Sampai sekarang, aku belum tahu soal kabarnya bagaimana.

"Nduk, samean simak ngajinya adik-adikmu!"

Mami menyentuh pundak kiriku dari arah belakang dan menolehlah aku.

Sebaiknya, seperti biasanya kami yang berada di rumah lebih baik mengaji saat menunggu Papi.

"Nggih, Mami."

***

POV; Gus Iqbal

"Alif, cepat makan! Jangan di kamar terus."

Suara Umi bak menenggelamkan hening dalam kamarku.

Akhir senja di hari kemarin yang cukup melelahkanlah, yang membuatku suntuk tertidur lebih awal.

Soal gawai, sedari pulang kerja aku biarkan di meja ces tanpa membukanya walau sebentar. Kemarin seperti halnya beribu hari yang amat berbeda. Dan begitu banyak yang harus aku selesaikan dalam waktu yang bersamaaan.

Pekerjaan kantor yang menumpuk setelah aku tinggal menjadi penanggung jawab absen kelas, membuat kerumitan tersendiri. Apalagi di saat laptop-laptop para guru disodorkannya di hadapanku.

Iya, setidaknya aku telah melupakan penat yang bertahan dalam beberapa saat. Dan melupakan sejenak, tentang apa itu santai dalam waktu yang hampir sehari. Demikian pula waktu yang berlalu, seakan hanya lewat begitu saja tanpa sepengetahuanku. Begitu cepat, seperti pedang yang berhantaman.

Dari pintu kamar yang tak pernah kututup, bau aroma masakaan Umi seakan mengisi ruangan kamarku. Sedap, terbayang juga rasa pedas.

Kalau dari bau, sepertinya Umi lagi memasak nasi goreng yang lengkap memakai bumbu-bumbu dengan tambahan kecap dan saos. Tetapi aku sudah meyakini, masakan Umi pasti enaknya.

Sebenarnya aku begitu lama di kamar. Karena sedari turun mushola, aku sedang memperbaiki laptop kerjaku yang sepertinya sudah waktunya untuk dijual.

Dari bulan januari hingga ke bulan ini, laptopku sama sekali tidak mau bersahabat. Selalu ada saja yang harus diperbaiki. Tapi malah sekarang ada yang rusak tombolnya, padahal laptop ini mau aku buat untuk mengerjakan file mengenai tahun ajaran baru nanti.

Maklumlah, ini laptop sejak zaman kapan. Dari zamanku mulai masuk kuliah sampai sekarang belum pernah ganti. Karena kalau ganti juga masih belum ada biaya, gajiku masih aku fokuskan untuk menebus ijazah sama nikahanku nanti.

"Nggih, Umi."

Aku yang mau melangkah mendekati pintu, rasanya tercegah dengan gawai yang aku letakkan di meja ces. Bukankah ada yang merindukan aku di balik gawai yang kubiarkan semalam itu?

Apa Mafayzah mengirimkan pesan baru?

Aku menghampiri meja ces, lalu menggapai gawai dan menghidupkan data selulerku dengan masih berdiri.

Pesan-pesan dari grub guru induk dengan guru para penanggung jawab absen begitu cepat terlihat banyak, sebenarnya sedang membahas apaan? Belum lagi tertancap heran saat melihat grub para alumni yang entah kenapa malam tadi sangat ramai, bahkan sampai ratusan chat sudah tertera di sana. Kemudian terlihatlah notif yang tertera dengan nama Mafayzah, yang lama makin lama semakin tenggelam.

Aku tersenyum. Aku ingin secepatnya membuka pesan itu dan mengirimkan jawaban yang refleks terjawab di alam pikirku. Tetapi notifikasi grub yang ramai, membuat pesan Mafayzah yang semakin tenggelam belum bisa aku buka.

05:02

Mas, aku rindu.

05:20

Kamu lagi ngapain?

05:40

Sudah makan?

Setelah kurasa notif tidak ada yang berbunyi, aku membuka pesan Mafayzah dengan keadaan masih berdiri.