"Nggih e Umi, Kulo sampai kebingungan buatin data sebanyak itu. Apa perlu kita buat tarjet tetap di setiap tahun? Kalau kita, tidak membatasi jumlah santri bisa-bisa kita semakin banyak menerima santri setiap tahunnya."
Aku menghadap ke Umi, sambil menaruh secangkir kopi yang barusan aku seruput sedikit. Sementara Umi mulai menduduki bangku rotan yang berada tepat di utara sofa. Dan Umi menatapku dengan wajah yang menujukan penuh tanya.
Mungkin Umi juga memikirkan sama halnya denganku, memikirkan para santri.
"Le, ya memang benar kalau memang sameannya mutusin itu, tapi kalau kita ngasih tarjet, bagaimana dengan para orang tua yang sudah jauh-jauh ke sini untuk memondokkan anaknya bila tidak keterima? Malah kecewa nanti, jadinya."
Aku tersenyum tipis sejenak.
Umi ada benarnya memang. Tidak salah.
"Umi ... teknologi dunia sekarang semakin canggih, kulo hanya perlu menginformasikan melalu media sosial. Mengumumkan pula kriteria dan aspek-aspek yang harus dipenuhi santri. Bukankah banyak santri luar kota datang ke sini, melalui informasi yang kulo buat di media sosial? Sebelum kakek buyut wafat dulu, pernah berpesan. Kalau kita harus menjaga pondok pesantren untuk tetap berkembang, namun kakek buyut tidak menyuruh untuk mencari santri banyak, melainkan santri yang bisa kita jaga dan kita lindungi itu sudah cukup sebagai kewajiban kita."
"Kalau samean mantapnya begitu, terus dan lanjutin saja. Umi sama Abahmu tetap dukung terus."
Belakangan ini, Umi agak sakit-sakitan. Abah juga, tetapi kalau Abah sedikit lebih kuat dari Umi jadi tidak begitu terlalu.
Hampir setiap malam hari aku dengar, kalau Umi batuknya tiada henti. Kemarin periksa ke dokter, katanya Umi kecapekan. Mungkin sudah saatnya, aku menjaga Umi lebih maksimal. Karena Umi adalah malaikatku di dunia ini yang pertama sebelum Abahku.
Menjaga Umi agar tetap sehat itu adalah kewajibanku, di samping aku juga yang harus menjaga Abah. Apalagi aku anak yang paling di eman.
"Le, nanti samean ngajar di Madrasah Diniah?"
"Nggih, Umi. Masa tidak mengajar!"
Umi adalah guru Madrasah Diniah juga, sama sepertiku. Hanya saja, Umi mengajar di bagian kitab dasar seperti kitab alala dan kitab safinatun najah. Tetapi Umi belakangan ini tidak begitu sepenuhnya untuk mengisi jam pelajaran yang ada di Madrasah Diniah, karena Umi juga sedang sakit. Alhasil, terkadang kelas Umi banyak jam kosongnya. Dan bila ada waktu, akulah yang mengisi kelasnya Umi.
"Iya, tapi nanti bukannya samean itu mau mrivat anaknya Abah Haris?"
"Anaknya Abah Haris sedang ingin libur katanya, Umi. Tadi pagi sempat mengirim pesan!"
Umi masih ingat saja siapa murid yang aku privat untuk pelajaran bahasa inggris. Padahal Umi juga lama tidak aku bilangin kalau habis dari kantor aku langsung mampir untuk mrivat.
Sebenarnya sudah lama aku membuka diri untuk mengajar privat dengan cara mendatangi rumah dari anak yang aku privat tersebut. Dan sebenarnya sudah lama juga, aku ingin berhenti untuk mengajar privat karena kalau jadwalku padat seperti ini, ujung-ujungnya malam langsung tepar sehabis menyimak santri putra mengaji di aula.
Mungkin juga energiku tidak sama lagi seperti umurku yang masih dua puluh satu dan dua puluh dua itu. Sekarang kalau banyak kegiatan malah gampang lelah. Alhasil kadang malamnya tidak sempat tahajud.
"Oh, ya, sudah. Memang pas samean mrivat anaknya Abah Haris itu kelasmu sudah ada yang gantikan, Lif?"
"Nggih, Umi. Ada kok, Pak Ulum namanya. Lagian mrivatnya kan, kulo juga yang ngasih jadwal."
"Ya sudah, kalau begitu."
"Nggih, Umi."
"Oh, iya, nanti bisa belikan garam sama kecap ke pasar? Lagi habis stoknya e, Lif. Kemarin ada, cuma buat dapurnya santri putri yang juga lagi kehabisan!"
"Begitu, Umi? Bukannya Abah biasanya mesan ke toko pusat buat ngirim setiap dua minggu?"
"Masalahnya belum dikirim, Lif! Di sananya lagi tidak ada stok."
"Oh begitu, Umi. Nggih, mana kulo belikan. Sekalian sama mampir ke toko pusat, buat nanyain ke penjualnya kapan bisanya mengirim pesanan Abah seperti biasanya."
"Ya sudah, Umi ke dapur dulu. Bantu Ibu-ibu dapur masak makanan buat para santri."
"Nggih, Umi."
Aku melihat Umi dengan seksama, Umi yang melangkah pelan menuju lantai bawah. Kaki Umi mungkin sudah agak sulit dibuat jalan cepat, hingga Umi harus memilih jalan sedikit lambat.
Aku pernah, mencoba menuntun Umi ke suatu acara. Namun bilangnya Umi malahan tidak usah katanya juga sungkan. Dan justru bilang ke aku, "Masa' usia begini harus sudah dituntun kalau jalan?"
Aku bersyukur masih beruntung ada Abah sama Umi yang bisa mendukungku untuk menjalankan terus pondok pesantren peninggalan kakek buyutku ini.
Di mana kegiatan dan semua peraturan di pesantren ini, Abahlah yang menetapkan. Kakek Buyutku adalah seseorang yang asli dari Kota Mahabiru. Dengan kerja keras sendiri, beliau membangun pondok pesantren ini bersama Nenek Buyut di waktu sejak dulu sebelum aku lahir.
Nenek Buyutku memang bukanlah asli sini, asli orang kota pinggir dan pernah sekali tinggal di Kota Indualisya. Dahulunya memang Istiadat Nenek Buyut dengan Kakek Buyut begitu berbeda, namun cinta di antara merekalah yang membuat mereka bersatu tanpa memandang kata berbeda.
***
"Gus, samean di sini?"
Aku sepertinya kenal dengan suara serak itu. Gus Mu'in kah?
Aku menoleh ke arah belakang.
Benar, itu Gus Mu'in teman Madrasah Ibtidaiyahku sekitar dua puluh tahun yang lalu. Hanya saja aku hampir lupa wajahnya seperti apa. Terakhir aku bertemu dengannya di perlombaan yang di selenggarakan besar-besaran di distrik. Itupun, kami tidak bisa untuk berbincang begitu lama.
"Iya, lagi beli kebutuhan dapur."
Gus Mu'in semakin dekat dengan singgahku. Setelah dekat, ditepuknya pelan pundakku. Apa setiap orang harus selalu menepuk pundak?
Gus Mu'in wajahnya seperti mencerminkan kebahagiaan, apakah malam-malam di pelabuhan kota dengan rutinitas pesantren yang didirikan almarhum abahnya mengubah setiap kesedihannya yang pernah ada.
Sebenarnya, malam di pelabuhan di saat hujan itu menggumpalkan beberapa ribu kenangan. Akan tetapi ceritaku dengan Gus Mu'in begitu sangat berbeda, begitu berbeda dengan kenyataan pahit yang kami telan secara keterpaksaan.
Iya, dia benar-benar kehilangan istri tercinta untuk selama-lamanya karena tragedi kebakaran kapal yang akan berlayar ke Riyadh Dariyat. Bersamaan dengan itu pula, aku kehilangan paman yang selama ini berperan layaknya seorang ayah. Baiklah, mungkin kepahitan itu memang sebuah suratan yang memang harus kami terima mentah-mentah.
"Baru tahu, kalau laki-laki sepintar dirimu harus berbelanja sendiri."
Aku tersenyum tipis, mungkin saja Mu'in tidak pernah melihatku belanja sebelumnya. Untuk itu dia berkata seperti itu.
"Bagaimana kabar anak kecilmu, sekarang patinya tambah besar dan semoga tambah sehat."