Rasanya ingin tersenyum saja, melihat Mafayzah yang sudah mengirim tiga pesan tersendiri di waktu berbeda. Sebegitukah rindunya padaku di pagi yang satupun pesannya belum sempat aku buka?
06:00
Cup-cup
06:01
Lagi memperbaiki laptop saja kok
06:01
Ini mau
Aku mengirim tiga pesan balasan meski tidak tahu kapan Mafayzah akan membalas lagi.
"Alif!"
Pandangan yang sedari tadi khusuk menatap gawai, spontan beralih menatap Umi yang ingin memasuki kamarku.
Umi masih sama, tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang. Umi tahu kalau anaknya belum makan, pasti ada alasan yang membuatnya malas beranjak untuk segera mengambil makanan dari dapur.
"Lhang makan ... Lif!" perintah Umi lemah lembut terdengar merangkak di telinga.
Aku menyadari, waktu memanglah begitu cepat sampai tidak terasa bahwa umurku semakin hari semakinlah bertambah. Sekarang usiaku sudah dua puluh enam, hanya tinggal menghitung hari saja, maka aku akan berusia dua puluh tujuh tahun.
Dahulu waktu umurku masih tujuh tahun seumur anak Sekolah Dasar, Umi selalu menghampiri kamarku ketika aku masih belum menuju dapur untuk minta disuapin Umi makan.
Iya, aku sangat manja. Sampai masih kelas empat di Sekolah Dasar, aku masih ingin disuapin Umi. Tetapi Umi dari dulu memang telaten saat mendidikku sebagai anak. Selalu sabar menghadapiku yang sangat berbeda dari Mas dan Mbakku sebelumnya.
Umi juga telaten mendampingi belajarku saat Abah masih belum pulang dari mengajarnya, karena Umi selalu tahu bahwa aku anak yang tidak mau dipending dalam hal belajar.
Setahuku, Umi adalah wanita yang cerdas, solihah yang memiliki budi pekerti luhur. Ingin sekali rasanya menemukan pasangan hidup yang kriterianya seperti Umi, apakah Mafayzah dapat seperti Umi?
"Nggih, ini mau, Umi." lugas jawabku dengan mempercepat untuk mematikan gawai tanpa mematikan data seluler.
***
POV; Neng lia
Sedari awal pikiran seakan melamunkan, seperti apakah sekolahan yang akan aku tempuh untuk bulan juli mendatang.
Dari kawasan yang mulai memberikan kesan biru laut yang menggugah, lalu taman-taman hijau yang begitu banyak bunga-bunga dan tumbuhan hijaunya.
Bukankah sekolah yang akan aku jenjang itu memang pantas mendapat julukan sekolah terfavorit sedistrik?
Sore pada april itu, waktu seakan memberikan kejutan. Bahkan dalam hatiku tidak pernah menyangka kalau aku menginjakkan kaki di tanah Sekolah Menengah Atas yang rencananya dua hingga tiga minggu ke depan ini, akan aku jalani tesnya.
Akhirnya Madrasah Tsanawiyah yang selama tiga tahun itu telah berlalu terasa cepat. Tiga tahun yang aku renungkan begitu lama itu, sebulan telah berakhir dengan muwada'ah yang memberi kesan banyak.
"Nduk, katanya nanti sore mulai mengajar. Berangkat sendiri tidak apa, kan? Nanti Papi Mami harus pergi ke kota ruby."
Aku tercekat dengan yang barusan dikatakan Mami. Kenapa Mami tidak bilang dari kemarin sore?
Kota Ruby itu jauh. Bahkan sepertinya lebih jauh dari kota Gahman.
"Mami mau ke sana untuk apa?"
Aku mematikan keran cucian, sambil menatap Mami yang tengah mengiris tempe untuk disemur.
"Mau ke rumah nenekmu, Nduk. Sudah sepuluh hari sakit terus. Katanya Mbak Dewimu kemarin, Mbahmu lagi kangen sama Mami."
Aku mengangguk pelan dan termenung sejenak.
"Ya sudah, Mi. Lalu adik bagaimana?"
Kalau sore, adik-adikku biasanya mengaji di Ustad Syifa' dan Akang Udin, itu pun minta di temanin karena di pengajian sana banyak yang usil. Dan biasanya aku sendiri yang menjaga adik-adikku.
Hanya saja mulai sore ini, aku sudah tidak akan bisa mendampingin adik-adikku itu, untuk mengaji di sana.
Mereka (dua adikku) itu, mungkin akan digantikan dengan Mami. Namun Mami yang menggantikan, justru malah mau ke Kota Ruby
Perlu tahu saja, perjalanan untuk menempuh sana harus satu sampai dua jam.
"Adikmu nanti tidak mengaji dulu saja tidak apa, nanti siang samean suruh mengaji terus nanti samean simak."
"Nggih, Mami. Memang Mami mau berangkat nanti siang kah?"
"Habis sarapan pagi, Nduk."
"Pulangnya malam kah, Mami?"
"Tidak tahu juga, Nduk. Kalau nanti sempat pulang sore, maka kami akan pulang. Tapi kalau sudah malam, kemungkinan Mami sama Papi harus menginap."
Sudah lama juga aku sekeluarga tidak ke Kota Ruby. Mereka semua yang di sana juga bagian dari keluarga yang aku rindukan. Bahkan rindu tentang kebersamaan saat berkumpul bersama dan saling bercerita.
"Naik mobil, Mi?"
"Iya, kan sepeda motornya kamu pakai tes ngajar!"
"Adik nanti bagaimana?"
"Nanti samean titipkan ke rumah Tente Ima saja, kalau samean mau ngajar."
"Nggih, Mami."
***
POV; Gus Iqbal
"Bagamaina teaternya? Semakin banyak yang ikut?"
Istirahat yang aku putuskan di meja kantin dengan Pak Arief, sepertinya masih menyisahkan penat yang menjalar. Baiklah, pekerjaan setidaknya ada yang telah selesai. Dan setidaknya ada beberapa pekerjaan yang tidak begitu rumit.
Untuk menerjemah, biarlah urusan nanti sore atau nanti malam. Yang penting laptop para guru yang sudah aku janjikan selesai nanti siang, harus terselesaikan sebelum waktunya. Tentunya biar bisa mengerjakan kerjaan lain.
"Alhamdulillah, tambah banyak. Samean mau a ikut membina, Pak Iqbal?"
Kepulan asap rokok Pak Arief mengepul ke mana-mana, bahkan hampir menyebar ke seluruh ruangan kantin yang terbuka. Ah, aku bukan seperti Pak Arief yang ahli menghabiskan dua belas batang rokok dalam sehari. Atau bahkan menghabiskan dua rokok dalam waktu satu jam.
Entahlah, aku seperti tidak suka saja dengan rokok. Bukan memang dampak negatif dari rokok, tetapi memang aku tidak menyukai saja cara merokok dan rasa yang aku hisap saat rokok itu ujungnya menyalah.
Sebenarnya aku juga tidak begitu menyukai dengan kepulan-kepulan rokok dari Pak Arief, tetapi aku sebagai teman guru maka aku biarkan saja.
"Aku tahu apa juga, Pak, tentang teater? Bukan jalurku. Aku di kantor saja sibuk mengurus kerjaan. Kalau pun ngelatih anak-anak teater pembinaan darimu, ya sudah jelas tidak akan sanggup."
Aku menggeleng beberapa kali atas tawarannya Pak Arief itu, terasa aneh saja kalau aku bisa gabung sebagai pembina teater. Dari dulu aku tidak begitu tertarik dengan kesenian, yang ada ketertarikanku hanya pada bidang bahasa Inggris sama komputer.
"Kali saja mau gabung."
"Iya, lain kali aku lihat-lihat ke sana. Ruai bukan?"
Pak Arief itu sebenarnya adik kelasku waktu dari Madrasah Aliyah kelas tigaku dulu.
Cuman akunya tidak kenal sama Pak Arief, mungkin sebatas tahu saja karena Pak Arief ini adalah ketua OSIS. Katanya sih pas dulu sering dikagumin sama banyak cewek yang ada di Madrasah Aliyah, karena wajah manisnya.
Tapi tidak mungkin tahu juga kalau Mafayzah tidak bilang ini ke aku. Orang, wajahnya Pak Arief yang dulu sama sekarang agak beda jauh sih. Kalau sekarang sering berkumis kalau pun pernah dicukur kumisnya palingan pas sempat saja katanya.
"Iya lah, Pak Iqbal. Tempatnya di mana lagi kalau bukan di situ. Oh iya, nanti siang jam dua ada latihan. Mau lihat?"
"Iya, in sya' allah, ya. Soalnya lagi banyak kerjaan di kantor."
"Oke, aku tunggu."