"Di sini biasanya sendirian kah, Pak Arief?"
Pak Arief menyajikan minuman teh dengan kemasan botol yang ukurannya satu gelas besar. Mungkin selain aku, Pak Arief juga menyiapkan sama seperti ini.
"Iya, bagaimana lagi? Kalau mereka belum datang, maka di sini adalah tempat sepi yang tak akan ada henti."
Jangankan Ruai yang sepi, rumahku saja selalu sepi tanpa hinggapan suara. Kecuali kalau orang rumah ada yang saling bicara. Kalau pun ada suara selain itu, mungkin suara depan rumahku yang di mana banyak kendaraan yang lalu lalang.
"Brarti, samean juga sering di sini?"
Aku menanyakan hal yang kembali mengganjal setelah Pak Arief duduk di sebelah kananku.
"Iya, apalagi ketika malam. Aku lebih suka bermalam di sini karena suasananya yang lebih menenangkan dibanding di rumah."
"Iya, di sini lebih indah dana enak dilihat. Kamarku tidak seperti ini."
"Tetapi tidurnya bukan ada di sini, tetapi di sebelah sana, ruangan yang selebar gudang."
Aku mengangguk faham, setelah tangan Pak Arief menunjuk ke tempat itu.
Entahlah, Pak Arief itu bagaimana bisa menciptakan ide untuk membuat Ruai di dekat taman terbuka yang ada di sini. Apalagi dengan interior yang menarik dan dari luar yang terlihat gemerlap. Yang di mana sunyi yang seolah tak bergerak, mampu bertahan dalam keindahan ruangan yang lebih menarik tuk dipandang.
"Mau makan apa? Aku masakin sebentar!"
"Apa? Masak?"
Tercekat saja.
Pak Arief ahli memasak? Aku baru tahu kalau laki-laki bisa beraksi di dapur selain juru masak seperti koki. Sampai sekarang aku justru tidak bisa memasak. Bahkan nasi saja yang katanya Umi itu gampang, aku saja tidak bisa.
"Iya, di sini ada dapurnya. Cuman dekat kamar mandi sana bukan di sini."
Aku memasang wajah penuh heran saja. Ini Ruai atau rumah?
"Ada dapur?"
"Iya, aku sengaja mendesain Ruai seperti lengkap dengan rumah pada umumnya. Asal tahu saja, aku tidak ingin kalau mereka semua lapar setelah latihan drama teater. Makanya bagi anak yang angkatan sebelumnya bisa memasak, maka aku suruh masak sambil aku bantu bahan yang tidak diketahuinya. Mereka harus merasa senang dengan ekstrakurikuler yang aku sarankan kepada kepala sekolah ini. Dan tentunya mengannggap, bahwa teater itu bukanlah beban tetapi juga tempat untuk bersantai setelah belajar hampir setengah hari lebih."
Kagum saja sama Pak Arief. Jarang di dunia ini orang seperti Pak Arief. Yang di mana memikirkan orang lain tanpa harus memandang orang lain itu peduli ataukah tidak.
Bagaimana teater tidak semakin ramai? Meski datang terlambat, Pak Arief juga sepertinya sabar dengan tidak bisa memarahi mereka yang banyak alasan. Mungkin karena Pak Arief juga tahu soal mereka yang harus menaati peraturan pondok pesantren mereka dengan cara pulang terlebih dahulu dan mengabari pengurus.
"Samean itu bertambah bijaksana saja!"
Pak Arief hanya memberi senyum manisnya.
"Jadi makan apa?"
"Terserah, yang penting enak."
***
POV; Neng Lia
"Dek, ayo ngaji dulu!"
Mereka (dua adikku) itu, seketika mencari hijab untuk mengaji.
Terkadang kalau mereka tidak patuh terhadapku, rasanya aku ingin sekali melampiaskan semua emosiku. Tetapi kalau mereka (dua adikku) patuh terhadapku seperti ini, doa beribu kebaikan seakan mengalir tanpa henti dan spontan begitu saja.
Tetaplah seperti ini, agar aku sebagai kakak perempuan kalian ini tidak merasa terbebani dengan adanya kalian. Bahkan dapat merasakan bahwa kalian adalah hadiah dari Allah yang indah untukku.
"Sudah juz berapa, Dek?"
Aku membukakan al-quran yang berada di depan adik ke tigaku, Kencana. Sambil memperhatikannya yang kesulitan memperbaiki hijab.
"Juz delapan, Mbak Syita."
Iya, adikku yang ini entah kenapa lebih suka memanggilku dengan panggilan "Mbak Syita" padahal aku selalu bilang kepadanya. Kalau memanggilku "Neng Syita" saja, biar tidak sama seperti manggil adikku yang ke dua itu.
Tetapi tidak apa, aku tidak begitu masalah untuk panggilan dari Adikku Kencana ini, yang penting memanggilnya tidak langsung namaku. Meskipun sering manggil "Mbak Syita" biasanya terkadang juga manggil "Neng Syita".
"Ya sudah yang sebelah mana, ini?"
Setelah membalik beberapa lembar isi Al-Qur'an, aku menemukan pembatas yang terletak di sebelah kiri. Siapa lagi, kalau ini bukan pembatas Adikku Kencana mengaji?
"Iya, Neng."
Adikku Kencana termasuk cepat dalam menuntaskan bacaan pada ayat Al-Qur'an. Dia lebih cepat dari Adikku yang ke dua yang bernama Tika itu, namun aku tidak menyalahkan juga untuk cepat lambatnya menguasai ayat Al-Qur'an yang dibacanya. Karena kemampuan semua orang pasti berbeda. Bahkan aku yakin, di bawah Adikku Tika juga masih ada yang kurang mampu menguasai ayat Al-Qur'an.
Kalau aku, Alhamdulillah sudah khatam tiga kali semenjak kelas tiga saat Madrasah Ibtidaiyah namun saat itu, aku juga masih memiliki kekurangan. Termasuk tajwid yan
"Ya sudah, silahkan di mulai!"
"A'udzu billahi minasy syaithaanir rajiim."
***
POV; Gus Iqbal
14:15
Pak Iqbal bisa ke rumah saya?
Pak Rifqi mengirimkan pesan dua puluh lima menit yang lalu. Memang ada apa kok tiba-tiba suruh ke rumahnya? Apa laptop yang aku servis tadi siang ada yang kurang benar?
14:50
Bisa, insyaallah setelah dari Ruai.
Latihan teater yang berada di Ruai sini akhirnya berjalan juga, setelah aku dengan Pak Arief menyantap makanan yang dimasaknya tadi.
Enak juga masakannya, ya meski lauknya tempe sama sayur sop. Sambalnya tadi kepedasan, mungkin karena Pak Arief suka yang pedas-pedas.
"Pak Iqbal, ayo keluar saja! Anak-anak pingin tahu siapa kamu itu!"
Aku keluar
Aku lihat di depan Ruai banyak anak Madrasah Aliyah yang gendernya perempuan semua, padahal dengar-dengar laki perempuan.
Mereka sekitar berjumlah dua puluh limahan. Hanya karena aku keluar dari dalam, mereka pada ribut setelah menatapku.
Apa yang sedang dibicarakan mereka?
"Perkenalkan, ini Pak Iqbal. Guru Madrasah Aliyah kalian juga, sekarang menjadi anggota teater dan sebagai pembina kalian juga kalau saya sedang keluar."
Pak Arief ini bagaimana juga maksudnya? Kan aku sudah bilang, kalau aku tidak bisa membina mereka, apalagi tentang kesenian teater.
"Pak Arief, sebentar."
Aku menujuk ke arah dalam Ruai agar bisa bicara dengan jelas. Entahlah siapa yang menelpond, mungkin Pak Rifqi yang barusan aku balas pesannya.
"Iya."
Setelah jawaban Pak Arief barulah aku menutup pintu Ruai rapat-rapat, lalu aku buka panggilan telpon yang aku sangka dari Pak Rifqi.
Umi?
"Assalamu'alaikum, Umi."
Tidak aku sangka Umi menelpond, biasanya Umi tidak pernah menelpondku di jam kerja begini. Apa akan ada keluarga yang datang?
"Wa'alaikumsalam. Eh, Lif, kamu nanti pulang jam berapa?"
"Kurang tahu, Umi. Nanti sore soalnya mau ke rumahnya Pak Rifqi."
"Isya' kamu harus pulang, ada tamu."
Tamu siapa juga?
"Siapa Umi?"
"Mas Dinarmu mau ke rumah katanya!"
"Oh, nggih, Umi."
"Ya sudah, Umi tutup telponnya."
"Nggih, Umi. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Setelah panggilan telpon Umi, aku tutup gawaiku. Sambil berpikir sejenak, sebaiknya aku harus pergi ke mana setelah ini.
"Kenapa, Pak Iqbal?"
Pak Arief tiba-tiba di belakangku saja.
Habis makan, yang ada aku malah seperti orang yang bingung kalau di sini terus. Rasanya tidak enak saja kalau di Ruai lama-lama.
Sepertinya aku tidak bisa melihatnya membina para anak teater itu, aku harus menyelesaikan pekerjaan kantor juga. Proposal suruhan dari kepala sekolah belum aku selesaikan juga soalnya.
"Ada telpon dari Umi."
"Oh ...."
"Pak Arief, kerjaan kantorku masih ada yang belum selesai e ... maaf banget tidak bisa di sini lama-lama lagi. Sore juga aku harus ke rumahnya Pak Rifqi soalnya."
Pak Arief mengangguk faham, sambil menepuk bahu kiriku dengan senyumnya.
Pak Arief aslinya juga sama denganku yang selalu mengantor kalau di Madrasah Aliyah. Hanya saja yang berbeda antara aku dan Pak Arief itu di jam tambahannya.
Pak Arief itu ada tambahan jam mengajar di kelas sepuluh mapel matematika tetapi kalau aku hanya full di kantor terus.
"Iya, tidak apa. Kalau mau ke Ruai, silahkan saja. Pintu ini selalu terbuka untuk kamu."