Chereads / Hanyalah Milikmu / Chapter 3 - Anyar Penguap Selera

Chapter 3 - Anyar Penguap Selera

Aku teringat saja, anak yang digendongnya saat melakukan pemakaman dengan seorang istrinya itu. Aku mengira, itu adalah adik kecilnya. Tetapi anak kecil itu, bukanlah seorang adik untuknya. Melainkan anak kecil itu adalah anak kandung dari istri yang waktu itu harus pergi meninggalkannya karena panggilan sang pencipta.

"Alhamdulillah sehat. Lalu samean kapan jadinya?"

Mungkin Gus Mu'in sempat dengar, kalau aku sedang menjalani persahabatan yang menjadi cinta dengan Mafayzah.

Menceritakan tentang Mafayzah adalah hal yang begitu langkah untuk aku perbincangkan dengan seseorang. Bukan maksud aku tak menginginkan Mafayzah masuk ke dalam kehidupanku. Akan tetapi, aku belum mampu saja kapan harus memberikan sebuah kepastian untuk Mafayzah. Dan yang aku inginkan, biarkanlah waktu saja yang menjawab kapan kepastian itu akan aku sampaikan.

Memang kepastian sepertihalnya seringan angin, namun kenyataannya seperti mencari sesuatu di antara bongkahan batu. Entahlah, aku tak mampu menjawab tentang pertanyaan yang sama itu. Siapa lelaki yang tak mau memberikan kepastian?

"Aku mohon doanya saja, aku pun tidak dapat menjawab."

"Baiklah."

***

POV; Neng Lia

Begini kah suasana mengajar di Taman Pendiidikan Al-Qur'an? Anak-anak begitu ramai dengan rasa ingin tahunya yang luas. Mereka ada yang memperhatikan, ada juga yang berbicara dengan temannya atau ada yang bermain sendiri. Mereka sangat lucu, imut dan menggemaskan. Mereka di sini sudah diberikan amanah oleh ke dua orang tuanya untuk mengaji, tetapi ada sebagian besar dari mereka tidak mengerti apa itu mengaji?

Di Taman Pendiidikan Al-Qur'an di sini, orang tua sangat dilarang keras menjaga anak-anaknya agar anak tersebut mandiri. Dan kami para guru (Taman Pendiidikan Al-Qur'an) akan bersedia menangani putra atau putrinya yang menangis karena suatu alasan.

Kami para guru (Taman Pendiidikan Al-Qur'an) seperti halnya berperan sebagai orang tua yang menjaga anak, dengan bagaimana anak tersebut tidak sampai menangis apalagi karena perkelahian.

Aku kira di sini mengajinya mulai usia lima tahunan, tetapi ada juga yang berusia empat tahun salah satu dari mereka yang memberi amanah kepada anaknya untuk mengaji lebih awal. Baik, itu memang tantangan bagi kami sebagai guru di sini.

Mbak Hani ternyata undur diri karena tidak kuat mengajar di sini, maka aku yang sekarang memegang kelas A dengan jumlah anak sekitar dua puluh yang ternyata usianya masih minim menurutku. Yaitu umur empat hingga tujuh tahun.

Tetapi di sini ada yang hebat, dia anak empat tahun. Tetapi memiliki daya hafal yang tinggi di juz tiga puluh. Hanya saja kalau disuruh membaca, justru malah tidak mengerti apa yang sedang dibacanya. Kemungkinan besar, orang tuanya menanamkan hafalan Surat Al-Qur'an sedini mungkin. Dengan cara mengajarinya melalui lisan tanpa harus mengenalkan huruf dalam Al-Qur'an.

"Ibu, pipis."

Aku tercekat saat mendengar ada anak seusia enam tahun itu, apakah para guru di sini juga menghadapi hal seperti ini?

"Mau pipis, ya?"

Dia mengangguk, iya.

"Sebentar, Ibu mau ngantar pipis teman kalian dulu, ya!"

Mereka sebagian menatapku dengan tatapan mata yang seperti tidak mau terkedip.

"Iya, Ibu."

Anak sebelahku, menjawab pelan. Dan aku membalas senyum.

"Ayo, sama Ibu."

Sepertinya, aku harus mulai terbiasa dengan mereka anak-anak (Taman Pendidikan Al-Qur'an) yang aku ajar karena memanggilku dengan panggilan "Ibu" memang rasanya sedikit cangguh, tetapi mereka tidak salah. Orang tuanya mungkin mengajarkan kepada anaknya, bahwa guru yang mengajar mereka seperti halnya orang tuanya. Atau mungkin, jauh sebelum aku ke sini. Para guru telah bersepakat, bahwa memanggil kami (guru perempuan) adalah "Ibu".

"Pipis sendiri, bisa, kan?"

Aku menurunkan anak laki-laki yang aku gendong. Aku baru mengerti, kalau anak seusia seperti ini sangat begitu manja. Sampai Ibu guru yang mengajarnya, harus mengantarkannya sambil menggendong. Tetapi tidak apa, mungkin aku belum terbiasa di Taman Pendiidikan Al-Qur'an ini.

"Tidak bisa, Ibu."

Terpaksa aku harus turun tangan untuk membantu anak laki-laki ini membuang hajat kecilnya. Meski aku tidak begitu mengerti bagaimana caranya.

***

Gus Iqbal

Madrasah Diniah di sini begitu banyak memiliki ragam cerita. Bahkan cerita tentang persaingan mereka yang menginginkan niatnya mengaji itu tercapai. Dan ada pula sebagian mereka yang masih belum mengerti apa tujuannya ke mari. Ketahuilah, mereka semua tidak dari satu atap rumah yang sama. Namun mereka hadir dari pulau, desa dan kota yang berbeda.

Keramaian dan kebisingan seolah membeku, selain pada waktu senja yang mengukir mulai tiba. Ada perihal yang masih tak aku fahami dari sebagian mereka.

Ini kelas yang sama, kelas yang setiap hari senin aku ajarkan kitab ta'lim muta'lim. Kelas pagi yang berakhir pada jam dua siang, seakan membuat sebagian dari mereka hanyut dalam kelelahan. Mengaji ta'lim, berarti mengaji tentang bagaimana tirakadnya mencari ilmu. Mereka semua harus belajar mempertahan letih demi mendapatkan ilmu untuk mengaji kitab di sore ini bersamaku.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."

Sebagian yang jatuh pada perangai mimpi, kini terbangun dengan nada keterjutan yang tak terkendali. Mereka (yang barusan bangun) mengetahui bahwa sebelumnya yang memberikan salam adalah aku.

"Yang barusan bangun, silahkan wudhu terlebih dulu."

"Iya, Gus."

Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Barang siapa berwudhu dan membaguskan wudhunya (menyempurnakan wudhu dengan memperhatikan fardhu dan sunah-sunahnya),maka keluarlah dosa-dosa dari jasadnya hingga keluar dari bawah kuku-kukunya". (HR Muslim)

Sesekali kuteringat tentang kyai yang mengajariku ilmu agama itu, sepintas hadis yang disampaikannya kuingat. Untuk itulah aku menyuruh mereka (yang kehilangan wudhu) untuk mengambil wudhu kembali.

"Izin wudhu, Gus."

Aku mengangguk memberi izin, sekitar sepuluh anak keluar dengan wajah kusut dan mata yang masih terlihat merah. Seberapa lama mereka tidur sebelum kedatanganku?

"Gus tadi barusan dari mana?"

Suara dari ujung barat merangkak masuk ke dalam telingaku. Tumben sekali, ada yang berani menanyakan hal itu kepadaku. Setahuku, mereka (yang aku ajar) hanya mengenal diam yang lengang saat pandangan mereka menatapku. Yang sama halnya saat aku memasuki kelas santri putri pada hari sabtu sore.

"Tidak dari mana-mana, hanya dari kantor."

Sebenarnya, aku tak menginginkan masuk ke dalam kelas mereka lebih lambat lima belas menit. Hanya saja, tawaran untuk mengajar kitab di pesantren lain membuat percakapanku dengan Pak Zainul sedikit lebih lama.

Pesantren yang berada di Anyar, memang memiliki daya tarik tersendiri. Hanya saja, aku tidak begitu minat untuk mengajar di sana. Selain waktuku semakin padat, ada hal mengenai pesantrennya abahku yang wajib aku urus.

Ah, Anyar memang adalah sebuah kota yang begitu istimewa dengan kemajuan yang tak terduga, akan tetapi keindahannya hanya dapat dipandang di mata, yang tak bisa mampu aku rasakan bagaimana rasanya sesekali bersinggah di sana. Meski dalam studi mengajarku.

"Kemarin sampai bab mana penjelasannya?"

Sebenarnya aku hanyalah ingin menguji mereka dengan memberikan pertanyaan apa yang dibahas di mata pelajaranku pada terakhir pertemuan itu. Setidaknya, aku dapat memberikan nilai tambahan bagi yang menjawabnya.

Maka sebelumnya, perlu waktu yang sedikit lama untuk menghafalkan nama-nama mereka. Dan itu terkadamg sulit saja untukku.