Chereads / Hanyalah Milikmu / Chapter 6 - Balutan Energi

Chapter 6 - Balutan Energi

POV; Neng lia

"Nduk, adikmu nanti kalau mau makan samean saja masakin nasi goreng."

"Nggih, Mami."

"Oh, iya, nanti kemungkinan Mami sama Papi pulangnya besok."

"Nggih, Mami."

"Jangan lupa, siang nanti adikmu harus ngaji!"

"Nggih, Mami."

"Ya sudah, jaga diri dan adikmu baik-baik. Wassalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

Mami mengakhiri telpon di sebrang sana.

Dari luar jendela, aku melihat dua adikku bermain istana pasir dari bekas gelas minuman yang ditumpuk semakin ke atas. Lalu diberi hiasan bunga dan daun-daun di bagian paling atas dan sampingnya.

Adikku yang ke dua, ternyata sudah bisa menghibur adikku yang ke tiga dengan mengajaknya bermain sederhana karena tadi sempat menangis melihat Papi Mami keluar rumah.

Adikku yang ke dua, usianya sebelas tahun. Dan barusan bulan kemarin lulus dari Madrasah Ibtidaiyah Negrinya. Sementara adikku yang ke tiga, usianya masih enam tahun. Dan barusan naik kelas dua di Madrasah Ibtidaiyah Negri yang sama denganku dulu.

"Nduk, Papi sama Mamimu nanti pulang kapan?"

Mbah Putri, Ibu dari Papiku itu datang ke rumah sambil membawakan es teh kesukaan adik-adikku.

Aku menghampiri beliau yang berada di taman, yang aku lihat sedang memberikan es teh dengan kemasan botol gelas itu kepada adik-adikku. Kemudian adik-adikku dengan senang meminumnya.

"Pulangnya insyaallah besok, Mbah."

Aku menghampiri beliau dengan langsung meraih punggung tangannya untuk aku cium dengan tawadlu'.

"Lho, besok? Ya, kalau begitu nanti aku di sini saja, Nduk. Aku tidak tega kalau biarkan kalian bertiga ini tidur sendiri tanpa pengawasan."

"Nggih, Mbah Putri."

"Katanya Mamimu, nanti tes ngajar, Nduk?"

"Nggih, Mbah."

"Tes ngajar di mana, Nduk?"

"Di Madrasah Diniah yang ada di kota Anyar, Mbah."

"Meski tes, kalau ngajar jangan suka marah ke murid, apalagi sampai mukul, Nduk."

"Nggih, Mbah."

Terakhir latihan mengajar mereka (kelas satu) saat ujian mengajar kelas enam di Madrasah Diniah. Aku yakin, anak-anak yang aku ajar waktu itu sudah naik ke kelas dua dan entah aku akan mengajar di kelas mereka atau kah tidak. Sebenarnya aku sangat merindukan kebersamaan dengan mereka yang bila aku ajarin tidak ada yang rewel.

"Nanti sore, Mbah yang ke sini saja. Tante Imamu tidak lagi di rumah, Nduk."

"Nggih, Mbah."

Meski masih tes mengajar, aku yakin nilai mengajarku akan bertambah dan kalau aku lulus tes mengajar ini sudah dipastikan mampu untuk mengajar menjadi gurua tetap di Madrasah Diniah sini.

Malam sebelum tidur kemarin salah satu staf Madrasah Diniah mulai mengabariku kalau sore nanti adalah waktuku tes.

Sebenarnya, waktunya sudah dijadwalkan saat sebelum liburan pada waktu itu. Akan tetapi, jadwalnya ada sebagian yang dirubah. Untuk itu, ada staf kantor Madrasah Diniah yang diberikan tugas mengatur jadwal kembali untuk para kami yang akan tes mengajar. Dan mengingatkan bahwa kapan hari kami akan mengajar.

Kemarin juga sempat mengingatkan, untuk tes mengajar ini. Disarankan untuk memakai busan muslim yang rapi dan bukan seragam yang dibuat untuk murid di Madrasah Diniah.

***

"Dek, lhang makan. Nasi gorengnya sudah jadi!"

Teriakku dari dapur.

Setelah aku siapkan piring-piring mereka berdua, aku bereskan dapur yang masih ada piring-piring yang menumpuk dan gelas-gelas bekas jus tadi pagi.

"Iya, Neng."

Setelah cuci piring, aku mungkin akan mengerjakan karangan novelku yang masih separuh jalan. Sebenarnya, novelku bisa saja langsung aku segerakan endingnya. Tetapi cerita yang nantinya tidak begitu menarik, dapat membuat pembaca akan menjadi malas. Seberhati-hati mungkin aku harus menjaga kualitas novelku.

"Neng, tidak ada telur?"

Adikku nomor dua (kencana) itu, langsung berkomentar tentang nasi goreng yang barusan aku masakin.

"Tidak ada, adik."

Aku tadi bisa saja untuk membeli telur sebentar di warungnya Bu Timah, tapi aku takut saja mereka (adikku) itu kelaparan. Dan aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

"Aku tidak mau makan, Neng. Aku maunya telur mata sapi!"

Aku menghembus nafas berat dan berhenti membereskan gelas-gelas dan piring yang berada di atas meja dapur. Lalu menghampiri adikku untuk meyakinkannya agar tetap makan.

"Mau tak suapin, Dek?"

"Tidak mau, Neng." jawabnya dengan gelengan tidak.

"Tadi katamya Mami, kalau makan nasi goreng ... kamunya nanti cepat tinggi loh. Kamu tidak mau, Dek?"

"Mauuuu, Neng."

"Pintar, Neng Syita suapin, ya!"

"Iya, Neng."

***

POV; Gus Iqbal

Ini Ruai?

Motor aku parkirkan ke sebelah kanan sisi garansi. Lalu kucabut kunci, sambil memandangi sapu yang berserak di depan pelataran Ruai yang tanpa etalase.

Dari luar, Ruai seperti seperti dinding-dinding gemerlap yang penuh cahaya lampu kuning kristal yang menyalah mengedap. Iya, mirip seperti cahaya kristal yang membias pada genang air laut.

Terakhir yang lalu, Ruai tidak serapat ini. Pintu-pintu itu tidak pernah tertutup dan sebenarnya tidak pernah ada pintu di tahun saat aku mendatangi Ruai untuk pertama kali.

Ruai yang dulunya tempat terbuka seperti gubuk gazebo yang atapnya serupa serabut ilalang tua yang menempel, kini berevolusi menjadi ruang tertutup yang memiliki pintu minimalis dan jendela-jendela yang memiliki korden yang tembus pandang.

Entah kapan Ruai di alih susun alih oleh Pak Arief, setidaknya desain inilah yang mungkin membuat daya pikat para peminat ekstrakulikuler teater yang dibinanya menjadi semakin banyak dari sebelumnya.

Pohon mangga yang besar seakan membuat teduhan tersendiri dan daun-daun di sekitar sini bergoyang mengikuti angin yang menyentuhnya. Benar, para tumbuhan di sini seakan suaranya bagai membisikan irama asing yang membuat siapapun seperti tenak meski tanpa beradaptasi.

"Pak Iqbal!"

Jauh dari depan pintu Ruai, ada Pak Arief yang berdiri di ambang pintu yang terbuka hanya seperempat.

"Ke sini, Pak Iqbal!"

Aku tersenyum sejenak sambil meneruskan langkah untuk segera menghampiri Pak Arief yang berada di sana.

"Tadi aku dengar ada suara motor, makanya aku buka pintunya."

"Anak-anak teater di mana?"

Aku mengingat saja apa yang dikatakan Pak Arief waktu jam istirahat kami tadi, tentang latihannya yang dijadwalkan jam dua siang.

Apa mungkin anak-anak teater itu tidak lekas datang? Apakah mereka tengah lupa kapan mereka akan latihan?

"Bagaimana mau datang, Pak? Sekarang masih jam setengah dua, latihannya masih kurang setengah jam lagi! Mereka semua selalu datang terlambat dengan berbagai alasan yang berbeda. Jadi tidak perlu khawatir."

"Oh ...."

Aku menginjakkan kaki di keramik depan Ruai. Aku ingin tahu saja dalamnya Ruai itu seperti apa, karena dari luar saja Ruai itu seperti membuat daya tarik tersendiri.

"Ruainya unik, desainnya tambah keren saja!"

Aku menepuk pundak kanan Pak Arief sedikit kasar, terdengar biasa untuk keakraban kami yang sesama teman meluangkan waktu.

"Iya, biar mereka semua semangatbikut latihan. Ayo, masuk ke dalam!"

Pak Arief membuka pintu Ruai lebar-lebar, kemudian setelah aku masuk menatapnya rapat.

Cahaya gelap seakan menyeringai di sini, dingin menetap dan bergerak bebas.

"Maaf, tadi aku matikan lampunya. Sebantar, aku hidupkan biar enak kalau bicara."

Aku mengangguk saja. Dan tidak lama juga, lampu akhirnya menyalah dengan warna putih.

"Sudah, silahkan duduk. Dinikmati, Pak. Maaf cuma menyediakan itu saja "

Di sini seperti kantorku yang di mana kerjaanku begitu banyak. Hanya saja yang berbeda, di sini tidak ada peralatan kantor yang terlihat. Tetapi di sini hanya terdapat sofa bersudut dengan warna hijau pupus dengan meja persegi panjang yang lengkap dengan jajanan seperti coklat dan cemilan lainnya.

Barulah di bagian utara terdapat tikar bunga yang tertata rapi seukuran dua hingga tiga meter, mungkin di sanalah tempat untuk diadakan rapat anggota teater.

"Iya, terima kasih."

"Sama-sama."