Reza mengalihkan pandangannya, memperhatikan ketiga gadis itu. Ia sedikit memicingkan kedua matanya, wajah ketiga gadis itu terlihat familiar baginya. Ia mengingat kembali siapa ketiga orang itu.....
"Oh itu mah temannya Iris pas makan di kantin rame-rame." ucapnya pada diri sendiri.
"Sabar ya Iris, lagi dibukain." ucap salah satu dari tiga gadis itu.
"Sabar Iris, bentar lagi kebuka." timpal gadis lainnya dengan rambut kuncir kuda itu.
Reza membelalakan kedua matanya, kaget, 'Hah? Iris? Iris? Iris yang kekunci?!'
"Gila, aku harus banget kasih tau Rain ini mah!"
Tanpa pikir panjang, Reza langsung berlari menaiki tangga. Seketika pria itu lupa dengan tujuannya ke lapangan. Reza berlari kencang menuju kelasnya.
Sesampainya di depan kelas XII IPA 1, pria itu langsung memasuki kelas tanpa mengetuk pintu. Untungnya Bu Sari sedang mengambil sesuatu di ruang guru. Kalau tidak, dapat dipastikan hukuman Reza akan ditambah.
Seisi kelas sudah memperhatikan Reza yang tiba-tiba sudah kembali ke kelas dengan napasnya yang terengah-engah.
"Kamu kenapa Do?" tanya Dion.
Reza tidak memerdulikan pertanyaan Dion, yang terlintas di otaknya hanya satu nama yang harus ia beritahu segera mengenai Iris, "Rain!"
Reza berjalan mendekati meja pria yang masih setia menelungkupkan kepalanya pada kedua lipatan tangannya yang berada di atas meja, "Rain!"
Reza sedikit mengguncang-guncangkan tubuh Rain, membuat pria itu mendecak kesal dan mengangkat kepalanya.
"Ck, apaan?" Rain menyingkirkan lengan Reza yang masih berada di bahunya dengan tidak santai karena ia cukup kesal sekarang, kegiatan tidurnya kembali diganggu oleh satu dari dua pelaku yang tadi juga menganggu tidurnya, Reza.
"I-itu Rain-..." Reza masih menunjuk-nunjuk ke arah luar kelas.
"Apaan? Ngomong yang jelas!" Rain sudah menatap tajam Reza. Berani sekali pria itu menganggunya.
"Iris!" satu nama yang berhasil membuat jantung Rain berdetak tidak karuan.
Rain langsung bangkit dari duduknya dan refleks mencengkram bahu Reza ketika mendengar nama seorang gadis yang belakangan ini menarik perhatiannya, "Iris kenapa?!"
"Kamu-, kamu mending ke toilet cewek sekarang, yang dekat lapangan!"
Tanpa basa-basi, Rain langsung berlari menuju tempat yang Reza katakan tadi. Gavin dan Bara yang mendengar ucapan Reza hanya menatap pria itu bingung.
Akhirnya, Reza, Gavin, dan Bara memutuskan untuk mengikuti Rain. Sedangkan Dion yang memang tidak terlalu peduli dan tidak mau tahu itu hanya duduk manis sambil memainkan ponselnya di kelas.
"Kenapa sih anjir?" tanya Gavin.
"Aku juga kepo jadinya, kenapa itu Do?" tanya Bara kepada Reza.
"Kamu lihat sendiri aja deh! Aku gak bisa jelasin!"
Sesampainya di tujuan yang Reza sebutkan tadi, Rain langsung menerobos kerumunan yang memenuhi depan toilet wanita itu, berjalan memasuki toilet tersebut.
Dapat Rain lihat ketiga teman Iris serta beberapa staff dan guru-guru yang sudah berdiri di dekat salah satu pintu toilet yang terdapat rantai di knopnya dengan wajah panik. Perasaannya tidak enak.
"Bentar Iris, lagi dicoba." ucap Keyra.
DEG!
'Iris!'
Ucapan Keyra tadi berhasil membuat jantungnya sudah berdetak tidak karuan, memikirkan berbagai kemungkinan terburuk yang terjadi pada gadis itu.
Tanpa pikir panjang, Rain langsung mendorong staff yang masih berkutat di depan pintu tersebut, mengambil palu yang tergeletak di lantai.
Tanpa ragu, ia memukul knop pintu tersebut secara membabi buta, tidak memerdulikan resiko apa yang harus ia tanggung karena hitungannya pria itu telah merusak fasilitas sekolah.
Tidak membutuhkan waktu lama untuknya menghancurkan knop pintu itu. Knop dan rantai tersebut sudah berhamburan di lantai.
Rain langsung mendorong pintu toilet itu pelan, mendapati Iris sedang terduduk di atas kloset dengan wajah cantiknya yang bersembunyi di kedua lututnya. Sama seperti pada saat pria itu menemukannya pada kejadian kemarin.
Rain langsung berlutut di hadapan gadis itu, memperhatikan kondisi Iris, seragamnya yang sudah berubah warna dan basah, terdapat daun kering di rambut basah gadis itu, serta sampah bekas makanan sudah berceceran di lantai. Rahang Rain mengeras melihat kondisi Iris yang seperti ini. Tetapi ia sadar, ia harus mengontrol emosinya, yang harus ia utamakan sekarang ialah Iris.
"Iris?" panggil Rain pelan.
"Ini aku." Rain mengambil daun-daun kering yang terdapat pada rambut hitam gadis itu dan mengusap kepala gadis itu dengan lembut.
Iris mengangkat kepalanya perlahan, yang dapat ia lihat sekarang adalah Rain yang sedang berlutut di hadapannya.
Rain dapat melihat mata gadis itu sudah sembap, hidung yang memerah, rambut yang sudah acak-acakan.
Rain menyingkirkan rambut-rambut yang menempel di pipi gadis itu, lalu mengelus pipi Iris perlahan, menghapus sisa-sisa air mata yang masih berjejak di pipi gadis itu.
Perlakuan Rain tadi membuat air mata Iris kembali luruh, perasaan lega sudah melingkupi dirinya.
Pada akhirnya, Rain juga yang menyelamatkannya.
Rain yang melihat itu pun langsung membawa Iris ke dalam dekapannya, tidak memerdulikan guru-guru maupun teriakan para murid yang melihatnya, yang terpenting untuknya sekarang ialah menenangkan Iris. Bahkan Reza, Bara, dan Gavin hanya menatap iba adik kelasnya yang berada di dekapan Rain.
"Ssstt-, udah ya? Jangan nangis lagi." Rain mengelus kepala Iris pelan.
Menyaksikan gadis itu menangis di depannya, membuat hatinya terasa sakit. Rain lagi-lagi telat.
"Jangan nangis lagi ok? Ganti baju dulu ya? Kamu basah kuyup begini, aku gak mau kamu sakit." bisik Rain yang hanya dijawab dengan anggukan pelan oleh Iris.
Rain pun melepaskan pelukannya, lalu menangkup kedua pipi itu dengan kedua tangannya dan mengelusnya pelan.
Pria itu berdiri dan melepaskan jaket hitam yang melingkari tubuhnya itu, menyisakan seragam putih yang pas di tubuh Rain.
Rain menyampirkan jaketnya pada bahu Iris, tidak memerdulikan jaket itu akan kotor nantinya.
Rain menggandeng tangan gadis itu keluar dari toilet, para siswa-siswi yang tadi mengerubungi toilet wanita itu langsung memberikan jalan untuk Rain dan Iris. Ada yang memandang Iris iri, ada juga yang seperti memberikan dukungan saat gadis itu melewati kerumunan diikuti Keyra, Zia, Lyna, Reza, Bara, dan Gavin di belakang mereka.
"Seragam kamu di kelas?" pertanyaan Rain hanya dijawab oleh anggukan gadis itu.
Iris masih setia menundukkan kepalanya, rasa sedih dan malu masih menghinggapi dirinya. Walau di satu sisi pun ia juga kesal atas perlakuan orang tadi yang ia tidak kenal sama sekali.
Rain menuntun Iris menuju kelas gadis itu yang memang berada di lantai satu. Seisi kelas X IPS 3 memang masih sepi karena mereka kembali melanjutkan pelajaran olahraga yang belum selesai.
Iris langsung melangkah menuju mejanya, dapat ia lihat di atas mejanya terdapat sebuah kotak hadiah berwarna hitam dengan pita di atasnya dan tulisan 'Untuk Iris' pada kertas kecil di atas kotak tersebut, membuat gadis itu mengerutkan dahinya, bingung.
'Hadiah dari siapa?' ia bertanya dalam hati.
Rain hanya bersandar di salah satu meja sambil memperhatikan gerak-gerik Iris.