Rasa canggung menghampiri Iris, napasnya tercekat menyadari posisi Rain yang memang jaraknya tidak jauh darinya, dapat ia lihat pria itu sedang berfokus mengobati luka-lukanya, ia mengakui wajah Rain memang sangat amat tampan.
"Jangan gini lagi ya Iris?" ucapan Rain berhasil membuat Iris mengerutkan dahinya, bingung.
"H-hah? Maksudnya?"
"Jangan luka-luka kayak gini lagi. Aku gak selalu ada di samping kamu kalau kamu butuh bantuan. Kamu harus bisa jaga diri baik-baik. Jangan bikin aku khawatir..." tidak ada nada datar yang keluar dari mulut pria itu. Ucapan Rain terdengar tulus, membuat jantung Iris berdetak tidak karuan.
Apa Rain khawatir dengannya?
"Ngerti?" lanjut Rain membuat Iris hanya menganggukan kepalanya tanda ia paham dan mengerti.
"Kamu khawatir sama aku?" Iris sendiri terkejut ketika pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari mulutnya. Ia merutuki mulutnya yang terkadang tidak bisa diajak kompromi, "Eeh, maksud aku ngg- itu...." Iris tergugup.
Lalu, hal yang selanjutnya Rain lakukan berhasil membuat jantung gadis itu berdetak semakin kencang, Rain mengusap rambutnya pelan dan mengeluarkan senyumannya, membuat Iris terdiam di posisinya.
"Aku gak tahu Iris..." Rain menggantung jawabannya, "Aku gak tahu kenapa aku merasa gak suka lihat kamu disakitin kayak tadi. Rasanya aku pengen matiin orang-orang yang berani nyentuh kamu, aku gak suka lihat kamu direndahin atau pun disakitin." perkataan Rain berhasil membungkam bibir gadis itu.
"Untuk sekarang, alasannya aku gak tahu. Kita lihat aja ke depannya gimana." jawaban Rain tidak mendapatkan respon apa pun dari Iris kecuali kedua mata gadis itu yang masih memandangnya dengan tatapan yang tidak dapat didefinisikan.
Satu sisi gadis itu merasa bingung, tapi satu sisi pun ia merasa senang dan kagum. Tidak menyangka seorang Rain yang ditakuti oleh orang-orang dapat mengeluarkan kalimat seperti itu.
Setelah mengganti perban Iris, Rain menurunkan lengan piyama gadis itu yang sempat digulung hingga siku dan memegang kedua tangan gadis itu.
"Udah, kamu mau tidur?" Rain menatap Iris tepat di manik cokelat milik gadis itu, yang hanya dibalas dengan gelengan oleh Iris.
"Terus kamu mau ngapain? Masih pagi gini." pertanyaan Rain hanya dibalas dengan pegangan tangan Iris padanya yang semakin erat, gadis itu sudah balas menatapnya.
"Makasih ya Kak Rain." setelah itu Iris mengeluarkan senyumannya yang berhasil membuat Rain membelalakan kedua matanya, kaget. Jantungnya sudah berdetak tidak karuan sekarang, 'Gila cantik banget.' ucap pria itu dalam hati.
Tidak lama kemudian terdengar tawa gadis itu, "Kamu gak usah melotot gitu ah!" Iris mendorong pelan lengan Rain, membuat pria datar itu langsung mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Rain tertangkap basah oleh Iris.
Rain melepaskan pegangan tangannya pada Iris dan beralih memegang leher belakangnya, malu sekaligus canggung, ia mencoba mengontrol detak jantungnya yang sedari tadi sudah tidak karuan, ditambah lagi dengan tawa gadis itu yang membuat Rain terpaku, bisa-bisanya seorang Iris membuat Rain Joshua Gracio seperti ini?
TOK TOK!
Terdengar ketukan yang berasal dari pintu kamar Iris, membuat gadis itu melotot kaget, sedangkan Rain hanya memperhatikan pintu kamar itu, "Iris? Kamu udah bangun?" terdengar suara halus khas Adhisti, Bundanya Iris.
"E-eh, iya Bunda! Tapi Iris mau tidur lagi nih!" bohong Iris agar Bundanya tidak memasuki kamar. Kalau Bundanya masuk kamar dan melihat ada pria di kamarnya pagi-pagi begini, pasti akan panjang urusannya.
"Oh yaudah, Bunda ke pasar dulu ya! Iris mau nitip apa sayang?"
"Gak deh Bunda, Iris kenyang."
"Oh yaudah, Bunda berangkat dulu!"
"Iya Bunda!" setelah tidak terdengar lagi suara Bundanya, membuat Iris langsung menghembuskan napas lega, hampir saja ketahuan.
Rain yang mendengar percakapan antara ibu dan anak itu hanya tertawa pelan.
"Suka ngebohong kamu ya Bocil." membuat Iris langsung menatapnya tajam.
"Kalau aku gak ngebohong, udah ditarik keluar kamu, dipukulin sama Bunda aku!"
Rain hanya terkekeh mendengar jawaban Iris, "Oh jadi ngebohong demi aku?"
"Y-ya gak juga sih.... Aku kan gak mau diamuk sama Bunda." Iris menggaruk pelipisnya pelan.
"Oh ya? Masa sih?" Rain menaikkan sebelah alisnya, menggoda Iris memang sudah menjadi hobinya sekarang.
"Iya ih! Gak percayaan banget deh sama aku?!" Iris sudah mengerucutkan bibirnya, kesal.
"Iya-iya percaya aku," Rain mengarahkan tangannya ke wajah Iris, lalu mengusap pipi gadis itu pelan, "Gak usah ngambek gitu dong."
Sedangkan yang diusap? Sudah menahan napas, malu sekaligus kaget dengan perlakuan Rain pada pipinya, membuat wajah gadis itu panas, "Gak usah merah gitu dong pipinya?" ledek Rain seperti apa yang tadi Iris lakukan padanya.
Iris langsung menepis tangan Rain yang masih bertengger di pipinya, lalu menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Malu.
Gadis itu yakin sekali pasti pipinya sudah memerah seperti tomat.
Sedangkan Rain? Pria itu sudah tertawa melihat ekspresi yang ditunjukkan oleh Iris.
"Yaudah aku balik dulu deh. Itu salepnya dipake terus, senin berangkat sama aku." Rain pun berdiri lalu mengusap kepala Iris, "Duluan Cil." lalu pria itu keluar dari kamar Iris seperti biasa, lewat balkon.
Sedangkan yang diusap? Hanya mengangguk pelan dengan kedua tangan yang masih menutupi wajah cantiknya itu. Ketika ia memastikan Rain memang sudah benar-benar keluar, Iris langsung berbaring di ranjangnya dan menepuk kedua pipinya pelan, "Ih kenapa sih aku?! Astagaaa... Masa digituin aja baper?!"
Iris kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Masih bertanya-tanya pada dirinya sendiri mengapa ia bisa seperti itu?
Setelah memasuki mobilnya, Rain hanya duduk dan kembali membayangkan kejadian tadi, dimana Iris berterima kasih padanya serta senyuman manis yang gadis itu keluarkan dengan kedua tangan gadis itu yang mengenggam erat tangannya. Membuat pria itu kembali tersenyum.
Rain mengakui bahwa seorang Iris bisa membawa dampak yang buruk bagi jantungnya, tingkah gadis itu yang menggemaskan, tatapan tajam gadis itu apa bila Rain menjahilinya, serta tangannya yang tidak bisa diam, selalu memukul bahu Rain bila pria itu membuatnya kesal.
Iris sangat menarik perhatiannya sekarang. Membuat seorang Rain Joshua Gracio merasa haus, ingin mengetahui segala hal tentang Iris Nathania Elaine, adik kelasnya yang baru beberapa hari ini ia kenal tetapi dengan lancangnya memasuki kehidupan Rain tanpa izin, membangkitkan perasaan ingin memiliki dan juga melindungi dari diri Rain.
Apakah Rain semakin tertarik dengan Iris?
***
Waktu sudah menunjukkan pukul 1 siang. Setelah kejadian tadi, tanpa Iris sadari, ia ketiduran.
Hal yang pertama ia lakukan ialah memeriksa ponselnya, membuka grup yang notifikasinya sudah 999+. Siapa lagi kalau bukan kelakuan ketiga temannya? Keyra, Zia, dan Lyna. Karena Iris malas membacanya, ia hanya membaca apa yang teman-temannya tag saja.