Rain memang paling tidak bisa ditantang atau pun diremehkan, dan Iris barusan? Meragukan kemampuan otak seorang Rain Joshua Gracio.
Pria itu segera bangkit untuk bersiap-siap mendatangi rumah gadis yang menantangnya tadi.
Ia melihat ponselnya yang terdapat notifikasi 13 missed call dari Iris Nathania. Rain hanya tertawa pelan dan mengambil kunci motornya, ia menuruni tangga dan yang pertama ia lihat ialah para anggotanya yang sedang asik menonton, jumlahnya lebih banyak dari yang ada tadi sore.
"Mau kemana Rain?" Nando mengalihkan tatapannya dari layar televisi lebar yang berada di ruang tamu, memperhatikan Rain yang sudah rapi. Membuat beberapa dari mereka ikut menatap Rain.
"Mau keluar bentar. Jaga markas."
Rain langsung berjalan menuju garasi, menaiki motor hitam kesayangannya, dan langsung menancap gas meninggalkan kawasan markas mereka yang memang berada di pinggiran kota Jakarta.
Tidak lama baginya untuk sampai di rumah Iris mengingat jalanan kota Jakarta yang sudah sangat lengang di pukul 10 malam ini.
Rain pun memutuskan untuk menelepon Iris, yang langsung diangkat oleh gadis itu.
Suara Iris langsung terdengar saat pria itu menempelkan ponsel di telinganya, "IH KAK Rain! AKU BECANDA!"
"Aku yang gak becanda. Cepat turun, aku udah di depan." Rain menatap balkon yang ia yakini merupakan balkon kamar Iris karena lampu yang masih menyala di rumah itu hanya disana.
"SERIUSAN?!" Iris terdengar panik.
"Iya, kamu liat aja dari balkon kamar kamu." Rain dapat melihat Iris yang sudah keluar dari kamarnya, berdiri dekat balkon.
"Ih, Bunda Ayah aku udah pada tidur! Kamu gak bisa masuk Kak. Udah mending balik aja deh. Please....."
"Ya aku bisa masuk lewat tempat kamu berdiri sekarang." Rain memutuskan sambungan teleponnya. Iris sudah panik sekarang. Rain memang nekat, ah bukan nekat lagi. Rain memang gila!!!
Ia melihat ada pohon di dekat balkon kamar Iris. Pria itu langsung beranjak memanjat pohon itu dengan cukup lincah, tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk berdiri di depan Iris sekarang.
Kedatangan Rain langsung disambut dengan pukulan pada bahunya yang berasal dari gadis di depannya itu.
"IH KAMU GILA YA KAK!"
"Sshhh- sakit anjir!" Rain sudah menatap tajam Iris sembari mengelus bahunya. Sepertinya Iris lupa siapa pria ini sebenarnya sampai-sampai gadis itu punya nyali untuk memukulnya.
"Kamu ngapain lagian pake acara beneran kesini?! Kalau Bunda sama Ayah aku bangun bisa diusir kamu!" Iris sudah melipat kedua tangannya di depan dada.
"Nyokap kamu suka sama aku, gak bakal diusir." Rain hanya berjalan memasuki kamar gadis itu, kamar yang di dominasi oleh warna putih.
Rain mendudukan dirinya di lantai dan menyandarkan tubuhnya ke ranjang tanpa izin si pemilik kamar.
"Tingkat pede Kak Rain parah banget." Iris hanya mendengus kesal, membiarkan pria itu bersandar di ranjangnya. Ia kembali menaiki ranjang, mulai berfokus dengan tugasnya.
Rain memperhatikan sekeliling kamar tersebut, kamar itu cukup kecil tapi terlihat sangat bersih dan nyaman.
Rain memutar tubuhnya menghadap Iris yang berada di atas ranjang, "Apa yang gak ngerti?"
Iris memindahkan buku di tangannya ke tangan Rain, lalu menunjuk salah satu halaman yang sudah terdapat banyak soal di dalamnya, "Ini."
"Fungsi sama fungsi linear?" yang hanya dibalas anggukan oleh gadis itu.
Rain pun mulai membaca ulang materi-materi yang terdapat di buku, mengingat pelajaran yang dua tahun lalu ia pelajari. Sedangkan Iris hanya tengkurap sembari menatap Rain yang sedang berkutat pada bukunya.
Akhirnya setelah membaca-baca beberapa halaman, Rain pun mulai mengingatnya, "Jadi gini...."
***
Proses sesi belajar mengajar masih berlangsung walaupun waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Terhitung sudah dua jam mereka belajar. Tepatnya, sudah dua jam Rain mengajari Iris materi matematika yang menurut gadis ini sangat sulit.
Iris sedari tadi sudah menahan kantuk, ia sudah menyandarkan tubuhnya ke bantal.
Rain yang sedang memeriksa hasil kerjaan Iris pun hanya sesekali melirik ke arah gadis itu. Iris mulai memejamkan matanya karena sudah terlalu mengantuk.
Hasil Iris ada beberapa yang masih salah, Rain baru saja ingin menyuruhnya membenarkan tetapi saat pria itu mengalihkan pandangannya ke Iris, gadis itu sudah tertidur sembari memeluk bantal beruangnya.
Wajah tertidur gadis itu cukup menarik perhatian Rain sepenuhnya. Ia meletakkan kertas lembar jawaban Iris, lalu memperhatikan gadis itu lebih dekat lagi.
"Cantik." Rain tersenyum, alis tebal, bulu mata lentik, hidung yang mancung. Sempurna.
Setelah merasa sudah cukup lama ia memperhatikan Iris, akhirnya Rain memutuskan untuk merapikan buku-buku yang berantakan di ranjang gadis itu, memindahkannya ke lantai dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara, tidak ingin membangunkan gadis yang sudah masuk ke alam mimpinya. Meninggalkan beberapa catatan dan sepotong pesan kecil di atas tumpukan buku.
Setelah ia lihat semua sudah rapi, ia menarik selimut, menyelimuti Iris, dan mengelus kepalanya perlahan lalu tersenyum.
Sepertinya ia mulai tertarik dengan gadis satu ini?
***
Rain menjalankan motornya dengan pelan, mengelilingi kota Jakarta yang sudah sangat amat sepi. Ia berniat untuk mampir ke daerah Menteng untuk menikmati nasi goreng kambing kesukaannya sebelum kembali ke markas.
Tiba-tiba Rain merasakan ponselnya yang bergetar di saku jaketnya, ia pun menepi sebentar untuk mengangkat telepon tersebut yang berasal dari Gavin.
Ketika ia sudah menempelkan ponselnya di telinga, terdengar suara panik Gavin di seberang sana, "WOI Rain CEPET DATENG KESINI! BLACK EAGLES NGEROYOK BIMO! MEREKA MAU KAMU DISINI SEKARANG!"
Rain yang mendengar hal tersebut pun naik pitam, "Send lokasi sekarang, aku otw." Rain mematikan teleponnya. Segera menyusul ke lokasi yang dikirim oleh Gavin tadi.
Tidak butuh waktu lama bagi Rain untuk sampai di lokasi. Ia dapat melihat Bimo yang berada di tengah-tengah jalanan di antara kerumunan Scorpio dan Black Eagles dengan wajah berlumuran darah tidak berdaya dan Bram, ketua dari Black Eagles sedang menahan pisaunya di leher Bimo.
Rain langsung murka melihat anggotanya yang di permalukan oleh Black Eagles. Ia pun segera berjalan mendekati kerumunan itu dan berdiri di tengah-tengah.
"Lihat, akhirnya ketua Scorpio yang terhormat datang juga!" Bram tersenyum puas, berhasil memancing Rain untuk datang bertemu dengannya.
"Mau kamu apa Bram?" Rain sudah mengepalkan kedua tangannya sampai urat-urat di tangannya terlihat, rasanya ingin menghabisi Bram dan anggota-anggotanya sekarang.
"Mau aku? Ya jelas ngabisin kamu!" Bram sudah mengeluarkan seringainya dan berjalan mendekati Rain.
"Ngabisin aku? Tapi masih main keroyokan. Laki bukan kamu?" Rain sudah tersenyum meremehkan pria di depannya.
Ucapan Rain tadi cukup memancing emosi Bram. Pria itu menarik kerah jaket yang sedang digunakan Rain, membuat anggota Scorpio mulai mendekati mereka yang langsung ditahan oleh Rain.
Bram sudah menggertakkan giginya, "Tanding aja kamu sama aku, biar aku buktiin Scorpio tuh gak ada apa-apanya!"
Rain yang mendengar perkataan Bram hanya menghela nafasnya, malas. Ia melepas paksa tangan Bram yang masih mencengkram kerah jaketnya tadi, "Males aku buang-buang waktu tanding sama kamu yang udah pasti kalah."
"BANGSAT KAMU Rain!" Bram langsung menonjok tepat pada tulang pipi Rain, membuat pria itu sedikit mundur dari posisinya tadi.
Tonjokan tadi berhasil membangkitkan amarah Rain. Rain sudah menolehkan kepalanya, mengeluarkan seringai khasnya, memandang Bram yang sedang menatapnya dengan penuh emosi juga.
Rain langsung mendekati Bram, melayangkan tinjuan pada rahang lawannya itu tanpa ragu.
BUGH!
Bram yang tidak siap dengan tinjuan itu langsung terjatuh. Rain menarik kerah kaus Bram, kembali melayangkan beberapa tinjuan secara membabi buta pada wajah Bram yang sudah mulai dipenuhi dengan lebam dan darah.
BUGH!
"Ini buat kamu yang udah berani-beraninya ngeroyok anggota aku!"
BUGH!
"Ini buat kamu yang udah ngotorin jaket aku!"
BUGH! BUGH!
Anggota Black Eagles lainnya tidak berani mendekati mereka, dari jumlah pun sudah kalah dengan anggota Scorpio. Anggota Black Eagles hanya memperhatikan ketua mereka yang wajahnya sudah tidak berbentuk karena darah sudah memenuhi wajah Bram dari kejauhan.
"Dan ini...,"
KREK!
Rain menginjak tangan Bram yang tadi pria itu gunakan untuk meninjunya, tanpa ragu.
"AAKKHH--, ANJING!" Bram sudah memegang tangannya yang masih diinjak oleh Rain.
"Buat tangan kotor kamu yang udah berani nyentuh muka aku!" Rain kembali menekan injakannya lebih dalam sampai terdengar bunyi tulang-tulang yang patah.
Anggota Scorpio hanya memandang ketuanya itu dan mereka hanya menggelengkan kepala. Sisi ketuanya yang sadis dan tidak kenal ampun itu keluar, setelah sekian lama mereka tidak melihatnya.
"Bang, itu Bang Rain gapapa? Kalau dia matiin tuh orang gimana?" tanya Rehan, salah satu anggota Scorpio kepada Dion yang hanya dibalas dengan gelengan dari pria yang terkenal cuek dan dingin itu.
Nando yang mendengar pertanyaan Rehan pun menyambar, "Biarin aja, kalau kamu ikut campur yang ada dia makin gila. Rain tahu batasnya." ucap Nando lalu menepuk bahu Rehan pelan.
"Udah lama banget aku kaga liat Rain kaya gini." bisik Gavin ke Bara.
Bara menganggukan kepalanya, setuju dengan pendapat Gavin, "Iya anjir! Sinting emang nih orang kalau udah disenggol."
Setelah puas menghabisi Bram, Rain mengalihkan pandangannya ke kerumunan anggota Black Eagles,
"BUAT KAMU SEMUA..," Rain menunjuk satu persatu anggota Black Eagles, "SEKALI LAGI AKU LIAT KAMU PADA BERULAH, AKU BAKAL NGABISIN KALIAN DENGAN SENANG HATI!" Rain sudah mengeluarkan seringainya, membuat anggota Black Eagles menunduk, takut dengan ancaman Rain. Ketua mereka saja bisa dihabiskan dengan mudah, apa lagi mereka?
Rain melangkah meninggalkan Bram yang sudah terkapar tidak berdaya. Ia mendekati Nando yang masih duduk di atas motornya santai, "Kamu bawa Bimo ke rumah sakit," Rain mengeluarkan dompetnya dan memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan ke tangan Nando, "Kalau kurang bilang aku." lalu menepuk bahu Nando pelan.
"Kamu pada balik, urusan udah selesai." Rain sudah memberikan gesture tangan mengusir ke arah anggota Scorpio yang dibalas dengan anggukan oleh mereka.
Rain pun menaiki motor hitamnya itu, mengendarainya kembali ke markas.
―♚☠♛―
Iris terbangun dari tidurnya ketika mendengar bunyi alarm. Ia merenggangkan tubuhnya sebentar lalu terduduk menatap sekelilingnya. Gadis itu melihat bukunya sudah tersusun rapi di pinggir ranjang.
"Eh tunggu," Iris teringat sesuatu, "Semalam kan aku belajar sama Kak Rain.... LAH AKU KETIDURAN DI DEPAN KAK Rain?!"
"HEH GILA KAMU YA Iris!!!" Iris sudah mengacak-acak rambutnya, "Aduh mampus aku malu banget!" ia menepuk keningnya pelan.
Iris masih bergumul dengan kebodohannya, tertidur di depan Rain Joshua Gracio. Ia malu mengingat tidurnya yang mungkin tidak ada anggun-anggunnya sama sekali. Di saat masih asik mengumpat mengenai kebodohannya itu, tiba-tiba ponselnya berdering membuat gadis itu mengambilnya dan melihat nama yang sangat ia hindari sekarang malah meneleponnya, Rain.
"Aduh angkat gak ya?!" Iris sudah berdiri, berjalan mondar-mandir sembari memegangi ponselnya.
"Angkat deh."
Lalu gadis itu menggeser ikon berwarna hijau itu ke kanan dan menempelkan ponselnya di telinganya.
"Ha-halo?" Iris tergugup, menggigiti kuku jari tangannya, salah satu kebiasaan buruk Iris ketika ia gugup.
"Kamu udah siap belom? Aku udah di bawah."
"HAH?! APAAN DI BAWAH?" Iris langsung melotot, kaget dengan ucapan Rain.
"Kamu baca kertas di atas tumpukan buku gak?"
Iris beralih ke tumpukan bukunya tadi dan melihat ada potongan kertas di atasnya.
"Pagi berangkat sekolah bareng aku." Iris membacakan surat itu. Setelah tersadar, ia langsung melotot, kaget, 'Aduh mati aku....'
Iris memikirkan berbagai alasan untuk menolak berangkat bersama Rain, "Kamu berangkat duluan aja deh Kak, aku belom siap-siap."
"Aku tungguin. Buruan!" Rain memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak, lagi dan lagi.
"Pemaksa banget sih!" Iris sudah ngedumel sembari melempar ponselnya ke ranjang lalu beranjak mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi.
Tidak butuh waktu lama untuk gadis itu bersiap-siap, ia langsung bergegas mengambil tas dan menuruni tangga buru-buru tentunya karena Rain yang sudah berada di depan rumahnya.
Bundanya yang sedang menyiapkan sarapan pun hanya menatap anak gadis satu-satunya itu aneh, "Kenapa buru-buru gitu sayang?"
Iris mencium pipi Bundanya pelan dan meminum segelas susu yang memang disiapkan untuknya sampai habis, lalu berlari menuju pintu, "Kak Rain yang sangat amat rese itu udah di depan Bunda, Iris sarapan susu aja yaaaa!"
"Loh sama Rain?! Nanti pulang suruh ke rumah ya!!" Bundanya hanya menggeleng melihat tingkah anaknya sembari tersenyum. Berharap yang terbaik untuk Iris dan Rain.
***
Rain yang sedang menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil sembari bermain ponsel pun mengalihkan pandangannya ketika ia melihat Iris sudah berlari keluar dari pintu rumahnya mendekati pria itu.
Rain menaikkan sebelah alisnya, menatap gadis di depannya bingung, "Kamu ngapain sampe ngos-ngosan begitu?"
Iris sudah bertumpu pada dua lututnya, menarik nafasnya cukup panjang, gadis itu lelah berlari dari kamar sampai ke depan gerbang hanya karena seorang Rain Joshua Gracio yang pemaksa dan tidak sabaran itu, "Sabar! Aku narik nafas dulu!"
Rain masih menatap gadis di depannya, bingung.
"Kamu ya Kak!" Iris menunjuk pria di depannya, "Masih nanya aku ngapain?! Tadi yang suruh aku buru-buru siapa?!" Iris sudah menatap pria di depannya dengan tajam.
"Siapa suruh nurut?" jawaban Rain berhasil membuat gadis di depannya bungkam.
"Udah masuk sana." Rain berjalan memutari mobil, menduduki kursi pengemudi dan memasang seat beltnya.
"Sabar ya Iris! Sabaaarrrr!" Iris sudah mengelus dadanya pelan, menyabarkan dirinya sendiri menghadapi kakak kelasnya yang katanya kejam dan bengis tapi malah nyatanya menyebalkan dan pemaksa.
Iris sudah menduduki kursi penumpang di sebelah Rain. Sudah beberapa menit berlalu tapi tidak ada tanda-tanda mobil tersebut dijalankan oleh si pengemudi, Rain.
Iris menatap pria di sampingnya dengan tatapan bingung, "Kamu nunggu apaan Kak? Ntar telat." Sedangkan yang ditanya hanya menatap gadis itu dengan tatapan malas.
Rain menghela nafasnya kasar, lalu melepas seat belt yang ia pasang tadi dan memajukan tubuhnya mendekat ke kursi penumpang di sampingnya yang sudah di duduki oleh Iris. Membuat gadis itu melotot kaget dan langsung memundurkan tubuhnya, bersandar pada kursi.
"Ka-mu ngapain s-sih Kak?"