Ucapan Rain berhasil membuat keempat sahabatnya menatap pria itu dengan mulut menganga dan mata melotot. Mereka cukup terkejut seorang Rain mau repot-repot nganterin cewek balik? Wow. Hal yang sangat tidak biasa.
"Rain?"
"Anjay."
"Kamu kesambet apaan Rain?"
Perkataan ketiga temannya tidak digubris oleh Rain. Ia hanya menatap Iris yang berdiri tidak jauh dari meja yang mereka tempati.
"Eh? Gak usah Kak. Ntar aku balik pake ojek aja."
"Jangan ngebantah." Iris yang mendengar ucapan Rain pun terdiam.
"T-tapi Kak-,"
"Udah nurut aja." Dion pun akhirnya membuka suara.
Akhirnya Iris pun mau tidak mau mengangguk lalu meninggalkan meja tersebut.
'Tuhaaannnn, apalagi iniiii?!'
Setelah melihat kepergian Iris dari hadapan mereka, mereka semua langsung mengalihkan pandangannya kembali ke Rain.
"Kamu sehat Rain?" Gavin sudah menggerakan tangannya ke arah kening Rain, ingin memeriksa suhu temannya ini yang menurutnya sudah tidak sehat. Seorang Rain? Ngajak cewek balik bareng? Udah gila.
Rain langsung menepis tangan Gavin.
"Jangan pegang-pegang aku, anjing."
Nando hanya menyeruput jus apelnya yang tersisa setengah, "Kamu tumben banget Rain?"
"Bacot banget kamu pada. Kalau dia pingsan di tengah jalan malah ribet." Rain pun beranjak dari kursinya, menuju kelas. Membuat teman-temannya mengangguk curiga kecuali Dion tentunya karena pria itu terlihat tidak peduli.
Sebenarnya tujuan Rain memang seperti itu, takutnya gadis itu pingsan di tengah jalan mengingat kejadian di lapangan tadi. Lebih merepotkan.
"Gila Rain masih tertarik sama lawan jenis Gavin!" Bara menggucangkan lengan Gavin.
"Ya iya lah goblok!" Gavin menoyor kepala Bara. Lalu berlari sebelum Bara membalasnya.
"ANJING KAMU! SAKIT WOI!" Bara yang emosi pun akhirnya mengejar Gavin. Terjadilah aksi kejar-kejaran yang membuat Nando dan Dion hanya menggelengkan kepala mereka pelan.
"Punya teman gak ada yang waras." Nando pun menyusul Dion yang sudah berjalan duluan menuju kelas.
***
Setelah berganti seragam, Iris pun merapihkan rambutnya di depan kaca toilet.
"Perfect!" Iris tersenyum menatap cermin.
Lalu, ia berjalan ingin kembali ke kelas. Lorong sekolah sudah sepi karena para murid dan guru sudah melanjutkan kegiatan belajar mengajarnya. Sepanjang perjalanan kembali ke kelas, Iris merasa ada yang mengikutinya langkahnya. Saat ia berbalik, tidak ada siapapun di belakangnya.
'Masa ada setan sih siang-siang?' ia merinding membayangkan hal-hal yang berbau horror.
Gadis itu kembali mempercepat langkahnya menjauhi kawasan tersebut tanpa menoleh sama sekali.
Sementara, tanpa ia ketahui, tidak jauh dari tempatnya berdiri sudah ada seseorang yang sedang memperhatikannya.
"Liat aja kamu Iris!"
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Seperti apa yang Rain katakan tadi bahwa Iris akan diantar oleh pria itu, ketika Iris sudah sampai di aula yang mengarah ke parkiran, ia melihat Rain dengan kelima temannya sedang berada di parkiran motor dengan Rain yang bersandar di motor besarnya sembari menghisap rokok yang terselip diantara dua jarinya.
Tatapan mereka pun bertemu. Rain mengeluarkan gesture tangannya, memanggil gadis itu untuk mendekat, lalu membuang rokoknya ke tanah dan menginjaknya.
Ia pun melempar helm yang ada di tangannya ke Iris pelan lalu menaiki motornya, "Pakai tuh helm."
Iris hanya menuruti perintah Rain dan ikut menaiki motor itu.
Seperti biasa, pusat perhatian berhasil direbut oleh seorang Rain Joshua Gracio. Sudah banyak pasang mata menatap para anggota Scorpio. Tepatnya ke arah Rain dan Iris yang berada di boncengan pria itu.
"Aku duluan. Kamu pada ke markas aja, ntar aku nyusul." mereka semua hanya mengangguk, menuruti perintah sang Ketua.
Rain menjalankan motornya membelah kota Jakarta yang cukup lengang siang ini.
Sementara di ujung aula, seseorang sudah menatap mereka dengan tatapan iri dan benci, tidak, bukan mereka, melainkan hanya Iris seorang.
"Harus aku kasih pelajaran ini orang!" ucap orang itu dengan tatapan penuh emosi, lalu pergi meninggalkan aula.
***
Sepanjang perjalanan di isi dengan keheningan. Baik Rain yang diam saja dan Iris yang tidak cukup berani membuka topik pembicaraan dengan kakak kelasnya yang menurut Iris cukup gila dan nekat ini.
Setelah lima belas menit berlalu dengan keheningan, akhirnya mereka sampai di komplek perumahan Iris.
"Kak, berhentiin aku di depan halte itu aja, gak jauh kok rumah aku dari situ." Iris menunjuk halte yang biasa menjadi tempat pemberhentian bus sekolah yang mengantar dan menjemputnya.
"Aku anter sampe depan rumah." balas Rain.
Iris hanya memikirkan apabila diantar sampai depan rumah, ia takut Bundanya sedang berada di kebun keluarganya yang terletak di depan rumah. Karena biasa jam segini Bundanya akan berkutat dengan tanaman-tanamannya sampai Ayahnya kembali. Secinta itu Bundanya dengan tanaman.
"Gak usah deh Kak, nanti ada Bunda aku, bisa-bisa kamu ditahan gak dibolehin pulang loh!" Iris berharap perkataan tadi akan membuat Rain berpikir dua kali untuk mengantarnya sampai depan rumah.
"Ya gapapa. Pokoknya aku anterin sampe depan rumah. Jangan ngebantah." ujar Rain, final. Sepertinya kalimat 'jangan ngebantah' akan jadi kalimat favorite Rain kalau berbicara dengan Iris mengingat betapa keras kepalanya gadis itu.
Iris hanya menghela nafasnya pelan, membantah Rain pasti akan panjang urusannya.
"Ya udah, abis ini ada belokan, Kak Rain belok kiri." Rain hanya menuruti perkataan Iris.
"Ya stop sini."
Seperti yang Iris bilang tadi, benar Bundanya sedang menyirami tanaman. Bundanya yang awalnya berfokus menyiram tanaman kesayangannya mengalihkan tatapan ke anak gadis satu-satunya itu, tidak, Bundanya fokus ke pria yang mengantar anak gadisnya.
Bunda Iris menaruh gembornya asal, mendekati mereka berdua, "Aduh anak cantik Bunda udah pulang." Bundanya merapihkan rambut Iris yang berantakan setelah melepaskan helm yang ia gunakan tadi.
"Eh Bunda." Iris sudah memasang wajah malas. 'Pasti bakal panjang ini mah!' lanjut Iris dalam hati.
"Dianterin sama siapa sayang? Calon mantu Bunda ya?" Bundanya melirik ke arah pria yang mengantar anak gadisnya ini sembari tersenyum jahil. Jarang-jarang anaknya ini dianter pulang sama seorang pria.
Iris yang mendengar perkataan Bundanya barusan langsung terbelalak, kaget sekaligus malu, "IH BundaAAA!" Iris sudah menghentakkan kedua kakinya kesal.
Rain yang merasa diperhatikan pun akhirnya melepas helmnya, lalu turun dari motor hitamnya.
"Sore Tante, saya Rain, kakak kelasnya Iris." Rain sedikit menunduk hormat sembari tersenyum ramah, senyum yang jarang sekali Rain perlihatkan ke orang-orang di sekitarnya.
"Oh Nak Rain, kenalin Bundanya Iris. Panggil Tante Adhisti aja." Iris dapat melihat Bundanya sudah tersenyum sumringah, apa lagi setelah melihat wajah Rain yang sedari tadi tertutup helm. Bundanya langsung menatap Rain dengan mata berbinar.
"Oh iya Tante Adhisti." Rain masih mempertahankan senyumannya.
"Mampir dulu sini, Tante buat kue tadi, sekalian kamu cobain. Pasti capek kan abis nganterin Iris? Apa lagi panas-panas gini. Nanti Tante buatin kamu es cendol. Masuk dulu sini Nak." Tante Adhisti sudah menarik lengan Rain pelan. Iris yang melihatnya hanya memutarkan kedua bola matanya, malas. Bundanya memang tidak pernah berubah. Lalu Iris hanya mengikuti langkah kedua orang itu.
Rain yang ditarik lengannya hanya menurut saja. Sebenarnya ia cukup canggung mengingat pria itu awalnya hanya ingin mengantar Iris karena ingin memastikan gadis itu tidak pingsan di tengah jalan akibat hantaman bola tadi, malah berakhiran ia yang sekarang sudah ditarik kesana-kesini oleh Bundanya gadis itu.
"Sini-sini duduk dulu." setelah mengarahkan Rain untuk duduk di ruang tamu, ibu 3 anak itu pun kembali ke dapur, menyiapkan beberapa hidangan untuk Rain.
"Maaf ya Kak, Bunda aku emang gitu, suka excited kalo ada temen aku yang dateng ke rumah." Iris sudah duduk di kursi seberang Rain.
"Santai." ucap Rain pelan.
"Ya udah bentar Kak, aku naik dulu ganti baju." yang hanya dibalas dengan anggukan pelan oleh Rain. Lalu Iris pun berjalan meninggalkan Rain.
Rain mengalihkan perhatian ke sekelilingnya, rumah yang tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil juga. Dengan berbagai pigura foto yang terpasang di dinding, rapi. Tiba-tiba matanya teralih ke seorang anak kecil yang mendekatinya sembari membawa buku.
"Kakak namanya siapa? Kakak temannya Kak Iris atau temannya Kak Zayn?" anak cowok itu sudah menggaruk pelipisnya dengan pensil pelan.
"Nama aku Rain. Temannya Iris, kenapa?" Rain sudah berlutut menyejajarkan posisi tubuhnya dengan anak kecil yang tadi menarik perhatiannya.
"Bantuin Zidan dong Kak Rain, dari tadi gak bisa-bisa. Soalnya susah banget nih." Zidan, adik Iris sudah mengerucutkan bibirnya, kesal dengan soal-soal yang cukup membuatnya pusing.
Tiba-tiba Tante Adhisti sudah datang membawa nampan yang cukup besar dengan berbagai makanan di atasnya.
"Eh Zidan kamu ngapain? Jangan gangguin Kakak Rain ya!" ucap Tante Adhisti sembari menyajikan makanan yang ia bawa tadi ke meja yang berada di tengah-tengah ruangan.
Rain pun mendudukan dirinya di lantai, menyejajarkan dirinya dengan meja yang terdapat di ruang tamu tersebut. Zidan pun sama.
"Engga kok Bunda, Zidan minta ajarin Kak Rain doang. Soalnya Zidan bingung sama soal matematika yang ini." balas Zidan membela diri.
"Tanya Kak Zayn aja gih, jangan gangguin Kakaknya." Tante Adhisti sudah mengusir anak bungsunya pelan.
"Gak ah, malas sama Kak Zayn." Zidan masih mempertahankan posisinya dengan tangan bersandar di atas meja.
"gapapa kok Tan, saya bisa ajarin." Rain sudah mengelus kepala Zidan, gemas. Ia memang sangat menyukai anak kecil.
"Maaf ya Nak Rain, anak Tante emang ngerepotin."
"gapapa Tan." Rain sudah tersenyum ke arah Bunda Iris.
Lalu pria itu mengalihkan perhatiannya kembali ke Zidan, "Nomor berapa yang gak ngerti?" Rain sudah memperhatikan Zidan yang masih fokus dengan buku yang tadi ia bawa.
"Ini Kak nomor tiga." Rain pun membaca soal matematika yang ada disana dengan saksama. Setelah mengerti maksud dari soal tersebut, ia pun mulai mengajarkan Zidan.
"Jadi gini,-" Rain mulai mencorat-coret kertas kosong sembari menjelaskan soal yang tercantum dengan telaten yang dibalas dengan anggukan mengerti Zidan.
"Terus, kamu pindahin angka 5 ke ruas kanan, jadi -3p sama dengan -7 terus -5, nah berapa tuh?"
"-12 Kak!" jawab Zidan antusias.
"Nah, jadi -3p sama dengan -12, terus udah deh, -3 nya kamu pindahin ke ruas kanan. Jadi, p sama dengan -12 dibagi -3. Hasilnya berapa?"
"Hasilnya 4 kan?" Zidan sudah menatap Rain sembari tersenyum yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Rain yang sudah mencubit pipi Zidan, gemas.
Tante Adhisti yang sedari tadi memandang keduanya hanya tersenyum. Rain memang anak yang baik pikirnya.
"Tante siram tanaman dulu ya Rain, main-main dulu aja sama Zidan." Tante Adhisti menepuk bahu Rain pelan.
"Iya Tante, makasih makanannya ya Tan." ucapan Rain hanya dibalas dengan senyuman oleh ibu dari 3 anak itu.
Lalu, Bunda Iris pun meninggalkan ruangan tersebut kembali ke halaman kecilnya.
Tidak lama kemudian, Iris datang kembali ke ruang tamu. Ia melihat Rain sudah terduduk di lantai dengan adiknya yang sangat menyebalkan itu, Zidan.
"Heh bocah, ngapain kamu disini?!" tanya Iris nyolot. Walaupun umur mereka berbeda 3 tahun, kelakuan mereka sama saja menurut kedua orang tuanya.
Rain yang sedari tadi fokus mengajarkan Zidan akhirnya mengalihkan pandangannya ke gadis yang sudah memakai setelan bergambar toy poodle dengan rambut yang dikuncir messy bun, menampilkan leher putih jenjangnya, 'Cantik.' ucap Rain dalam hati.
"Apaan sih Kak? Cuma minta diajarin doang kok!" balas Zidan dengan nada nyolot juga.
"Dih? Ngerepotin orang doang kamu! Udah sana-sana kerjain sendiri!" Iris sudah mengeluarkan gesture tangan mengusir ke arah Zidan.
"Zidan gak minta Kak Iris ya! Kak Rain yang ngajarin Zidan aja gak banyak komen!" Zidan sudah memandang kakak gadis satu-satunya itu dengan tatapan sebal. Mereka memang jarang akur, selalu berantem.
"Ya tetap aja kamu ngerepotin orang pokoknya!" balas Iris, gak mau ngalah.
"Ih apaan sih Kak Iris ngeselin banget?!" mata Zidan sudah berkaca-kaca, kesal dengan kakaknya ini. Iris hanya tersenyum puas melihat Zidan yang sebentar lagi akan menangis.
Rain yang sedari tadi berada di antara kakak-beradik ini hanya menggeleng pelan. Sifat jahil Iris membuatnya geleng-geleng.
Terdengar decakan yang keluar dari Rain. Pria itu sudah menatap tajam Iris.
"Udah jangan nangis. Jalan-jalan aja yuk sama aku." ajak Rain, berharap akan menghibur Zidan yang sudah menangis sekarang.
Iris yang berhasil membuat adiknya menangis hanya tertawa sembari memegangi perutnya sendiri.
"IH KAK IRIS! Zidan LAPORIN BUNDA YA!!!" Zidan sudah menaikkan suaranya, marah.
"Laporin aja, Bunda pasti belain Kakak!" Iris sudah menjulurkan lidahnya, meledek Zidan. Membuat tangisan Zidan terdengar semakin kencang dan gadis itu tertawa semakin kencang juga.
"WOI BERISIK BANGET DAH?!"