Hailexa bertopang dagu, menanti Alexander yang sedang mengamati kumpulan balok kayu kecil, dengan sebuah huruf di sisi atasnya. Ini sudah permainan ketiga atau mungkin empat, Hailexa tidak terlalu ingat. Balok-balok dengan huruf yang dimiliki, nantinya akan disusun di atas papan sehingga membentuk suatu kata. Scrabble words, begitu mereka menyebutnya. Setiap huruf memliki poin yang berbeda, sesuai dengan tingkat kesulitannya. Semakin panjang kata yang dibuat, maka total poinnya akan semakin besar. Akan lebih bagus jika ada huruf dengan poin tinggi di dalamnya.
Alexander mulai menyusun balok-balok itu di atas papan. Satu per satu namun begitu yakin. "Sequence," ujarnya sambil menyeringai.
Giliran Hailexa tiba. Sial. Dari sekian huruf yang ada, hanya satu kata yang terlintas di kepalanya.
"Read? Setelah dog dan crowd? Ayolah Hailexa, kau pasti bisa lebih kreatif."
Dengkusan Hailexa keluar begitu saja. Alexander benar-benar mengejeknya. "Ingat, aku berhasil mengalahkanmu dalam teka-teki silang berbahasa italia," pamernya.
"Kau menang dua kali dari enam babak yang ada. Lalu scrabble words, baru satu dari tiga kali permainan. Apa kau ingin bermain dengan bahasa italia saja?" tanya Alexander geli. "Sunflower."
Hailexa menggebrak meja, sehingga beberapa balok milik Alexander berjatuhan ke lantai. Laki-laki itu tertawa. Beruntung kafe sedang sepi. Jika tidak, mereka bisa jadi pusat perhatian.
"Texting."
"Kemajuan," puji Alexander.
Ekspresi Alexander terlihat sangat tenang dalam berpikir. Tidak seperti dirinya yang selalu cemas, apalagi jika waktunya akan habis. Entah mengapa Hailexa suka melihat ekspresi itu. Alexander seperti sudah terbiasa dalam permainan ini.
Galaxy.
"Alex. Kenapa bisa temukan kata itu. Sejak kapan kau mulai bermain scrabble?"
"Saat usiaku lima atau enam tahun. Tidak ingat."
"Dan kau selalu menang?" tanya Hailexa lagi.
Alexander menggeleng pelan. "Dari seluruh babak permainan sepanjang hidupku, aku hanya bisa menang sebanyak enam belas kali ketika bertanding dengan Daddy."
Cerita Alexander membuat Hailexa terkekeh. Keluarga mereka terdengar begitu hangat dan menyenangkan. Andai saja kedua orang tua Hailexa masih ada, mungkin akan ada cerita yang sama. Sang ayah dulunya juga hebat dan pintar.
"Beliau pasti orang yang hebat. Sekarang katakan padaku, apa yang tidak bisa kau lalukan," pinta Hailexa.
"Aku lemah dalam billiard. Sedikit takut untuk bermain sepatu roda, skateboard, dan ice skating. Hailexa!" bentak Alexander di akhir sebab gadis itu melempar kentang goreng ke wajahnya.
"Takut katamu? Lain kali kita harus lakukan salah satunya, Alex," usul Gracelyin diiringi dengan tawa jahat.
Bibir Alexander berubah cemberut. Selain punya wajah yang tampan, Alexander juga menggemaskan di saat-saat tertentu. Seperti ketika sedang mengulum senyum atau cemberut seperti sekarang. Hailexa akan betah menatap wajahnya selama berjam-jam.
"Berhenti menatapku—"
"Alex, Grace, apa kalian sedang sibuk?"
Alexander dan Hailexa kompak menoleh ketika suara Vanya hadir di tengah-tengah. Keduanya menggeleng cepat. Setelah shift berakhir, mereka tidak langsung pulang dan menetap di kafe lebih lama.
"Bisakah kalian membantuku untuk berbelanja? Beberapa bahan hampir habis. Berhubung ini sudah malam, tidak masalah jika langsung pulang setelah berbelanja. Besok pagi aku akan mengambilnya dari kalian."
"Kami bisa melakukannya. Kau tenang saja," balas Alexander.
"Baiklah. Ini daftar dan uangnya."
Alexander menerima kertas pemberian Vanya, namun tidak dengan uangnya. "Pakai kartuku saja dulu. Nanti kau bisa kirimkan uangnya bersamaan dengan gajiku," katanya seraya bangkit dan membersihkan meja.
Setiap daftar yang diberikan oleh Vanya kini mulai berkurang. Hailexa dan Alexander sudah mengelilingi tempat luas ini hampir satu jam. Dibandingkan berbelanja, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan bergurau. Alexander beberapa kali bersembunyi atau meninggalkan Hailexa di lorong yang dibatasi dengan rak-rak tinggi.
Sebagai orang yang bukan penduduk asli, hal ini tentu saja membuat Hailexa takut. Bayangan buruk sudah merasuki otakknya. Alexander sangat menyebalkan. Meskipun ini hanya candaan, Hailexa tetap saja tidak bisa tenang.
"Sudah-sudah, berhenti marah padaku. Kau tidak ingin beli sesuatu?"
"Lain kali saja. Aku meninggalkan dompetku di tas."
"Ambil saja yang kau inginkan. Aku akan membayarnya. Lagi pula kau tidak mungkin membeli tempat ini 'kan?"
Hailexa terdiam sejenak, tubuhnya menegang. Bukan karena Alexander yang berniat membayarkan belanjaannya, melainkan oleh aksi yang dilakukan laki-laki itu setelahnya. Telapak tangan Alexander terangkat, lalu mengusap puncak kepalanya. Sebenarnya ini hanya tindakan kecil, namun tidak tahu kenapa justru membuat jantung Hailexa berdebar.
"Alex."
Panggilan itu bukan terucap dari bibir Hailexa. Beberapa meter di depan mereka, seorang gadis terlihat sedang melambai. Tidak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk datang menghampiri.
"Bagaimana bisa kita bertemu di sini?"
Hailexa meremas pinggiran troli erat-erat setelah melihat interaksi antara Alexander dan teman perempuannya. Hailexa pikir gadis itu hanya akan memeluk Alexander, namun kenyatannya sampai memberikan sebuah kecupan di pipi. Mereka pasti punya hubungan yang spesial.
"Ini tempat umum. Siapa saja boleh datang ke sini, Leanore."
"Ya ya ya. Kau tidak ingin memperkenalkan temanmu ini padaku?"
"Namanya Hailexa," jawab Alexander dingin.
Senyum paksaan mengihiasi bibir Hailexa sekarang. Aura yang ada di sekitarnya berubah buruk setelah mendengar jawaban Alexander. Laki-laki itu seperti menahan sesuatu. Tatapan Leanore padanya juga terlihat mematikan. Ingin sekali Hailexa berlari kabur.
"Kau sudah putuskan untuk ikut ke Manchaster atau tidak?" tanya Leanore dengan cara yang tidak biasa. Selama berbicara telapak tangannya terus mengusap lengan kanan Alexander.
"Sudah. Aku tidak ikut. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Leanore memutar bola mata. Gadis ini sudah tidak terkejut dengan jawaban Alexander. "Baiklah. Kalau begitu, bisakah malam ini kau datang ke rumah—"
"Tidak." Alexander menolak dengan nada yang penuh tekanan. "Leanore, aku dan Hailexa sedang buru-buru. Kita bicara lain kali saja. Maaf, tapi kami sangat dikejar waktu."
Cara yang sama mereka lakukan saat akan berpamitan. Peluk lalu Leanore akan mengecup pipi Alexander. Hailexa tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Raut wajar Alexander seperti tidak nyaman. Akan tetapi dia tidak menolak sama sekali.
"Leanore Fiorelli. Dia mantan kekasihku," celetuk Alexander yang membuat Hailexa tersentak.
"Berapa lama kalian berhubungan?"
Alexander terdiam sejenak. "Cukup lama. Lebih dari empat tahun. Sekarang dia hanya temanku."
Ada rasa sesak yang menghantam kuat di dada Hailexa. Alexander menyebut Leanore sebagai mantan kekasihnya, tetapi mereka bertingkah layaknya lebih dari sekadar teman. Apa mungkin hal seperti itu wajar jika dilakukan bersama mantan kekasih? Hailexa tidak mengerti. Lalu untuk apa dadanya terasa sesak? Dirinya tidak mungkin sedang cemburu.
"Sebenarnya aku sudah lelah menghadapi tingkahnya yang," Alexander menjeda ucapannya, "sedikit liar. Sayangnya jika aku menolak, lain waktu saat bertemu, dia bisa merayuku dengan cara yang lebih parah. Aku tidak ingin itu terjadi."
"Kenapa kau tidak mencoba bicara dengannya? Dia harus tahu jika kau merasa kurang nyaman."
"Aku sudah mencoba. Dia tidak akan berhenti selama aku tidak memiliki kekasih."
Kekasih. Hailexa buru-buru memalingkan wajahnya karena Alexander sudah memandangnya dengan tatapan lekat. Mata hazel itu berhasil menaikkan detak jantungnya.
"Hailexa. Bagaimana jika kau menolongku dari Leanore dengan cara menjadi kekasihku?" imbuh Alexander.
"Kau pasti bercanda," sahut Hailexa cepat.
"Ya, setidaknya Leanore masih lebih waras dibandingkan mantan kekasihku yang lain."
Apa katanya? Mantan kekasih yang lain? Sebenarnya dia punya berapa mantan kekasih? Lalu bagaimana bisa Leanore yang seperti itu dikatakan waras. Apa kabar dengan mantan kekasih yang lain?
Di satu sisi Hailexa juga bepikir, apa benar tindakannya untuk jatuh cinta pada Alexander? Bagaimana jika dirinya justru jatuh cinta pada orang yang akan mematahkan hatinya?