Chereads / Setan Pemakan Manusia / Chapter 6 - kesialan di tengah kemacetan

Chapter 6 - kesialan di tengah kemacetan

"Kenapa, Natan?"

Lidia menatap aku yang tampak kaget. Aku menghela napas pelan, berusaha menenangkan diri, "Gak apa-apa. Tadi tanganku hampir jatuhin gelas ini,"

Aku berbohong. Entah sosok bayangan apa yang kulihat barusan, rasanya terlihat seperti seseorang yang lewat namun cepat dan hilang begitu saja. Disertai dengan kabut kemerahan. Itu seperti mirip dengan bayangan yang kulihat di malam saat tak sengaja mobilku menabrak wanita di depanku.

Atau hanya perasaanku saja? Jangan-jangan kabut itu hanya permainan cahaya semata.

"Apa kamu tidak keberatan, mengunjungi orang seperti ini? Bagaimana dengan pekerjaan dan urusanmu yang lain?"

Lidia bertanya kembali, membuat lamunanku buyar.

"Ya gak apa-apa. Pekerjaan hari ini udah beres, dan besok weekend, libur, masuk lagi hari Senin,"

Jawabku, sambil mengusap wajah.

Wanita di depanku tersenyum, diiringi anggukan samar.

"Gimana rasanya kakimu sekarang? Obatnya udah habis belum?"

Hampir saja aku lupa untuk apa tujuanku datang kemari, yaitu untuk mengetahui kemajuan kondisi Lidia.

Lidia menatap pada kakinya yang luka. Masih ada sisa perban di atas betis kirinya. Aku ikut menatapnya, memperhatikan.

"Udah gak terlalu sakit kok. Obatnya juga hampir abis, tinggal sedikit lagi,"

Aku tidak begitu yakin, apakah benar apa yang diakunya barusan, atau dia hanya berpura-pura untuk menyenangkanku. Eh, maksudnya agar aku tidak cemas. Tetapi sejauh ini, dia memang tidak menyewa orang untuk menjadi asisten di rumahnya. Itu artinya, dia mengerjakan sendiri semua pekerjaan di rumah. Mungkin apa yang dia katakan tentang kondisinya adalah benar adanya.

"Ah, kalau gitu, sehabis obat, kita ke klinik lagi, buat cek kemajuan, ok?"

Dia mengangguk, "Makasih Natan,"

Aku mengangguk pelan. Akhirnya, aku bisa merasa lega dengan kunjungan ini, karena keadaan orang yang tak sengaja kucelakai, telah mulai membaik keadaannya. Semoga beberapa hari ke depan dia sudah benar-benar pulih.

"Aku janji, bawa kamu jalan, kalau kamu udah beneran sembuh. Kita makan bareng di manalah, buat syukuran kamu sembuh, setuju?"

Ujarku, sebelum berpamitan beberapa menit kemudian.

Wanita itu mengangguk, "Boleh,"

"Oke, kalau gitu aku pulang dulu, ya,"

Dia mengantarku hingga ke gerbang dan melambaikan tangan sembari tersenyum lembut.

Hari sudah semakin sore, jam di tanganku menunjukkan pukul lima lewat empat puluh lima menit. Aku fokus memegang kemudi, karena hujan mulai turun. Wipper sudah kunyalakan di kaca depan mobil, dan setelah satu menit kemudian, hujan mulai membesar.

Membuat kaca mobil berkabut, dan udara menjadi dingin.

Mataku mudah mengantuk di udara dan cuaca seperti ini. Sepertinya tidur sebentar saat pulang nanti, akan sangat nikmat. Aku mempercepat laju kendaraan, agar cepat tiba di rumah, karena ingin cepat rebahan di atas kasur. Lagipula, aku agak lelah karena tadi kan aku masuk kantor sebelum mengunjungi Lidia.

Tetapi, sepertinya aku terlalu cepat berharap untuk segera pulang. Karena sialnya, lima meter dari pandangan terlihat antrian mobil di depanku.

Macet, lagi-lagi begini. Padahal aku ingin sekali tidur dan istirahat. Aku memukul setir karena kesal, dan tak sengaja pukulan itu mengenai tombol klakson membuat mobil di depanku balas membunyikan klakson, karena dia mengira aku sengaja menyuruhnya minggir di situasi macet.

Ini pasti akan lama. Tetapi, penyebab kemacetan ini memang bukan karena kecelakaan lalu lintas, melainkan sesuatu yang lebih mengerikan, sepertinya.

Mobilku berhenti persis di pinggir area pertokoan, yang berada di kiri. Satu tim polisi terlihat sibuk mengangkat sesuatu dari celah gang sempit antara kafe dan toko baju, di antara derasnya air hujan. Sesuatu itu dibungkus oleh semacam bahan seperti spanduk. Aku melihatnya dengan jelas meski hujan besar, karena posisi mobilku berada di barisan yang paling dekat dengan celah gang tersebut.

Kulihat ada darah yang mengalir terbawa aliran air hujan, yang berasal dari dalam gang sempit tersebut.

Beberapa polisi bekerjasama menggotong bungkusan yang aku-merasa bisa menebak apa isinya.

Bulu kudukku berdiri membayangkannya.

Padahal, beberapa waktu yang lalu, aku baru saja melihat hal mengerikan bersama Erwin. Seorang manusia yang dilahap oleh wanita jadi-jadian.

"Aduh! Hati-hati dong! Pegang yang bener!"

Salah seorang polisi yang sedang menggotong bungkusan itu berteriak kesal pada rekannya, karena...

Astaga...mataku terbelalak saat melihat apa yang terjadi.

Salah seorang dari mereka tak sengaja melepas pegangan tangan pada bungkusan besar tersebut, karena kakinya tak sengaja menabrak mobil taktis di depannya, hingga membuat isi bungkusan yang mereka bawa, meluncur jatuh berhamburan sebagian ke lantai paving block.

Aku langsung memalingkan wajah saat tumpukan kepala yang terbelah menjadi beberapa bagian, juga potongan otak, bola mata, leher itu berjatuhan dan terlihat amat jelas.

Sialan! Aku berharap mataku mengalami rabun jauh saja daripada harus melihat pemandangan seperti demikian.

Penumpang lain pun pasti jijik melihatnya. Satu-dua dari mereka terdengar mengeluh di dalam mobil masing-masing seusai menyaksikan sesuatu gila barusan. Bahkan terdengar suara anak kecil menangis dari salah satu mobil. Pasti dia kaget dengan yang baru saja dilihatnya.

Sekarang, perutku mulai terasa mual, dan belum lagi, ada bau anyir darah yang tercium samar-samar.

Tanganku dengan cepat meraba bagian bawah jok, mencari kantong plastik khusus untuk muntah dan tanpa menunggu lama, perutku yang sudah bereaksi dengan brutal, langsung mengeluarkan isinya.

Setelah itu, aku segera meneguk air mineral yang ternyata malah tidak enak. Bukan karena rasa airnya, melainkan karena kerongkonganku yang terasa sangat tidak nyaman sehabis mengeluarkan isi perut.

Setelahnya, aku mengambil minyak angin dengan aroma kayu putih. Kuusapkan pada bagian kening yang mulai terasa pusing, karena beberapa hal saat ini. Lalu aku memasang masker wajah yang sudah kuolesi minyak angin di area bagian hidung. Ini untuk mencegah bau anyir darah yang sekarang menyengat, ke hidungku.

Aduh, aku berharap kemacetan segera terurai, aku tak tahan berada di area itu lama-lama.

Bisa-bisa pingsan saking tak tahannya. Lebih bagus macet berjam-jam namun tanpa melihat hal-hal aneh seperti ini. Aku juga tidak yakin dengan kondisiku, apakah bisa mengemudi hingga tiba di rumah ata tidak, karena sekarang pun kepalaku sudah sangat pusing, belum lagi rasa eneg.

Tetapi, ternyata aku bisa juga mengemudi hingga tempat tinggalku, meskipun keadaanku sudah seperti orang baru minum alkohol banyak. Jalanku agak sempoyongan dan sesekali berpegangan pada dinding yang kulewati.

Beberapa tetangga apartemenku turut membantu saat aku hendak masuk ke tempatku. Mereka menanyai tentang kenapa dengan kondisiku. Dan kujawab aku sedang tidak enak badan.

Salah satu dari mereka berbaik hati memberikan obat-obatan.

Barulah setelah kubilang aku akan baik-baik saja dan ingin istirahat, mereka semua keluar dari ruangan apartemenku.

Aku duduk bersandar di sofa, sambil memijat-mijat kening yang masih terasa pusing, dan sesekali menghirup aroma minyak angin.

Apes rasanya aku hari ini. Niat ingin pulang cepat dan istirahat dengan tenang, malah melihat sesuatu yang tak ingin dilihat siapapun.