"Natan, bangun!"
Terasa ada percikan air dan suara seseorang yang memanggil saat kesadaranku mulai kembali. Aku membuka mata perlahan, dengan kepala yang terasa berdenyut. Warna cerah ruangan langsung mendominasi penglihatanku. Ada tiga orang yang berdiri di sana, yaitu Reta, Erwin dan satu orang wanita lagi tidak kukenali tetapi aku tahu bahwa dia adalah seorang petugas medis. Perawat lebih tepatnya.
"Lu kenapa? Katanya lu hamil? Emang bener?"
Si brengsek Erwin di sebelah kiriku-yang berbicara terlalu dekat dengan wajahku-segera memborbardir dengan pertanyaan layaknya wartawan pemburu berita hoax, kepada narasumber yang tengah babak belur.
Aku menepis wajahnya agar menjauh dariku.
"Apaan sih lu, kamvret! Ngaco mulu bacot lu!"
Si brengsek itu malah menyengir, juga perawat yang sepertinya ingin sekali tertawa, namun ditahan. Hanya Reta yang masih menunjukkan raut khawatir melihatku. Aih, gadis itu memang selalu baik hati.
Ternyata aku dibawa ke klinik dua puluh empat jam setelah pingsan di area toilet. Reta yang memberitahukan pada rekan lainnya. Tentu saja, karena aku ingat betul, aku menabraknya sewaktu oleng seperti orang mabuk keselek golok.
Meski aku pingsan tadi, namun aku ingat tentang sesuatu. Yaitu sebuah mimpi buruk yang lagi-lagi kualami. Mimpi familiar tentang wanita yang membunuh kekasihnya secara keji, untuk kemudian dimakan sebagian besar daging dan darahnya. Mengerikan bin jijik.
Mimpi itu, sebelumnya memang pernah kualami, bukan hanya kali ini saja.
Entah kenapa pula aku bermimpi begitu, aneh. Seharusnya aku bermimpi yang biasa saja, abstrak tapi tidak mengerikan. Atau mimpi indah kek, sekali-sekali, bukan mimpi setan sedang memakan manusia seperti itu.
"Tumben lu sering pingsan, sakit, sekarang-sekarang. Kenapa sih? Dulu kagak. Paling cuma mabok pas minum banyak,"
Erwin melirikku sekilas. Dia mengemudikan mobilku, setelah jam kantor usai, karena khawatir aku tidak bisa menyetir dengan baik dalam kondisi seperti ini. Sementara mobilnya sendiri, dikemudikan oleh orang lain, menuju apartemennya.
"Enggak tau gua juga. Gegara suka mimpi aneh liat setan mungkin."
Aku memang tidak tahu, apa penyebab jadi sering pingsan dan sakit. Terakhir, beberapa minggu yang lalu, oleng akibat melihat potongan tubuh manusia di jalanan menuju apartemen.
Sialan memang, aku sering melihat hal yang mengerikan di mimpi dan kenyataan.
"Lah? Mimpi setan udah berapa kali?"
Si brengsek malah terkekeh mengejek. Dia pikir lucu apa, mimpi melihat setan sedang memangsa daging manusia? Bocah kamvret yang enggak pernah merasakan bagaimana seramnya mengalami mimpi seperti itu, ya begitu. Bisanya hanya menertawakan.
Aku malas menjawabnya lah.
"Harusnya, lu tuh mimpi ngesex sama seribu cewek, bukan mimpi tentang setan, gimana sih, haah!"
"Goblog! Seribu cewek, lu kira gua apaan!"
"Iya tapi kan seru kalau mimpinya kayak gitu! Daripada mimpi liat setan!"
Orang itu malah tertawa lagi. Brengsek benar deh.
Sayangnya kondisi tubuhku belum pulih, jadi agak malas menanggapi.
"Oh iya, cewek yang lu tabrak, gimana? Udah sembuh?"
Kali ini mata si brengsek itu fokus ke arah depan, dan nada bicaranya menjadi agak serius dibanding tadi.
"Udah sembuh."
"Oh gitu. Terus?"
"Gua ajak jalan kemarin. Terus dia ngajak gua maen setengah jam di rumahnya,"
Tidak perlu dijelaskan pun, Erwin mengerti maksud dari kalimatku barusan. Lihat saja, cowok brengsek itu langsung melotot meski tanpa melihatku. Aku khawatir jika matanya loncat dan menggelinding ke jalanan nanti.
"Buset. Gua bilang juga apa, lu bakal dapet enak. Baru kenal malah diajak ngesex. Gimana rasanya?"
"Ya kayak gitu lah, kamvret! Lu kayak gak pernah maen ama cewek,"
"Hahaha, kan tiap orang pasti beda rasanya,"
Ada benarnya juga sih, dengan ucapan Erwin. Saat sedang melakukan permainan panas kemarin bersama Lidia, aku merasakan sensasi yang agak berbeda dari biasanya, dengan wanita lain. Agak lebih dahsyat, bahkan aku merasa seperti gairah meningkat dua kali lipat, sehingga menjadi sangat bersemangat saat melakukannya kemarin. Entah itu hanya perasaanku saja atau bukan. Tapi aku ingat, meski hanya sebentar, namun aku melihat tubuhku dan tubuh Lidia, sampai seperti mandi keringat.
Itu pengalaman yang luar biasa.
Pukul setengah enam, mobil yang dikemudikan Erwin, tiba di parkiran apartemenku. Erwin tidak langsung pulang, dia mengantarku hingga masuk apartemen. Seperti biasa, dia memang selalu perhatian, sudah mirip dengan Mama dulu.
"Lu langsung pulang atau gimana?"
Tanyaku, sembari bersandar ke sofa.
"Entar dulu. Gua buatin sesuatu buat lu yang lagi mabok, baru gua pulang,"
Dia segera beranjak menuju dapur. Kubiarkan saja, dia mungkin akan membuat makanan dan semacamnya. Sekarang aku ingin pergi ke toilet. Kupercepat langkah, dan, sesampainya di kloset, mulutku dengan reflek mengeluarkan isi perut.
Lagi-lagi aku seperti ini. Kupejamkan mata beberapa saat dan ketika kubuka kembali lalu menatap muntahan di kloset, betapa bergidiknya aku. Kukira hanya isi perut biasa yang keluar, ternyata aku salah. Di sana, bahkan ada sesuatu makhluk yang bergerak-gerak mengambang.
Belatung!
Tanganku dengan cepat menekan salah satu tombol di kloset untuk menyiramnya. Sial, makhluk menjijikan itu cukup banyak jumlahnya.
Aku tidak percaya, mana mungkin semua itu keluar dari dalam perutku?!
Seusai hewan itu hilang, aku menutup kembali kloset. Lalu berdiri perlahan untuk mencuci wajahku. Namun lagi-lagi, aku menemui sesuatu sialan yang sangat menyebalkan. Baru saja aku mendekati wastafel, seketika bau anyir tercium begitu menyengat. Aku langsung membatalkan memutar keran air, dan mencari tahu dari mana asal bau sialan itu datang.
Ternyata, dari wadah tempat cucian kotor. Aku mendekati benda tersebut, lalu mengangkat salah satu pakaian, yaitu kemeja bekas kemarin kupakai.
Reflek aku berteriak kaget dan melepaskan kemeja tersebut setelah mataku menangkap sesuatu di dalam wadah cucian kotor.
Sesuatu menjijikan.
Potongan tubuh manusia dan isi perut yang berlumuran darah, itu bercampur dengan pakaian milikku.
Aku sampai jatuh ke lantai saking kagetnya.
Di belakangku terdengar suara pintu dibuka dengan keras.
"Lu kenapa?!"
Erwin berlarian ke arahku.
Napasku tersengal, sembari menunjuk ke arah wadah cucian kotor. Temanku tampak ikut menatap ke arah yang kutunjuk. Lalu dia mendekati benda tersebut perlahan dan mengambil cucian kotorku secara acak.
"Kenapa? Gak ada apa-apa di sini, cuma baju kotor,"
Ujarnya, seraya menunjukan beberapa potong pakaian. Satu tangannya meraih wadah cucian kotor, juga untuk diperlihatkan kepadaku.
Benar. Memang tidak ada apa-apa di sana sekarang, beda dengan tadi. Aneh sekali.
Apa aku berhalusinasi?
"Lu nyium bau sesuatu gak, di baju gua?"
Aku masih belum percaya, jika aku sedang berhalusinasi saat ini. Erwin kemudian mendekatkan cucian kotor milikku ke hidungnya, lalu mengendusnya beberapa saat.
"Bau bekas parfum. Enggak ada yang lain,"
Dia memberikan jawaban. Lalu mendekatiku.
"Nih, lu cium aja dikit,"
Ujarnya, menyodorkan benda yang dipeganginya ke dekat hidungku. Dan aku segera mengendusnya. Lagi-lagi benar kata Erwin, tidak ada bau anyir darah atau apapun, hanya bau bekas parfum yang biasa kusemprotkan ke pakaian kerja.
"Emang lu kira ada bau apaan di sini?"
Erwin merapikan kembali cucian kotor dan wadahnya. Lalu membantuku berdiri.
Aku masih memegangi kepalaku yang pusing.
"Bau jengkol?"
"Bau anyir darah, bego."