"Pagi,"
Reta menyapa saat berpapasan denganku di pintu lobi kantor. Kulihat gadis itu tampak seperti biasanya, ramah dan kadang terlihat kikuk saat di depanku. Tapi, kejadian semalam itu kenyataan, bukan mimpi. Aku berani melakukan sumpah pocong untuk menjaminnya.
"Mau ke mana?"
Aku menghadang langkahnya sebentar. Dia menundukkan wajahnya sekilas, lalu mendongak beberapa saat, "Mau ke kantin, sarapan,"
Wajahnya agak memerah, diiringi senyuman yang terbit dari bibirnya.
"Mau ikut?"
Kuperhatikan ekspresinya yang tampak normal seperti biasa. Tidak ada yang aneh tuh. Beda dengan kemarin, dia terlihat sangat berani. Ah, tapi pasti gadis ini memiliki rahasia.
Tetiba ada yang mendorong punggungku di belakang, sehingga aku hilang keseimbangan dan hampir menindih gadis di depanku.
"Aduh, sorry sengaja!"
Wajah Reta terlihat semakin memerah. Aku kembali berdiri tegak. Si brengsek Erwin tampak menyengir. Ingin rasanya aku menjitak kepalanya.
"Kamvret!"
Pagi-pagi sudah bikin rusuh.
.
Hari ini, pekerjaanku cukup banyak, bisa dikatakan menumpuk malah. Namun, otak sialan di kepalaku malah kekurangan fokus, seolah malas untuk diajak kompromi. Mager. Dasar kamvret. Aku tidak mau menumpuk pekerjaan apalagi sampai hari esok, pokoknya harus selesai hari ini juga. Bila perlu, lembur aja deh, sekalian. Atau gak usah pulang sekalian. Toh, tidak ada yang menungguku di rumah, aku kan jomblo. Ehe.
Mau tau apa yang membuat otakku hilang fokus hari ini? Yap, itu tentu saja mengenai kejadian semalam yang kurasa seperti mimpi. Bahkan aku setengah tidak mempercayainya, meskipun aku sendiri yang mengalaminya.
Bayangkan saja, orang yang biasa hidup normal-ya, anggap saja hidupku normal-tanpa pernah melihat hal aneh-aneh yang berhubungan dengan setan, iblis, kamvret, keparat dan semacamnya, kecuali baru-baru ini, tetiba harus mengalami peristiwa edan bin sinting. Yaitu melihat setan melahap manusia, di depan mata sendiri?
Dan anehnya lagi adalah, aku berani melawan setan tersebut saat gadis yang kukira lemah selama ini, menemaniku, ya meskipun sesudahnya aku seperti orang syok berat juga.
Padahal, sebelumnya, aku takut dan langsung kabur. Boro-boro bisa nolong orang yang mau dimakan si setan.
Melihat setannya saja sudah membuat nyaliku ciut seperti kerupuk dicelup ke kopi.
Tapi yang semalam itu, sungguh membuatku setengah tidak percaya.
Haah...
Gegara otakku tidak fokus hari ini, aku malah jadi pusing. Pekerjaan masih banyak hingga jam pulang hampir tiba. Sudah bisa dipastikan, aku harus ngelembur lagi hari ini. Kerja bagai kuda.
Biarlah, setidaknya bukan kerja rodi atau romusha seperti di jaman penjajahan.
"Lembur lagi?"
Erwin menghampiri aku yang masih sibuk di meja kerja, sampai jam pulang tiba. Temanku itu terlihat sudah bersiap untuk cabut dari kantor. Enak dia, pekerjaannya sudah beres. Sedangkan aku, masih ada sisa. Tapi tidak mau kutunda hingga esok. Malam ini juga, bila perlu, aku tidak usah pulang.
"Kerjaan gua masih numpuk gegara otak gua blank. Sial banget emang."
Jawabku. Erwin mendekat, memperhatikan ke arah meja kerjaku sejenak.
"Iya juga ya. Lu emang harus lembur. Syukur deh, nikmati aja!"
Malah meledek dia.
"Bego. Daripada ngetawain, mending lu beliin gua makanan lah, Win. Gua laper. Yang banyak, takutnya gua mau nginep di sini, setaun."
"Lebay lu, nginep setaun. Mana sini,"
Untung saja, Erwin baik. Lihat, dia biarpun hendak segera meninggalkan kantor, namun masih mau menolongku.
Kurogoh dompet dan mengeluarkan uang merah satu lembar, lalu menyodorkannya pada Erwin.
"Beli berapa?"
Tanyanya.
"Terserah. Yang penting agak banyakan aja,"
Kataku, kembali fokus pada pekerjaan. Erwin mengangguk dan segera berangkat ke minimarket terdekat.
Aku memang sempat makan siang sih tadi, tapi tetap saja, jika sudah lewat beberapa jam, akan lapar kembali. Apalagi, cuaca sekarang sedang dingin, dan sebentar lagi juga hujan turun.
Nah, kan. Tepat setelah lima menit aku berpikir tentang hujan yang akan turun, akhirnya suara rintik-rintik air yang jatuh dari langit itu, muncul juga. Langit di luar terlihat gelap, diiringi suara petir sesekali.
Apalagi, hari memang sudah mulai menuju malam. Ini seperti hari kemarin, membuatku malas pulang karena hujan besar, lalu bertemu Reta yang hendak kuantar ke rumahnya, dan kemudian di tengah jalan kami melihat...
Suara petir besar membuatku sedikit terlonjak kaget. Itu karena tetiba aku melamun di depan komputer, padahal sedang menyelesaikan tugas. Astaga. Aku teringat lagi tentang kejadian kemarin.
Beberapa rekan yang hendak pulang, menyapaku.
Tak lama, Erwin datang sambil berlari-lari kecil menuju titik tempatku berada. Tangannya melemparkan bungkusan plastik ke arahku.
"Kenapa sih?"
Seketika aku menoleh, dengan agak jengkel karena kelakuannya. Bagaimana tidak jengkel coba, kalau tiba-tiba dilempari benda begitu saja?
Aku menatap wajahnya yang tersengal dan tampak kaget.
"Tadi gua liat orang mati di seberang minimarket! Ada yang liat, ih serem! Badannya kayak hampir dimutilasi!"
Aku menelan ludah. Apa terjadi lagi?
Aduh, jangan-jangan ini ulah si...
"Lu liat aja, di jalan rame entar!"
Erwin masih bergidik. Dia menyeka tetesan air hujan di wajahnya.
Kenapa pula kejadiannya di dekat tempat kami bekerja?
Bikin aku tidak tenang saja. Sialan, setan itu berhasil makan manusia lagi.
Terlalu kejam. Apa tidak bisa ya, dia mengganti menu makanannya dengan nasi padang, nasi goreng, atau roti?
Dari sekian banyaknya makanan di dunia ini, kenapa malah memakan manusia?
"Gua gak jadi pulang ah, entar aja bareng lu,"
Erwin menyeret kursi plastik dan duduk di sebelahku. Ranselnya pun diletakan di atas meja kerjaku.
"Kenapa? Takut?"
Aku masih sibuk mengebut pekerjaan meski konsentrasiku sudah buyar.
"Iya, ngeri gua liat begituan!"
Siapa juga yang tidak akan merasa ngeri, melihat orang mati dengan luka badan brutal yang mengerikan. Kecuali psikopat atau orang yang mengidap kelainan jiwa. Mungkin golongan orang-orang seperti itu justru akan senang saat menyaksikan adegan yang gila, bagi akal manusia normal bin waras.
"Ngeri gua, mana depan mata banget liatnya, hih!"
Erwin sudah mengusap salah satu bungkus keripik kentang ukuran jumbo dan memakannya. Aku pun ikut memakannya, lagipula meskipun pikiranku buyar, rasa lapar di perutku tidak berkurang.
Namun, dugaanku akan menginap di kantor malam ini, ternyata meleset. Karena satu jam kemudian, pekerjaanku selesai juga.
Syukurlah, jika aku bisa pulang malam ini.
Suasana di kantor pun sudah mulai sepi. Ada Beberapa rekan karyawan yang masih berada di sana, mereka juga membicarakan hal yang sama dengan yang baru saja disampaikan oleh Erwin. Apalagi kalau bukan soal kematian mengerikan di dekat lokasi kantor ini?
Besok pasti akan lebih ramai orang-orang membicarakannya. Dan aku bisa menebak bahwa korban yang mati oleh ulah kenakalan setan itu, pastilah laki-laki.
"Ayo balik, Win. Gua mau istirahat,"
Kubangunkan temanku yang malah tertidur sejak setengah jam lalu. Cowok itu menggeliat dan bangun.
"Loh? Udah beres kerjaan lu? Gak jadi nginep dong?"
Tanyanya. Ih jijik, ada iler di salah satu sisi mulutnya.
"Gak."
Aku segera membereskan meja kerja. Lalu melangkah menuju parkiran bersama Erwin. Kami tidak pulang naik satu mobil, karena memang membawa mobil masing-masing. Tapi, jika Erwin mau numpang mobilku, silakan saja. Aku tidak keberatan, walau nantinya arah tempat tinggal kami berbeda.
Saat mobil kami keluar dari area parkiran kantor, di arah kiri tampak keramaian orang-orang, persis di seberang minimarket seperti yang dikatakan Erwin. Dua mobil kami melewati jalanan tersebut dan, astaga...
Bau anyir darah tercium cukup menyengat di area tersebut. Aku mempercepat laju mobilku, mendahului mobil Erwin yang berada di depanku. Dia membunyikan klakson karena mengira aku sengaja menyalipnya. Padahal tentu saja tidak. Aku hanya ingin cepat menyingkir dari bau menyebalkan yang menusuk hidingku, atau aku akan muntah jika terlalu lama menghirup aroma mual tersebut.
Erwin seharusnya mengerti itu, karena aku yakin kalau dia juga mencium aroma bau anyir. Kecuali kalau hidungnya somplak.
Barulah setelah beberapa meter, bau sialan itu tidak lagi tercium. Aku bisa bernapas dengan lega dan lebih baik. Syukurlah.
Hujan juga sudah mulai mengecil. Aku dan Erwin berpisah arah satu kilometer kemudian.
Huft, untung saja aku tidak muntah karena mencium bau aroma barusan.
Namun, bukan berarti perjalananku menuju apartemen langsung berjalan mulus tanpa hambatan. Di tengah rintik gerimis, saat mobilku melewati belokan menuju apartemen yang agak sepi, aku melihat seorang wanita berdiri di ujung jalanan remang.
Wanita yang dari perawakannya cukup kukenali. Ya, aku yakin sekali, dari jarak lima meter, mataku masih bisa melihat jelas meskipun ada sedikit titik-titik embun yang menempel di kaca bagian depan mobil.
Itu...Lidia?
Astaga! Benarkah?!
Saat cahaya lampu mobilku menerpa tubuhnya, wanita itu berjalan ke balik bangunan sebuah toko kecil yang sudah tutup. Aku memarkir mobilku tepat saat berada di depan toko tersebut. Lantas, segera turun dari mobil.
Kulangkahkan kaki dengan perlahan menuju ke balik kanan bangunan toko, tempat wanita yang mirip dengan Lidia tadi menghilang, dan...
Benar, saat itu aku melihat wanita itu berdiri di sana, dengan jarak yang cukup jauh. Tubuhnya membelakangiku.
"Lidia! Lagi ngapain di situ?!"
Astaga. Sedetik kemudian, aku menyesal atas apa yang kulakukan barusan. Kenapa bisa-bisanya aku memanggil orang itu, hanya karena dia tampak seperti Lidia?
Bisa saja, dia bukan Lidia. Atau lebih parah, bukan manusia?
Aku menelan ludah. Jangan-jangan...
DEG
Tetiba aku terkejut karena wanita di depan sana, melakukan hal yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia biasa.
Wanita itu, pasti bukan manusia. Ya, aku yakin sekali!
Mana ada manusia yang bisa memanjat dinding di sisi kedua bangunan secara selang-seling? Gerakannya cepat pula.
Eh, aku jadi ingat film superhero di televisi. Tapi, tentu saja orang itu bukan superhero. Karena dia tampak menyeramkan, sekalipun wajahhnya tak terlihat olehku.
Wanita itu, setelah tiba di bagian ujung dinding kedua bangunan, melompat ke udara dan hilang begitu saja, disertai dengan tetesan cairan yang mungkin berasal dari tubuhnya. Seperti tetes gerimis dengan ukuran agak besar.
Ini tidak beres.
Satu tetes cairan tersebut mengenai bahu kiri bajuku. Aku menoleh dan mengusap bagian tersebut.
Cairan tersebut warnanya pekat, teksturnya agak kental. Dan saat kuendus baunya...
Menjijikan sialan.