Jadi, selama ini aku sering berhalusinasi?
"Emang tadinya lu kenapa, jadi sering halu gitu?"
Erwin santai menyeruput kopi miliknya, sembari meniup-niup karena masih panas. Kami berkunjung ke sebuah kafe seusai dia mengantarku ke dokter khusus psikolog. Karena khawatir dengan masalah kejiwaan, aku pun setuju saat Erwin, Reta dan beberapa teman memaksaku untuk mengecek kesehatan mental.
Meski begitu, jidat lebar si brengsek itu tetap berkerut juga, menatap aku yang akhir-akhir ini terlihat agak aneh baginya, sering sempoyongan.
"Gua lupa cerita ke lu,"
"Apaan?"
Temanku memasang wajah siap mendengarkan. Aku berpikir sejenak sebelum menjawab, mengingat beberapa momen.
"Kayaknya, semenjak di pojokan jalan itu, pas kita ngeliat cewek setan lagi makan orang. Nah, semenjak itu. Mimpi gua juga rata-rata serem mulu."
"Gak ada ngimpi ngesex?"
Si brengsek malah terkekeh.
"Serius lah. Bener, seingat gua mulai dari sana,"
"Oke oke. Gua ngerti, tapi kenapa ya, gua gak ngalamin apa-apa? Padahal gua juga liat kan?"
"Iya emang, gua juga gak ngerti. Gak adil nih, harusnya lu juga kena,"
Kataku, mencomot pisang goreng di atas meja.
Lagian memang tidak adil, jika hanya aku yang kena mimpi buruk terus, ditambah halusinasi pula.
Lalu, apakah orang yang terus menerus mengalami mimpi buruk, maka akhirnya akan menjadi gila?
Ih amit-amit! Jangan sampai begitu lah, aku masih ingin melanjutkan hidup, walau terkadang merasa hampa.
Hampa?
Tentu saja, terkadang aku merasa begitu. Mungkin orang lain juga pernah merasakannya, bukan cuma diriku. Bagusnya aku bereinkarnasi saja di dunia lain, jadi pemburu naga misalnya. Biar hidup jadi lebih seru dan berwarna. Eh, tapi naga memangnya ada? Dia kan cuma makhluk mitos?
Hujan turun sangat deras, awan mendung sangat gelap ketika aku hendak pulang dari kantor, pukul lima sore. Cuaca seperti ini membuatku malas untuk bergerak, termasuk pulang. Pinginnya langsung tidur saja, kan enak.
"Kamu belum pulang?"
Suara seseorang berjalan di belakangku, membuatku menoleh. Reta.
"Belum. Hujan gede sih,"
Jawabku.
Dia melangkah menyejajari posisiku berdiri. Dan saat itu, seperti biasanya aku sedikit merasa canggung.
"Erwin udah duluan, ya?"
Aku mengangguk.
"Iya. Tadi pulang duluan,"
Terlintas sebuah ide di kepalaku, "Mau diantar pulang gak? Hujan gede,"
Gadis di sebelahku melebarkan matanya, sedikit salto, eh salah tingkah maksudnya. Karena kulihat gelagatnya dia ingin segera pulang, maka kutawarkan untuk mengantarnya, kasihan. Reta terlalu baik.
"Beneran? Tapi nanti ngerepotin loh..."
"Gak apa-apa, ayo. Hujan, kalau di mobil aman sampai rumah,"
Dia akhirnya mengangguk dengan wajahnya yang sedikit memerah.
"Makasih, Natan,"
Lima detik kemudian, kami berjalan di bawah payung, menuju mobilku.
"Jangan lupa pasang seat belt-nya,"
Aku mengingatkan, saat kami sudah duduk di kursi mobil. Gadis itu mengangguk.
Hujan tidak berkurang derasnya, tetapi syukurlah, jalanan tidak macet sampai yang kulewati sekarang. Sesekali Reta meringis pelan saat suara petir terdengar menggelegar dan tampilannya membentuk akar serabut di langit gelap, menjadi terang sekilas.
Dia sepertinya tipe yang tidak terlalu takut dengan petir.
Namun kurang nyaman juga, jika ada petir yang besar.
"Udah makan?"
Tanyaku. Eh buset, sedetik kemudian aku menyadari pertanyaan yang kulontarkan sedikit kocak. Mirip cowok-cowok yang sedang berbicara dengan gebetan mereka. Masa sih aku salah tingkah pada cewek di sebelahku.
Gadis itu mengangguk, "Makan siang. Ngemil pas jam tiga. Kamu?"
"Udah makan siang, tapi gak ngemil,"
Entah kenapa pula aku menyengir kecil. Mungkin menertawakan pertanyaan kocak milikku tadi.
Hawa udara semakin dingin. Sepertinya akan sangat enak jika tidur, apalagi kalau sambil memeluk cewek. Eh, hush!
Kenapa pikiranku jadi begitu?
Fokus. Aku sedang menyetir, bisa-bisanya pikiran jorok merasuk.
"Kamu tau gak soal berita yang lagi rame sekarang, soal orang yang mati dalam keadaan ngeri banget. Udah banyak korbannya?"
Tetiba Reta nyeletuk demikian. Satu detik saja, pikiranku langsung tertuju pada kejadian yang kulihat bersama Erwin di malam beberapa waktu lalu. Jadi bukan hanya aku dan Erwin yang tahu? Beritanya sudah banyak tersebar?
"Emangnya kenapa? Belum tau kok,"
Jawabku. Belum berniat menceritakan tentang malam itu.
"Ngeri, mereka mati secara brutal, kasian, pelakunya..."
Kata-kata Reta terhenti karena kakiku reflek menginjak rem secara mendadak.
"Ke-kenapa?"
Reta menoleh ke arahku, dia cukup kaget dengan mobil yang berhenti mendadak.
Tetapi, pandanganku terus menatap ke depan sana. Di pojokan jalan yang remang, dekat sebuah gang. Rasanya seperti dejavu, aku melihat hal yang sama kembali.
Seorang wanita dan pria yang tengah bercumbu panas di arah yang kutatap. Reta akhirnya mengerti dengan tingkahku. Dia ikut menatap ke arah sana. Hujan sudah mulai reda sejak lima menit lalu.
"Kita harus nolongin cowok itu, atau dia bakalan mati,"
Ujarku, setengah sadar dengan apa yang kuucap barusan.
"Kamu bener, cewek itu setan, dia bakal makan si cowok."
Aku menoleh sekilas pada Reta, sebelum fokus lagi pada pemandangan di depan.
Lihatlah, sekarang dua orang di depan sana, bercumbu semakin panas. Tetapi membuat orang yang melihat semakin tegang karena panik.
Aku merasakannya. Tapi, bagaimana kami bisa menyelamatkan lelaki itu dari jeratan si setan wanita?
Adalah Reta yang memiliki ide lebih dulu.
"Sekarang kamu majuin mobil ini pelan-pelan, kalau udah dekat banget, kamu cepetin, biar aku yang tebas lehernya."
Apa? Dia serius?
"Aku tau cara ngelawannya. Tenang aja, kamu lakuin apa yang aku bilang."
Reta meyakinkanku. Dia meraih pemukul kasti yang berada di bawah kakinya. Pemukul yang tak sengaja kuletakan sembarang di sana.
Mataku fokus ke depan. Wanita di depan sana, sedang diciumi bibirnya dengan ganas oleh si lelaki yang tak tahu bahwa orang yang sedang dia kencani adalah setan pemakan manusia. Aku tahu, di bagian ini, sebentar lagi si wanita akan melancarkan aksinya, sama seperti saat aku melihat adegan tersebut bersama Erwin.
Pelan-pelan mobil kukemudikan mendekati mereka. Reta sudah terlihat siap membuka pintu mobil di sampingnya. Namun aku sedikit cemas, apakah kami bisa melawan setan itu?
Tidak!
Aku melesatkan mobil lebih awal dari intrupsi Reta. Karena wanita setan itu menyadari kehadiran mobil dan dia menoleh.
Tanpa ampun, kulesatkan mobilku dan...
BRUAGH!!!
Terdengar suara pukulan keras. Reta begitu gesit memukulkan tongkat bola base ball pada kepala si wanita setan.
"Stop, Natan! Rem!"
Mobil mendecit dengan kencang, diiringi teriakan di belakang kami.
Reta melompat turun dari mobil, diikuti olehku di belakangnya.
Lihatlah, wanita setan itu tampak marah dan kesakitan, memandang ke arah kami. Bagian kiri kepalanya bonyok, hampir hancur oleh pukulan yang dilakukan Reta barusan. Darahnya mengalir sangat banyak. Mengerikan.
Matanya begitu tajam, kemerahan. Taring panjang mencuat keluar dari kedua sisi mulutnya, juga kuku tangannya yang berubah runcing. Pria di belakangnya terlihat sangat ketakutan melihat apa yang tengah terjadi.
DEG!
Secepat kilat wanita setan itu melaju ke arah kami.
KRAK!
Aku membuka mata yang kututup sesaat, karena aku tidak memiliki keberanian untuk melihat apa yang akan terjadi saat wanita setan itu menyerang kami. Namun kini, dengan tak kusangka, kepala makhluk mengerikan itu sudah terpisah dari tubuhnya dan terpental ke belakang. Pria yang duduk di pojokan sana histeris bukan main.
Reta yang memukul setan tersebut. Namun begitu, ternyata tubuhnya yang sempat terhuyung jatuh akibat pukulan, masih bisa bergerak.
Bisa dibayangkan bagaimana tubuh yang bergerak tanpa kepala?
Bagian atasnya berlumur darah yang berasal dari leher. Sementara kepalanya jatuh terpisah jauh.
Mataku membelalak lebar. Sedikit tak percaya dengan apa yang kulihat.
"MUSNAHLAH JALANG!"
Tangan Reta menyemprotkan sesuatu dari botol air mineral bekas yang sedari tadi dia pegangi dan entah dari mana dia mendapatkannya, ke arah si wanita setan.
Seketika tubuh tanpa kepala itu mengejang dan menyingkir dari dekat Reta.
Dia merasakan perih?
Suara desisan pun terdengar. Lalu, tubuh dan kepala yang terpisah itu perlahan tampak mengeluarkan asap merah yang semakin menebal. Dalam hitungan detik, seluruh tubuh makhluk mengerikan tersebut, hilang sama sekali, di bawah rintik gerimis. Tidak berbekas.