Mataku terbuka sedikit demi sedikit ketika terdengar bunyi bel pintu sebanyak tiga kali. Rasanya pandanganku terasa mengabur, namun perlahan aku mencoba bangkit dan berjalan untuk membuka pintu. Siapa pula yang datang malam-malam seperti ini? Perasaan aku tidak ada janji dengan siapapun hari ini dan di malam hari pula. Janji satu-satunya adalah mengunjungi keadiaman Lidia dan itu telah kulakukan tadi.
Sialan, mana kondisiku-sudah barang tentu seperti orang mabuk.
Tapi saat kubuka pintu, ternyata muncul wajah si brengsek dengan raut cemas. Dia memegang kedua pipiku dan memindai seluruh tubuhku dengan matanya. Mulutnya pun menganga.
"Apaan sih lu!?"
Sergahku, sembari menepis tangannya.
"Lu gak apa-apa? Gua dapet kabar lu hampir pingsan semalam!"
Ujar Erwin, setengah berteriak. Mulut dan matanya masih melebar. Aku mengabaikannya dan segera duduk di sofa. Erwin ikut membuntuti setelah menutup pintu apartemen.
Tanganku masih memegangi kening, merasakan sisa denyutan kecil di kepala, seraya menyandarkan punggung ke sofa.
"Malem-malem ke sini, lu ga ngantuk?"
Tanyaku.
"Malem apaan? Ini udah jam delapan pagi bego,"
Hah?
Aku menoleh kepada Erwin. Jadi aku pingsan selama berjam-jam?
"Makanya kalau minum jangan kebanyakan, jadinya lu gini,"
"Sok tau lu."
Siapa pula yang mabuk tadi malam? Aku hanya mengunjungi rumah Lidia sehabis ngantor, lalu tertimpa kesialan di jalan. Niat hati ingin pulang cepat, malah melihat sesuatu yang menjijikan. Potongan daging tubuh manusia. Huek.
"Gua mandi dulu. Gak bisa mikir gua, otak kacau."
Ujarku, seraya berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Kubiarkan Erwin menunggu di ruang tamu sambil bermain game kesayangan di ponselnya.
Aku melempar baju kerja ke keranjang pakaian kotor yang terletak di pojok kanan bak mandi. Rasanya sangat tidak nyaman ketika memakai pakaian yang sama tanpa menggantinya semalam.
Namun saat itu, aku mencium bau aneh yang berasal dari kemeja putih milikku. Bau yang memang tidak asing, namun tidak wajar jika itu berasal dari pakaianku. Bau anyir darah.
Yang benar saja, darah dari mana coba? Memangnya apa yang kulakukan?
Aku mengendus kemeja tersebut dan baunya cukup jelas ketika berada di dekat hidung.
Karena tidak nyaman, maka aku memutuskan untuk segera merendam semua pakaian kotor dengan sabun cuci.
Lalu segera mandi, sebelum aku pingsan kembali. Aku tidak suka bau anyir, karena sangat mengganggu.
Barulah usai mandi, aku memasukkannya ke dalam mesin cuci. Sial, padahal besok adalah jadwal cuci pakaiannya, bukan sekarang. Tapi bau anyir sialan yang tiba-tiba menempel di kemejaku itu, membuatku buru-buru ingin mencucinya.
"Lama banget mandinya? Lu ketiduran?"
Erwin menunjukkan wajah protesnya, karena ditinggal cukup lama. Padahal si brengsek itu, kukira cukup anteng dengan bermain game di ponsel.
"Abis cuci baju,"
Kataku. Seraya berlalu ke kamar.
"Ciee cowok rajin,"
Kuabaikan godaan si brengsek itu.
Lalu sepuluh menit kemudian, usai berdandan dan berganti busana yang lebih santai, khusus di rumah. Tidak lucu jika aku mengenakan kemeja dan celana kain kantor di dalam rumah. Itu berlebihan.
Celana kolor di atas lutut yang dipadukan dengan kaos lengan pendek adalah pakaian favoritku, bahkan ketika aku pergi ke beberapa tempat seperti tempat rekreasi. Atau, jika dibolehkan, aku juga tidak malu berpakaian seperti itu saat ngantor.
Aku menemui Erwin kembali di ruang tamu sambil menyisir rambut. Sengaja kupercikkan air dari rambut yang masih basah karena habis keramas, ke arahnya.
"Kamvret!"
Teriaknya. Lalu melemparku dengan bantal.
Selanjutnya aku duduk santai menyandarkan punggung ke sofa, dengan badan yang terasa lebih segar dari sebelum aku mandi. Lalu meraih gelas jus jeruk lima detik kemudian. Si Erwin ini memang baik dan bisa diandalkan. Lihat saja, selama aku sibuk mandi dan mencuci pakaian, dia sibuk di dapurku, menyiapkan sarapan simpel berupa roti panggang dengan selai kacang, serta jus jeruk kental. Rasanya pun cukup enak. Dia sama denganku, karena hidup jauh dari keluarga, maka kami terbiasa memasak dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri.
Lain halnya dengan para konglomerat yang bisa menyewa asisten rumah supaya tak perlu capek, kalau orang sepertiku membayar seorang asisten, itu namanya pemborosan. Maklum, gajiku standar. Dan soal mobil seharga satu milyar yang kusebut saat di klub malam kepada Erwin dulu, itu hanya gurauan. Karena harga mobilku tidak semahal itu. Tapi, hidup segini sudah cukup lah. Jika tidak, mungkin aku yang rakus, akan dengan ganas menguasai seluruh aset peninggalan almarhum Papa.
"Tadi lu bilang lu pingsan bukan karena mabok. Terus karena apa dong? Masuk angin?"
Erwin santai menyeruput kopi miliknya, sembari mencelupkan roti panggang.
Buset dah, aku tidak mungkin menceritakan soal apa yang kulihat semalam saat perjalanan. Karena kami sedang sarapan.
"Entar aja ceritanya. Abis makan."
Aku lebih memilih menghabiskan makanan, daripada harus cerita hal yang menjijikan.
"Kenapa? Sambil makan, jadi santai,"
Si brengsek itu mengambil roti kedua miliknya.
"Gak semua hal cocok diomongin sambil makan, pea."
Dia terdiam sejenak, untuk mencerna jawabanku barusan. Setelahnya mengangguk, tanda mengerti, tetapi malah beralih pada topik pembicaraan yang lain. Memang temanku yang brengsek ini, sepertinya tidak betah jika menghabiskan waktu makan tanpa mengobrol. Ada saja yang dia bahas atau tanyakan.
"Cewek yang lu senggol itu, gimana? Dia udah sehat atau gimana? Minta duit ganti rugi gak, ke elu?"
Yang dia maksud itu Lidia, si cewek cantik nan seksi yang baru saja tadi malam kujenguk, untuk memantau keadaannya.
Aku menggelengkan kepala pelan, sebagai jawaban, "Enggak minta duit. Dia cuma gua bawa berobat. Padahal lukanya lumayan ganggu kalau dia jalan, jadi agak pincang. Tapi udah mulai pulih sih,"
"Gak minta ganti rugi? Masa sih?"
Dahi Erwin terlipat menjadi seribu lipatan. Dia sepertinya terlalu banyak melihat orang-orang maruk yang kalau ditabrak jempolnya saja secara tak sengaja, lalu meminta ganti rugi besar atau ancaman pelaporan seolah orang yang tersangka adalah pelaku korupsi milyaran.
Modus sekali. Mencari kesempatan untuk memeras.
"Iya untung dia gak minta ganti rugi gede. Cuma minta dijenguk aja seminggu sekali,"
Kujawab seadanya. Dan Erwin malah melotot, lalu kemudian menyengir, sengaja meledekku.
"Waduh, malah dapet enak dong!"
Brengsek. Kulempar sepotong roti yang tersisa ke arahnya. Seperti biasa, dia selalu suudzon padaku.
"Enak, memangnya gua ngapain? Lu mikir yang kotor mulu!"
Si brengsek itu malah menyengir.
"Ya sorry, maklum, lu kan tukang gitu, ehehe,"
Sialan dia malah menyindirku. Kalau bukan teman, sudah kujitak kepalanya sedari tadi, orang brengsek ini. Seenaknya saja dia menuduh aku yang tidak-tidak, mentang-mentang temannya sering tidur dengan wanita.