Satu minggu kemudian, Lidia sembuh dan sudah bisa berjalan normal kembali. Bahkan dia sudah bisa beraktivitas keluar rumah, tidak seperti saat kakinya masih cedera.
Sesuai ucapanku, saat itu, bahwa aku ingin mengajaknya pergi refreshing ketika dia sembuh. Nah, hari ini, Minggu, tepat satu hari seusai kakinya sembuh, aku mengajaknya pergi ke restoran untuk makan bersama. Tempatnya memang tidak jauh, tidak sampai ke luar kota lah.
Hampir sepanjang hari berbincang dengan Lidia, ternyata cukup nyaman juga. Dia wanita yang pandai berbicara, membuat suasana menjadi cair dan tidak kaku.
Karena sikapnya tersebut, dia adalah tipe orang yang bisa membuat sebuah perkenalan dengan orang baru, menjadi cepat akrab. Aku bisa menilai demikian, karena aku memang pernah bertemu dengan beberapa orang yang sifatnya mirip dengan wanita itu. Dan sifat tersebut adalah hal yang menyenangkan.
Karena kami pergi seharian, maka tak hanya restoran yang kami kunjungi, melainkan juga sebuah bar. Aku tentunya tidak tahu kalau dia juga suka minum sepertiku.
Ada hal menarik yang kulihat saat dia meneguk satu gelas bir namun tetap tak mabuk, melainkan hanya wajahnya yang memerah dan dia menjadi semakin cantik.
Saat hendak keluar dari bar sekitar pukul empat sore, dia mengajakku mampir terlebih dulu ke rumahnya. Aku setuju, karena sekalian beristirahat, pada saat setengah mabuk.
"Tunggu di sini, aku ambilin air putih ya,"
Lidia tersenyum seraya beranjak menuju dapur, dan meninggalkan aku yang duduk di sofa yang empuk. Kusandarkan punggung sejenak, karena aku agak mabuk sehabis meneguk bir yang volumenya lumayan banyak. Padahal, aku sudah berniat untuk minum tidak sampai mabuk sedikitpun, sebelum datang ke bar bersama Lidia.
Tiga menit kemudian, Lidia kembali sembari membawa teko plastik dan gelas berisi air. Dia segera meletakannya di meja. Aku memperhatikannya saat dia menuangkan air untukku. Sungguh cantik, apalagi, ada rona kemerahan di pipinya.
"Silakan,"
Dia menyodorkan air tersebut sembari tersenyum dan duduk di sebelahku. Aku segera menerimanya, dengan membalas senyumannya. Kami sempat beradu tatapan beberapa saat sebelum aku meneguk air yang diberikan olehnya.
Rasanya cukup segar saat melewati kerongkongan.
"Apa kamu emang biasa datang ke bar dan tempat-tempat buat minum itu?"
Dia bertanya, saat aku sudah kembali menaruh gelas di atas meja.
Sepasang matanya menatapku dengan ramah. Aku menjawab dengan anggukan terlebih dahulu.
"Satu minggu, aku bisa minum tiap hari, tiap pulang kerja,"
Itu memang sudah menjadi kebiasaanku, dan sulit untuk ditinggalkan. Aku melakukannya tak hanya karena suka, namun juga untuk menghilangkan rasa jenuh, atau stres yang datang saat usai bekerja.
Karenanya, itu menjadi hiburan yang paling banyak kulakukan, dibanding dengan hiburan lainnya.
"Oh, begitu. Apa biasa pesen cewek-cewek di sana juga?"
Santai sekali dia bertanya demikian, tanpa rasa canggung, seakan hal tersebut telah normal baginya. Oh iya, aku lupa kalau dia tipe orang seperti apa. Terbuka pada seseorang yang sudah mulai akrab.
Aku menatapnya sejenak, sebelum menjawab. Tapi, senyumnya lebih dulu berkembang sebelum mulutku bergerak dan terbuka.
"Ahaha, gak usah malu. Aku udah biasa kok sama temen-temen yang kayak gitu. Jadi, kamu gak usah malu,"
Ujarnya, seraya mengibaskan tangan. Tawanya terdengar renyah juga santai.
Kulihat wajahnya yang cantik semakin memerah. Aku ikut tersenyum.
"Begitu. Iya emang sering juga sih," Aku mengakui.
Tapi tidak malu karena sudah mulai mengenal sifat Lidia yang terbuka.
"Hmm, kalau gitu, kamu mau coba sama aku? Anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena kamu udah tanggung jawab dan ngajak aku liburan hari ini?"
Astaga. Seketika jantungku berdegup kencang saat kata-kata barusan meluncur dari mulutnya.
Anjir! Beneran nih, dia bilang begitu?
Atau aku sedang menghalu biru gegara mabok bir kamvret di bar tadi, atau karena wanita di depanku terlalu cantik dan menggoda?
Tapi, aku sepertinya sedang tidak bermimpi. Karena aku bisa merasakan sentuhan tangan wanita di sebelahku yang begitu halus, merayap pada tengkukku.
Aku menoleh pada dia yang tersenyum menggoda.
Lalu, wajahnya pun mulai mendekat, membuatku bisa merasakan aroma napasnya perlahan.
Aku masih terdiam, belum yakin untuk menjawab.
Hei, bahkan tidak biasanya aku gugup di hadapan wanita pada saat momen seperti ini. Biasanya, aku langsung tancap gas ketika wanita mulai mencoba menggodaku untuk mengajakku pada hal yang menjurus ke arah sex. Karena aku memang salah satu pecandunya.
Namun kali ini, aku merasa gugup di hadapan Lidia.
"Atau kamu butuh sesuatu buat nambah stamina?"
Wanita di sampingku kembali bertanya pada aku yang masih terdiam. Kali ini tangannya meremas seluruh area leherku. Suaranya terdengar semakin lembut.
Astaga, dia benar-benar berhasil membangkitkan gairahku sekarang. Sesuatu di dalam diriku mulai menggelora.
"Kamu yakin?"
Tanyaku. Seraya ikut mendekati wajah cantik Lidia yang terlihat semakin memerah, namun begitu berani. Mataku menatap sepasang matanya yang hitam.
Wanita itu mengangguk sembari terus tersenyum.
Bahkan senyumannya semakin menggodaku.
Baiklah, karena dia mengajak, jadi aku tidak akan menolak.
Parlahan, aku mulai dengan melumat bibirnya yang ranum kemerahan tanpa polesan lipstik.
Lalu mendorong tubuhnya hingga jatuh ke sofa yang cukup besar tersebut. Lidahku terus bermain di dalam mulutnya. Lidia berusaha mengimbangi permainan yang mulai kubuat ganas ini.
Ternyata dia wanita yang pandai dalam urusan seperti ini, seperti sudah berpengalaman, namun masih kalah denganku. Karena aku lebih hebat dalam mendominasi. Kubuat dia mengerang berkali-kali karena seranganku.
Untuk bagian leher, dada, perut. Suaranya terdengar sangat menggoda, membuat gairahku semakin meningkat. Hingga beberapa saat kemudian, aku berhasil melucuti seluruh pakaiannya, lalu membelah bagian paling sensitif miliknya.
Rasanya luar biasa, sedikit berbeda sensasinya dengan wanita yang biasa kubayar.
Kedua tanganku mencengkram permukaan sofa dengan kuat, menahan sensasi luar biasa yang menyerang, sebelum beberapa saat kemudian, sesuatu meledak di dalam sana.
Beberapa saat kemudian
Aku dan Lidia masih terbaring di atas sofa, seusai hampir setengah jam permainan yang dahsyat dan seru.
"Makasih, Lidia,"
Ujarku. Tersenyum pada wanita itu, yang berada di bawah tubuhku. Dia balas mengangguk.
Keringat di tubuhku mengucur cukup banyak, juga tubuhnya. Tadi adalah permainan yang luar biasa, tetapi aku harus segera mandi, karena hari sudah semakin sore dan langit menggelap.
"Mau mandi bareng?"
Tanya Lidia. Membuat ku tertegun lagi.
Esok hari
Pukul enam pagi, aku terbangun dari tidur. Cepat-cepat aku berlari menuju kamar mandi, ketika ingat bahwa ini adalah hari Senin. Jangan sampai terlambat untuk ngantor atau aku akan ketahuan oleh atasan.
Tetapi, entah hanya perasaanku atau bukan, ketika di dalam toilet aku merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Rasanya agak lesu. Sepertinya aku sedang kurang enak badan, karena saat sarapan, rasa makanan menjadi agak hambar. Karena masih berniat tetap untuk ngantor, lantas aku meminum vitamin seusai sarapan, sebelum akhirnya berangkat meski dalam keadaan kurang semangat dikarenakan kondisi tubuhku yang mendadak berubah. Padahal kemarin aku baik-baik saja, segar bugar meski seharian pergi bersama Lidia.
Atau mungkin ini efek setelah aku terlalu asyik pergi hari itu.
Aku tiba di kantor dengan lebih cepat. Karena merasa kurang enak badan, aku langsung duduk saja di meja kerjaku, daripada berbaur dengan rekan kerjaku yang lain yang tampak lebih bersemangat dibanding diriku hari ini.
Namun, lima menit berdiam sembari iseng membuka komputer, aku merasa ingin pergi ke toilet.
BRUK!
Tubuhku terhuyung jatuh hilang kendali dan menimpa seseorang saat tiba di belokan ruangan menuju toilet. Untung kedua tanganku sigap menahan tubuh ini supaya tidak menimpa keseluruhan orang yang kutabrak.
"Na-Natan! Kamu gak apa-apa?!"
Aku mendongak.
Itu Reta. Wajahnya yang setengah terkejut, tampak memerah, namun juga cemas melihatku.
"Reta...kepalaku pusing...apa mungkin...aku hamil...?"
Wanita di depanku semakin terbelalak kaget. Mulutnya sampai mangap lebar, mungkin jika ada sepatu melayang yang lewat, pasti tersedot ke dalamnya. Saking lebarnya.
Sungguh kepalaku terasa berdenyut saat itu. Pandanganku pun mengabur perlahan. Wajah Reta sudah tak terlihat jelas. Saat itu juga tubuhku terasa sangat ringan.