Chereads / Setan Pemakan Manusia / Chapter 5 - Lidia

Chapter 5 - Lidia

Aku mengantar wanita yang tadi tak sengaja terluka karena mobilku itu, ke rumahnya, seusai keluar dari klinik. Kulihat kakinya masih terasa sakit, saat kupapah pun, dia masih meringis sesekali.

"Hati-hati,"

Kataku, sambil membantunya duduk di sofa.

"Terima kasih,"

Aku duduk di sampingnya.

"Maaf, gara-gara saya kamu jadi begini,"

Sungguh aku menyesal membuat orang lain celaka, apalagi dia juga adalah orang yang tinggal sendiri sepertiku, jauh dari keluarga.

"Aku tau kok, mana ada orang yang mau nyelakain orang dengan sengaja tiba-tiba,"

Jawabnya, seraya tersenyum.

Dia wanita yang sungguh cantik. Memiliki rambut lurus-hitam, kulit putih dan mata ysng sipit.

"Oh iya, siapa nama kamu? Kita belum saling tau nama, kan? Aku Lidia,"

Wanita itu mengulurkan tangannya. Aku membalasnya, "Natan,"

"Baik, berarti sekarang kamu panggil aku Lidia, gak usah panggil mbak,"

Tambahnya, masih mengembangkan senyuman yang menawan dari sepasang bibir tipisnya.

Wanita di depanku sekarang ini, sungguh menggoda penampilannya. Lihatlah, dia mengenakan mini dress terbuka yang tingginya jauh di atas lutut, berwarna krim, cocok dengan warna kulitnya.

Andai kata aku pria nakal, bisa saja aku sudah memangsanya. Karena walaupun aku bajingan dan tukang tidur dengan banyak wanita, tetapi memperkosa adalah hal yang tidak pernah aku lakukan. Itu tidak adil, pemaksaan namanya.

"Lidia...aku bingung, kalau kamu lagi luka begini dan kamu tinggal sendirian, nanti gimana aktivitas sehari-hari kamu? Masak, cuci baju?"

Itu adalah murni kekhawatiran atas rasa bersalahku. Lihatlah, sekarang kakinya masih belum pulih, mungkin perlu beberapa hari untuk itu.

"Sepertinya bisa, kamu tenang aja. Aku bisa sewa orang buat bantu-bantu di rumah,"

Jawabnya.

"Orang? Emang gak apa-apa, begitu?"

Dia mengangguk, "Iya, gak apa-apa, untuk beberapa hari. Tapi, kayaknya gak bakal perlu, aku bisa pulih cepat,"

"Kok bisa begitu?"

Dia tersenyum lagi, "Aku punya obat mujarab untuk luka kecelakaan, resep dari leluhur,"

"Hah?"

Aku tidak begitu paham dengan obat yang dia maksud, juga tidak begitu yakin. Sebaliknya, Lidia justru mengibaskan tangannya, seraya tertawa renyah.

"Sudahlah, kamu tidak perlu khawatir. Aku bakal baik-baik aja kok, tenang. Dan aku punya ide, sebagai rasa tanggung jawabmu, kalau kamu masih merasa bersalah, kamu bisa mengunjungiku atau bertanya tentang kondisiku. Bagaimana?"

Eh, seriusan dia bilang begitu?

Tiba-tiba aku merasa ada perasaan janggal yang datang, saat ucapan itu meluncur dari mulutnya.

"Iya, aku setuju," Aku mengangguk. Lidia tersenyum lagi.

"Terima kasih mau memperhatikanku,"

Katanya.

Akhirnya, sebelum pamit pulang, aku dan Lidia bertukar nomor ponsel satu sama lain. Benar kata dia, sebagai rasa tanggung jawabku karena telah mencelakainya walau itu tentu saja kulakukan tanpa sengaja, juga, lumayan dapat kenalan cewek secantik dan seseksi Lidia.

Saat masuk kantor

Pagi ini, aku menguap berkali-kali, mulai dari berangkat kerja. Mataku terasa berat, namun apalah daya, ini masih hari kerja, dua hari lagi, barulah aku bisa libur dan tidur di rumah sepuasnya. Biasanya, walau pergi ke klub malam dan kelayapan ke manapun, aku tidak akan se-ngantuk ini, meski besoknya harus ngantor. Namun, karena semalam aku membuat kesalahan dengan mencelakai orang, jadilah aku pulang sangat telat dan hanya tidur sangat sebentar.

Beruntungnya orang yang kutabrak itu baik, tidak minta ganti rugi besar atau melaporkanku pada pihak berwajib.

Teman-teman kantor yang menyapaku pun bilang, bahwa wajahku sangat terlihat lelah. Tak apalah, pagi ini aku akan memesan segelas besar kopi untuk solusi rasa kantuk yang menyerang.

"Buset gila lu! Ngopi banyak bener!"

Hampir saja aku menumpahkan gelas kopi yang sedang kuteguk, karena tiba-tiba si cowok brengsek datang dan menepuk pundakku.

"Kamvret!"

Dia malah tertawa. Puas telah membuatku kaget.

Aku mengambil tisu yang tersedia di atas meja untuk membersihkan sedikit cipratan kopi di area mulut.

"Tumben lu keliatan ngantuk banget? Jajan lagi semalem?"

Tanya Erwin, suudzon seperti biasa. Aku menggeleng, "Enggak, gua abis nabrak cewek seksi,"

Kujawab seadanya dan si Erwin yang reaksinya sudah kuduga, seketika melebarkan mata.

"Nabrak cewek seksi? Sampe mati gak?"

"Ya enggak lah. Kalau mati, gua pasti udah ada di balik jeruji besi sekarang. Gua bawa berobat dia ke klinik,"

"Terus terus?"

"Enggak ada terusannya. Lu kayak tukang parkir depan kantor."

"Halo, pagi,"

Suara Reta yang baru datang, terdengar menyapa aku dan Erwin. Dia tersenyum, aku membalasnya dengan lambaian tangan.

Gadis itu segera berlalu ke ruang kerjanya, sebelum lima menit kemudian, jam kerja sudah dimulai.

Minggu ini, aku akan mengunjungi rumah almarhum Papa, untuk menemui ibu dan adik tiriku.

Karena semenjak Papa pergi, aku harus menjalani wasiatnya sebelum meninggal. Aku harus ikut andil mengurus usaha milik Papa, meski ibu tiriku sudah pandai mengelolanya. Sepertinya dia sudah belajar banyak sejak masih bersama Papa.

Sikap ibu dan adik tiriku pun tidak seburuk yang selalu kulihat selama sebelum aku keluar dari rumah. Sekarang, mereka mau berubah dan berdamai denganku, demi wasiat Papa dan keutuhan keluarga. Andai jika aku egois, aku enggan bekerja sama dan berhubungan dengan mereka.

Karena sejak pertama kali Papa membawa ibu tiriku ke rumah, aku tidak pernah setuju.

Lain halnya dengan kondisi sekarang, aku mulai bisa menerima mereka.

Oh iya, sudah dua hari berlalu sejak aku tak sengaja menabrak Lidia. Hari ini aku izin mengunjunginya untuk melihat sendiri bagaimana keadaannya.

Hari Jumat malam Sabtu, aku pergi ke rumahnya yang terletak di dekat alun-alun kota.

Ketika mobilku tiba, rumah bergaya klasik Mediterania itu terlihat sepi di sekitarnya.

Apalagi bagian dalam, yang sudah barang tentu takkan ramai karena penghuninya hanya tinggal seorang diri. Entah sekarang Lidia menyewa asisten rumah atau tidak, karena aku tidak sempat terpikir untuk menanyakan hal tersebut.

Kutekan klakson dua kali dan beberapa saat kemudian, si empunya rumah terlihat keluar dari ambang pintu. Kulihat cara berjalannya masih agak kesulitan. Aku segera turun dari mobil saat Lidia membuka pintu gerbang. Biar aku saja yang mendorong gerbang besar itu, kasihan karena dia sedang terluka.

Lidia tersenyum menyuruhku segera masuk saat aku telah usai memarkir mobil kesayanganku yang dibeli sepuluh tahun yang lalu. Dia terlihat sama seperti malam itu, begitu cantik, seksi dan menawan. Dan sekarang dia hanya mengenakan hot pants warna hitamyang dipadukan dengan tank top warna merah gelap.

Lelaki normal manapun, pasti akan melirik jika melihatnya.

Dia membuatkanku jus mangga meski aku telah menolaknya, karena itu hanya menambah kerepotannya, di saat kakinya belum benar-benar sembuh. Bahkan aku tidak tega melihat cara dia berjalan. Agak terpincang-pincang.

"Silakan, mumpung masih seger,"

Ucapnya. Gerakan tangannya terlihat anggun. Apa Lidia memang selalu seperti itu?

"Makasih,"

Segera kuraih gelas tersebut dan meneguk isinya yang memang sangat segar di kerongkongan.

Namun, tiba-tiba, aku hampir menjatuhkan gelas itu, karena aku terkejut disebab mataku melihat sebuah bayangan menakutkan di balik salah satu jendela ruangan itu.