Chereads / Setan Pemakan Manusia / Chapter 4 - wanita di ujung jalan

Chapter 4 - wanita di ujung jalan

Hari ini, aku terpaksa harus pulang ke rumah Papa. Memang bukan keinginanku, tapi untuk kepentingan keluarga. Setidaknya, itulah yang dikatakan oleh Papa, saat meneleponku tadi malam pukul dua belas, saat aku sedang terlelap. Dia tidak menyebutkan secara detail, apa kepentingan keluarga yang dia maksud. Dia hanya memintaku untuk wajib datang. Bahkan ketika aku bilang tidak, dia memaksaku. Akhirnya, aku mengalah. Tidak lagi membantah orang tua itu.

Sepulang dari kantor, aku langsung memacu mobil menuju rumah orang tuaku yang sebenarnya enggan untuk kudatangi. Karena, selain muak dengan Papa, juga karena di dalam rumah itu, terdapat banyak kenangan menyedihkan. Dan karena permintaan Papaku pula, aku jadi tidak bisa lembur hari ini. Padahal, pekerjaanku masih tersisa. Terpaksa harus kuselesaikan saat pulang nanti jika masih sempat, atau keesokan hari.

Rumah itu berada di komplek elit, karena Papa memang suka tinggal di lingkungan seperti itu. Jaraknya sekitar dua jam berkendara dengan mobil dari arah kantor tempatku bekerja. Dan akan menjadi sangat lama tiba jika kemacetan menghadang.

Ketika mobilku tiba di depan halaman rumah, seorang pria bergegas membukakan pintu gerbang. Pria yang tidak asing, yang sudah kukenal sejak aku masih belum masuk sekolah dasar dulu.

Pak Kirman, salah seorang asisten rumah itu, dia bahkan sudah berdiri di depan pintu mobilku, sebelum aku turun. Kami berpelukan. Beliau menepuk bahuku.

"Kamu sehat? Jarang banget pulang ya sekarang,"

Beliau tersenyum. Wajahnya, terlihat masih sama seperti dulu, saat usiaku belasan tahun. Selalu ramah dan antusias.

"Biasalah, Pak. Saya kerja,"

Aku segera masuk rumah dan disapa oleh asisten perempuan lainnya.

Aku duduk menunggu di ruang tamu, seraya memperhatikan sekitar ruangan sejenak, namun dua menit kemudian, muncul istri kedua Papa, yang adalah ibu tiriku. Dia hanya menatap datar dan memintaku untuk menemui ayah di kamar. Dalam hati, aku bertanya, tumben sekali Papa ingin ditemui di kamar. Karena biasanya kami mengobrol di ruang tamu atau halaman belakang rumah, setiap kali dia memintaku untuk datang ke rumah.

Namun, tanpa banyak bicara, aku mengikuti langkah ibu tiriku ke arah tempat kamar Papa berada. Wanita itu membuka pintu. Pemandangan di dalam kamar membuatku tertegun sejenak, sebelum masuk melangkahi ambang pintu. Bukan karena interiornya yang bagus, namun karena aku melihat sosok yang tengah terbaring dengan wajah pucat, di atas ranjang itu.

Papa. Aku melangkah perlahan, mendekatinya. Kedua matanya, terus menatapku, sejak pintu kamar dibuka. Bibir pria itu terlihat lebih memutih.

Tangannya bergerak menepuk sisi tempat tidur, isyarat agar aku duduk di sana. Aku menuruti permintaannya, duduk di sampingnya, namun belum mengucapkan sepatah kata pun.

Karena sesungguhnya, saat ini aku sedang bingung. Atau juga, terkejut. Karena aku tidak tahu bahwa pria itu tengah berada dalam kondisi kurang sehat.

Selama aku telah keluar dari rumah, aku tidak terlalu memikirkan Papa, apalagi mengkhawatirkan keadaannya. Karena yang tertanam di dalam hatiku adalah kebencian terhadapnya setelah dia menikah lagi dengan wanita lain. Aku tidak ingin tahu kabarnya.

Namun sekarang, rasanya seperti ada sesuatu yang memukul dadaku dan sedikit terasa sesak, melihat pemandangan di depan mataku saat ini.

Dia terbaring sakit dan aku tidak tahu.

"Natan,"

Panggilnya. Suara itu terdengar berbeda, pelan tidak seperti biasanya jika dia memanggilku ke rumah ini, lantas kami berbicara berdua. Dan saat itu, pembicaraan kami selalu seperti orang hendak berdebat.

Kami memang tidak lagi bisa akrab saat aku sudah keluar dari rumah.

Aku menatap wajah pucatnya, masih dengan mulut terbungkam. Karena aku sendiri belum tahu, apa yang harus kukatakan.

"Papa tau, kamu benci sama Papa. Tapi, tolong denger, ini pesan dari Papa,"

DEG

Tetiba rasa cemas menggelung di rongga dada ini. Apa yang akan terjadi?

Hanya dengan kalimat barusan saja, kepalaku langsung tertuju pada pikiran buruk. Hatiku langsung mencelos, disergap rasa khawatir yang mendadak datang.

Sekarang pria itu meraih satu tanganku, berusaha menggenggam dengan jemarinya yang terasa lemah juga dingin.

Matanya tak lepas dari menatap padaku.

Membuat lidahku semakin terasa kaku, mulutku seolah terkunci, tak bisa bersuara. Perasaan semacam apa ini?

"Natan, kamu akan mewarisi sebagian besar harta milik Papa. Juga Ibu dan adik tirimu, Papa titip mereka, tolong jaga mereka. Papa gak bisa minta tolong sama orang lain soal ini, selain kamu,"

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ya atau tidak, yang tidak mungkin kukatakan sebagai jawaban. Terlalu menyakitkan jika aku menolak permintaan darinya, jika hari ini dia akan pergi selamanya. Terjadi keheningan beberapa saat.

Sementara di sampingku, ibu tiriku sudah terisak. Dia tidak sanggup membendung tangisannya lagi.

Sedangkan aku semakin kaku.

"Maafkan sikap Papa selama ini, Nak. Papa sayang kamu, sungguh,"

Seulas senyum terbit dari bibirnya. Tetapi saat itu, air mataku justru meluruh .

Menatap Papa yang mulai terdiam, matanya berpaling dariku, tertuju pada langit-langit ruangan. Terlihat kepalanya sedikit bergerak ke atas. Aku tahu...apa yang akan terjadi.

Kugenggam tangannya erat, di samping ibu tiriku yang menangis semakin tersedu-sedu.

Beberapa saat kemudian, Papa benar-benar terdiam, seluruhnya. Suara, napasnya, dan detak jantungnya, telah lenyap. Tubuhnya menjadi kaku saat kuguncang pelan, juga suhunya mulai mendingin.

Dia telah pergi.

Aku benar-benar sudah tidak lagi memiliki orang tua kandung.

Hari itu, aku menyaksikan kepergian ayah dan mengantarnya menuju tempat peristirahatan terakhir, bersama beberapa anggota keluarga lain dan saudara.

Juga, bersama rasa bersalah yang mencengkeram diri ini.

Pukul sepuluh

Satu minggu berlalu

Aku pulang dari klub malam lebih awal, karena besok bukan hari libur.

Akhir-akhir ini, aku lebih sering minum dan kelayapan dari biasanya, seusai pulang ngantor. Alasannya, karena perasaanku sedang kurang baik beberapa hari terakhir. Ada perasaan sialan yang tiba-tiba mengaduk batin ini. Rasa sedih.

Namun, saat ini aku harus tetap fokus menyetir hingga mobil tiba di apartemen. Mataku juga sudah mulai terasa berat, belum lagi pengaruh alkohol yang meskipun aku masih memiliki kesadaran yang cukup baik.

Tetiba, saat mobil berbelok melewati persimpangan, dari arah samping kiriku-entah ini hanya tipuan cahaya atau bukan-sebuah bayangan merah melintas ke arah depan dan menghilang dengan cepat. Aku kehilangan fokus karena menoleh pada hal aneh tersebut.

"Argh!"

Mobilku berdecit karena aku menginjak rem secara mendadak, hingga dia berhenti. Bukan apa-apa, karena aku hampir menabrak seseorang di depan.

Tubuhku tertahan sabuk pengaman. Beberapa detik kemudian, segera aku melangkah turun dari mobil. Memeriksa orang barusan.

Dia terjatuh karena ulahku.

"Maaf, Mbak, maafin saya. Saya gak sengaja,"

Sayang sekali, lututnya lecet dan mengeluarkan darah. Dia mendongakkan wajah ke arahku.

"Iya, saya tau kamu gak sengaja, gak apa-apa, saya maafin,"

Ujarnya, sambil meringis. Tetapi aku ingat pernah melihat wajahnya beberapa waktu lalu. Wanita itu, yang juga tak sengaja kutabrak di lobi apartemen hingga barang bawaannya terjatuh.

"Izin bawa Mbak ke rumah sakit ya, buat diobatin,"

Kataku. Dia tidak menjawab, namun juga tidak menolak saat aku membantunya berdiri dan memapahnya, lalu membawanya masuk ke mobil, untuk pergi ke rumah sakit terdekat.