Wajah wanita itu terlihat mengerikan. Memang cantik, tetapi wajahnya sangat seram. Matanya melotot lebar, serta mulut yang ditumbuhi dua taring panjang yang tampak tajam. Entah mengapa, bukannya berlari, aku malah diam berdiri seolah membatu di depan dia yang sedang lahap menyantap tubuh seorang bayi. Sesungguhnya aku sudah sangat gemetar, namun anehnya, kakiku tak bisa digerakan. Tubuhku terasa kaku.
Bahkan suaraku seolah tersumbat, tak mampu bercicit sedikitpun. Lihatlah, si wanita mengerikan itu, yang sekarang telah melahap habis santapan malamnya, menoleh padaku. Matanya berkilat. Perlahan, dia mulai melangkah mendekatiku.
Tidak!
Aku harus bagaimana?
Tidak adakah yang bisa menolongku saat ini?
Sekarang dia mencekal leherku dengan tangannya yang dingin dan berkuku panjang runcing. Lalu...
Sial! Aku tidak bisa bernapas!
Dia mencekikku.
"Aaaaaaaaaagggghhhh!"
"Natan! Bangun!"
Terdengar suara seseorang, bersamaan dengan tepukan di pundakku berkali-kali. Aku membuka mata dan mendongakkan wajah. Kulihat Erwin berdiri di sampingku dengan wajah bingung.
Aku bermimpi?
Kukucek kedua mataku untuk melihat lebih jelas, lalu memandang berkeliling.
"Lu mimpi jelek?"
Tanya Erwin. Banyak karyawan lain yang juga melihat ke arahku. Sepertinya ini karena suara teriakanku barusan, yang cukup berisik. Tetapi aku senang karena merasa lega, bahwa yang kualami tadi hanya mimpi semata.
Rupanya aku tertidur di saat jam makan siang.
"Udah jam masuk bentar lagi. Lu gak bakal sempet makan siang, sini gua beliin roti atau apalah,"
Seperti biasa, Erwin selalu perhatian. Aku mengucek mata, menguap sambil mengangguk pelan. Tetapi, di depan kami, muncul Reta, teman sekantor yang baik dan ramah.
Gadis yang usianya lima tahun di bawahku itu, aku tahu dari beberapa teman kantor lain, bahwa dia naksir denganku sejak satu tahun lalu. Namun, hingga saat ini aku tidak pernah mempertanyakan itu atau dia pun, tidak pernah mengungkapkannya.
Dia tersenyum menghampiri.
"Halo. Tadi kata temen-temen kamu teriak-teriak ya? Kenapa?"
Tanyanya. Itu pertanyaan untukku, meski wajah ramahnya menatap padaku dan Erwin.
"Mimpi buruk dia. Mimpi digigit kucing,"
Erwin yang menjawab sambil menyengir. Dia memang bisa lebih akrab dengan Reta, berbeda dengan aku yang lebih agak kaku padanya.
Mungkin karena aku dan dia sudah tahu bahwa dia menyukaiku. Lagipula, dia itu perempuan yang terlalu baik. Antara risih dan segan, aku tidak pernah berusaha mendekatinya.
"Diseruduk kambing."
Aku menambahkan. Gadis di depan kami tersenyum lagi. Dia lalu menyodorkan sebuah bungkusan plastik warna hijau.
"Katanya kamu ketiduran kan? Pasti belum sempat makan siang. Ini aku ada makanan yang enggak habis. Tadi beli kebanyakan,"
Erwin mulai menyebalkan saat itu.
"Aseek ditraktir! Ambil cepetan! Dia perhatian loh,"
Sambil menyikut bahuku.
Aku balas menyikutnya. Dan segera mengambil apa yang diberikan oleh Reta. Jika pun kutolak, itu tidak enak. Lagipula lumayan untuk mengganjal perutku yang tidak sempat keluar kantor untuk makan siang karena ketiduran.
"Makasih ya,"
Ujarku. Gadis itu mengangguk dan segera pamit ke ruangan kerjanya, waktu istirahat siang tersisa sepuluh menit. Aku segera membuka bungkusan yang diberikan Reta. Isinya adalah burger isi ayam goreng serta minuman bersoda. Karena ukurannya besar, maka, cowok brengsek di sebelahku pun, dengan senang hati ikut berpartisipasi menghabiskan. Dasar, teman celamitan.
Aku tidak berniat untuk langsung pulang seusai jam kerja. Seperti biasa, aku akan pergi kelayapan ke mana pun, misal ke bar dan klub malam, tempat hiburan paling banyak kukunjungi selama ini.
Sekalipun hari ini aku sedang lembur. Lagipula, aku lembur hanya sampai pukul enam sore.
Tepat pukul enam, aku dan beberapa orang karyawan lain yang ikut lembur, bersiap untuk keluar. Kusapa mereka, bilang aku duluan.
Kantor besar ini sudah sepi di jam seperti ini, karena sebagian besar pekerjanya sudah keluar. Kecuali beberapa orang yang mengambil lembur karena pekerjaan belum usai. Aku adalah salah satunya. Dalam satu minggu, aku bisa mengambil lembur hingga tiga kali. Itu karena pekerjaanku yang sering menumpuk, daripada ditunda dan diselesaikan di rumah atau esok hari, lebih baik kuselesaikan hari itu juga.
Tujuannya adalah agar aku bisa istirahat, bebas dari kantor dengan tenang.
Aku masuk lift untuk turun ke lantai dasar. Hanya beberapa detik, aku segera melangkah cepat. Namun saat itulah, samar-samar aku mendengar sesuatu yang agak aneh. Tepat di belakangku, arah yang berlawanan tempat aku hendak melangkah keluar.
Langkahku segera kuhentikan dan berbalik untuk memeriksa. Itu suara seseorang. Eh tidak, dua orang. Yang satunya terdengar ketakutan. Ternyata mereka ada di belokan ruangan, mojok di antara dinding dan sebuah pot bunga besar. Agak tidak kelihatan karena area itu tampak remang. Tapi aku bisa melihat dengan jelas. Dua orang yang sedang beradegan ala pasangan baru. Namun aku tahu bahwa salah satunya enggan melakukan itu. Karena yang kulihat sekarang adalah Reta bersama seorang pria yang kukenal yang juga bekerja di sini.
Reta tampak ketakutan, saat pria itu menghimpit tubuhnya di dinding.
"Aku mau pulang!"
Dia hampir menangis. Tetapi sepertinya si pria tidak peduli.
Aku melangkah tepat di belakang si pria yang terus memaksa. Lalu berdehem satu kali.
Pria itu menoleh, juga Reta. Dia menatapku dengan mata yang sudah basah.
"Lu bukan pacar atau siapanya dia kan?"
Aku menunjuk pada Reta.
"Kalau ketahuan atasan atau orang laen di kantor ini, karir lu di sini bisa tamat."
Aku melangkah mendekati mereka. Sementara pria itu sekarang berbalik menghadapku.
"Ini bukan urusan lu juga kan? Reta bukan siapa-siapa lu juga kan? Kenapa lu gak urus aja urusan lu sendiri?"
Ujarnya. Dengan nada lebih tajam. Tetapi aku tetap santai.
"Bro, saran gua sih ya, kalau emang lu udah kelewat sange atau pengen maen ranjang, mending keluarin duit, cari cewek yang mau tidur sama lu. Bukan maksa anak orang kayak begitu,"
Dia yang tampaknya tidak terima dengan ucapan yang sebenarnya kuniatkan untuk menasihati barusan, sekarang malah melangkah cepat mendekatiku, lalu mencekal keras kerah kemeja kerjaku yang harganya tiga ratus lima puluh ribu, dan kubeli di Pasar Tanah Abang satu bulan lalu.
Di belakang sana, Reta semakin ketakutan, karena melihat dua orang yang hendak bergulat. Dan benar saja, hampir menit usai mencengkeram kerah kemejaku, pria itu melayangkan kepal tinju ke arah wajahku. Untung saja, dengan sigap kutepis bogem mentah yang lima senti lagi hampir mengenai wajah kerenku ini. Bisa rusak. Sebaliknya, kudorong tubuhnya dengan kasar menggunakan kaki.
BRUGH
Dia terbanting jatuh dan segera kucekal lehernya.
Terdengar Reta memekik kaget.
Pria itu masih menggunakan tangannya untuk melawan, namun aku menaikkan satu kaki ke atas dadanya dan kukencangkan cekalan tanganku pada lehernya. Bahkan hampir mencekiknya. Membuat dia kesulitan bernapas.
Aku menatapnya dengan tajam, dari atas tubuhnya. Lalu mendekati telinganya dan berbisik.
"Kalau lu berani ganggu dia lagi, atau gua denger kabar lu jail ke dia barang sedikit aja, bukan cuma karir lu yang tamat, tapi juga, hidup lu,"
Dia akhirnya diam. Sepertinya gentar dengan kalimat tajamku yang kukatakan tanpa main-main. Perlahan kulepas cekalan tanganku dan menurunkan kaki dari atas dadanya. Dia terbatuk sambil memegangi lehernya. Kutinggalkan dia dan segera melangkah mendekati Reta yang terduduk di lantai, dengan ketakutan. Wajahnya sudah basah oleh keringat dan air mata.
"Ayo pulang,"
Kuraih satu tangannya, dan membantunya berdiri perlahan. Seluruh tubuhnya gemetaran.
Sekalian saja, kuantar dia pulang dengan mobilku. Kasihan, cewek selemah Reta, pulang malam-malam. Meski mungkin dia tak selemah perkiraanku sekarang.
"Pakek ini,"
Aku menyodorkan satu kotak tisu dari dalam tas pada gadis di sebelahku, yang sedang berusaha menenangkan diri, akibat kejadian tadi.
Reta menerimanya dan bilang terima kasih pelan. Lalu mengusap wajahnya yang berkeringat dan sisa air mata di sana. Keadaannya sudah agak membaik, dia tampak sudah tidak gemetaran lagi.
"Kalau dia ganggu lagi, bilang aja, ya. Jangan takut. Demi keselamatan sendiri, harus berani lapor ke siapapun."
Ujarku, menoleh padanya sekilas. Dia mengangguk pelan.
Kasihan sekali, Reta adalah orang yang baik. Dia orang yang sederhana, ramah dan terkenal suka membantu banyak orang. Mungkin dia masuk kategori idaman bagi banyak pria.
Tetapi aku tidak berani untuk mengatakan apapun. Bukan karena dia tidak masuk tipeku, namun karena aku sadar diri dengan kelakuanku.
Dua puluh menit kemudian, mobilku telah tiba di depan gerbang rumah gadis yang sedang kuantar pulang.
Reta menoleh padaku, seusai melepas safety belt.
"Makasih, Natan, udah nolong aku dan nganter aku pulang,"
Ujarnya pelan. Aku mengangguk.
"Iya. Lain kali, hati-hati ya,"
Dia tersenyum, "Aku masuk dulu,"
"Oke,"
Tangannya membuka pintu mobil dan melambai sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah.
Mataku masih menatap hingga dia benar-benar hilang di balik pintu.
Setelah sedikit melamun, barulah aku meninggalkan tempat itu. Mungkin sekarang aku akan langsung pulang dan beristirahat saja. Niat pergi ke klub aku batalkan, lebih baik tidur di rumah.