Samar-samar terdengar suara orang memukul-mukul sesuatu sambil berteriak. Aku membuka mata perlahan. Kepalaku terasa agak pusing, juga rasa nyeri terasa di bagian bahu kanan.
"Mas, Mbak, kalian gak apa-apa?! Buka pintunya! Kalian kecelakaan!"
Terlihat seorang pria berteriak sambil melongok ke dalam mobil yang masih tertutup. Ada sekitar sepuluh orang di luar sana, yang mengerubungi mobil ini. Erwin juga sudah bangun. Perlahan dia membuka mata.
Aku baru ingat, bahwa beberapa jam yang lalu kami hampir menabrak sebuah bus. Entah sekarang jam berapa, karena langit masih terlihat gelap.
Erwin, dia baik-baik saja. Aku lega karena ternyata kami masih hidup. Padahal, tadi aku sudah pasrah jika kami berdua mati sekarang.
Erwin membuka pintu mobil perlahan. Orang-orang di luar langsung membantu kami dan membawa ke rumah sakit terdekat.
Untunglah, baik aku maupun Erwin, masih sehat wal'afiat, tidak kurang suatu apapun. Kami hanya mengalami beberapa lecet di bagian tangan dan kaki. Erwin berhasil menghindarkan mobil dari bertabrakan dengan bus. Dia mengarahkannya pada pepohonan di arah kiri dan ungtungnya juga, dia sempat menginjak rem. Sehingga mobil hanya terperosok ke saluran air.
Tetapi, ada hal lain yang masih membayang di pikiranku, dan juga Erwin. Kejadian semalam itu, kecelakaan kami terjadi setelah kami memutar arah mobil karena melihat sesuatu yang mengerikan.
Iya, aku dan Erwin yang awalnya sedang memergoki dan menonton sepasang manusia tengah bercumbu dengan panasnya di pojokan jalan, malah bergidik ngeri selanjutnya, menyaksikan hal yang menyeramkan bukan main. Bahkan dalam seumur hidupku, aku belum pernah sekalipun melihat hantu. Apalagi hantu yang dengan kejamnya membunuh dan memakan manusia.
Sungguh malang sekali nasib pria yang mengencani wanita malam tadi. Dia mati sia-sia dengan cara yang sangat mengerikan. Aku masih ingat betul bagaimana menyeramkannya sosok wanita yang awalnya tampak aduhai dengan tubuh seksi, lalu berubah menjadi sosok monster hantu.
Entah apa disebutnya wanita itu. Aku sendiri tidak tahu dan belum pernah melihatnya, ataupun mendengar berita tentangnya. Mungkin itu iblis yang menyamar menjadi manusia untuk mencari mangsa. Seingatku, semalam hantu itu juga menghisap darah si lelaki yang bersamanya. Bisa jadi, dia juga memakan daging dan tubuh si lelaki, meski aku dan temanku tidak melihatnya.
"Pak Natan, ada yang mau ketemu anda,"
Suara perawat pria yang baru masuk, membuyarkan lamunan sekaligus kengerianku akan kejadian tadi malam. Di belakang perawat itu, tampak Erwin masuk ke ruangan tempatku dirawat sekarang. Perawat memeriksa sebentar kondisiku, lalu segera pergi, sambil memberitahu bahwa sarapan akan segera diantar sebentar lagi oleh petugas dapur rumah sakit.
Aku bahkan berpikir kalau aku takut tidak sanggup makan setelah melihat hal mengerikan semalam.
Erwin menarik kursi plastik lalu duduk di sebelah ranjangku. Dia menyengir tipis. Keadaannya sudah lebih dulu membaik. Hanya ada beberapa plester luka di tangannya.
"Untung kita enggak mati, ya. Bersyukur,"
Benar. Aku bersyukur masih diberi napas dan detak jantung.
"Tapi gua masih kebayang sama yang semalam. Cewek yang jadi monster itu. Apa dia itu kuyang ya?"
"Bukanlah. Kalau kuyang, itu kepalanya doang yang terbang. Pisah sama badan. Yah biarpun gua cuma liat di berita-berita. Mungkin cewek itu penganut ilmu hitam, dan harus makan manusia buat tumbalnya. Biar ilmunya tetep-"
"Kok lu percaya gituan sih? Ilmu hitam? Mitos kali."
Sergahku. Aku tidak terlalu percaya dengan hal-hal seperti yang dikatakan Erwin barusan. Sungguh.
"Ya tapi seenggaknya, lu juga semalam liat, ada cewek makan orang. Dan itu bukti kalau makhluk lain itu ada,"
Aku terdiam sejenak, berpikir. Memang benar juga sih, apa yang dikatakan Erwin. Jika aku tidak melihat wanita mengerikan itu semalam, masih wajar jika aku tidak percaya seratus persen. Tapi, semalam aku menyaksikannya dengan mata kepalaku sendiri.
Tak lama, saat kami masih sedang berdebat tentang pendapat Erwin, petugas dapur rumah sakit datang sambil membawa troli makanan. Gadis itu tersenyum menyapa sambil menyebut namaku, lalu menyerahkan satu wadah menu sarapan berupa nasi, sayur, lauk dan camilan yang berupa satu biji buah pisang. Lantas dia segera kembali keluar untuk mengantar menu sarapan pada ruangan pasien lainnya.
Aku sama sekali tidak berselera melihat makanan di depanku. Bukan karena rasanya yang sudah pasti lebih kurang bumbu, karena memang begitulah makanan untuk orang sakit, lebih mengutamakan gizi daripada rasa. Namun, aku tidak berselera karena masih kaget dengan kejadian semalam.
"Makan lu. Entar kagak makan mati."
Erwin menyengir. Dia hendak mengambil buah pisang di dekat wadah menu sarapan, tapi kutepis tangannya lebih dulu.
"Gua makan yang ini. Lu makan yang di wadah aja. Gua gak nafsu makan,"
Mungkin nanti aku bisa berselera jika makan di luar rumah sakit. Jadi aku hanya memakan satu pisang saja sebagai menu sarapan.
Sedangkan si Erwin, entah bernafsu atau tidak, nekat memakan menu sarapanku di satu wadah.
Aku dan Erwin pulang hari ini juga.
Karena memang tidak mengalami luka parah. Untunglah, karena aku harus kembali ngantor pada esok hari. Hanya saja, mobilku sedikit mengalami kerusakan di bagian luar akibat terperosok tadi malam.
Setelah keluar dari rumah sakit yang sangat berbau obat, aku segera kembali ke apartemenku, begitu juga dengan Erwin. Aku sudah tidak tinggal bersama dengan orang tuaku sejak mulai bekerja. Untuk apa? Ibu sudah meninggal sejak usiaku dua puluh tahun. Dan Papa, meskipun dia adalah orang kaya dan pengusaha, aku tidak mau tinggal bersamanya. Aku benci dia. Toh, dia sudah bahagia dengan istri keduanya.
Pulang ke rumah adalah hal yang menyebalkan dan lebih sering kuhindari. Buat apa di rumah jika hanya untuk bertengkar.
Aku memarkir mobil dengan cepat, sesampai di apartemen. Lalu memasuki lobi dengan langkah buru-buru, bukan apa-apa, aku ingin segera istirahat. Tadi di rumah sakit, tidak terlalu nyaman karena bau ruangannya yang khas.
Tetapi, karena terlalu terburu-buru berjalan, aku bertabrakan dengan seseorang tepat saat dua langkah dari ambang pintu lobi, sehingga barang bawaannya terjatuh. Dia seorang perempuan, membawa beberapa dokumen dan kertas. Aku segera berinisiatif membantu membereskan barang bawaannya yang jatuh.
"Maaf, saya gak sengaja,"
Ujarku, seraya menyerahkan kertas-kertas yang kurapikan. Dia menatapku sambil tersenyum tipis dan lembut. Lalu kami berdiri bersamaan.
"Enggak apa-apa. Makasih udah dibantu,"
Dia membungkukan kepala sekilas, lalu segera berjalan pergi. Aku yang tertegun sejenak pun, segera melangkah kembali, memasuki pintu lift menuju ruang tempat tinggalku.
Segera aku mengambil air mineral di dalam lemari es, lalu duduk di sofa, usai tiba. Kunyalakan televisi, lalu menenggak air. Rasanya segar sekali. Aku akan beristirahat sejenak sambil menonton berita.
Namun, saat aku memilih salah satu saluran berita, aku melihat kejadian yang sepertinya kukenal. Berita tentang pembunuhan seorang pria secara mengerikan.
Astaga. Tubuhku gemetar tiba-tiba.