Ezar masih diam melihat istrinya melamun di depan meja riasnya. Ia yang sudah memakai piyama dan bersiap tidur pada akhirnya menghampiri Caira. Wajah istrinya memang masih saja ditekuk daritadi. Ezar sendiri sebenarnya bingung ingin mengatakan apapun. Namun, setelah dipikir kemungkinan Caira melamun dikarenakan apa yang terjadi di rumahnya. Perlakuan dari keluarganya yang kurang menyenangkan kemungkinan menjadikan Caira lebih diam sekarang.
Jujur saja Ezar lebih suka melihat Caira marah-marah sambil mengumpat daripada hanya diam dan tidak terusik pada sekitar. Kecerewetan yang ia miliki lambat laun membuat Ezar gemas hingga ia harus menggigit bibirnya menahan kegemasan Caira. Walau kadang menyebalkan, Caira mampu membuat warna dalam hidup Ezar. Ezar yang biasanya hanya tersenyum sesekali karena ia terbiasa membangun jarak pada wanita disekitarnya, pada akhirnya jatuh dan sejatuh-jatuhnya pada Caira. Atensi wanita berambut cokelat gelombang itu benar luar biasa nyaris membuatnya tak bisa berhenti menatap Caira.
"Hai," sapa Ezar dari belakang Caira. Ia menepuk bahu Caira dan menatap Caira dari cermin rias. "Kenapa daritadi saya lihat kamu melamun? Ada sesuatu yang menganggu pikiran kamu?"
Ucapan Ezar pada akhirnya menyadarkan Caira dari lamunannya. Ia membalas tatapan Ezar dari cermin juga. "Enggak, saya hanya pusing saja."
"Yakin hanya pusing? Sepertinya kamu memiliki beban yang ingin kamu sampaikan? Apa kamu mau menceritakannya pada saya, Caira?" tawar Ezar supaya Caira bisa membuka sedikit ruang untuk Ezar memahami karekteristik Caira yang asli. Sering kali ayah mertuanya selalu mengatakan untuk membantu Caira agar bisa berani mengatakan apa yang ia rasakan.
"Hm, yakin." Caira memutar tubuhnya kemudian bertanya, "Kamu kenapa enggak langsung tidur? Tidur duluan saja. Saya mau merokok." Caira berdiri setelah memberikan ucapan tersebut. Ezar yang mendengarnya menahan tangan Caira agar tidak keluar dari kamar.
"Caira, saya mohon berhenti merokok. Itu akan menganggu kesehatan kamu," ucap Ezar berniat memperingatkan. Tatapan matanya sendu seolah dia sudah lelah memperingati namun hasilnya nihil. Caira tetap saja merokok dan Ezar hanya bisa menghela nafas kasar saat Caira tidak mengikuti ucapannya.
Caira tersenyum miring kemudian ia mengatakan, "Begini, saya menikah sama kamu itu karena unsur keterpaksaan dari kedua orang tua saya yang entah enggak tahu dari mana mereka. Lalu, pernikahan ini tanpa ada unsur rasa cinta antara kita berdua sehingga kesimpulannya adalah jalani hidup kita masing-masing dan jangan pernah mengatur apapun yang dilakukan antara kita berdua."
"Enggak, tidak ada yang mau pernikahannya berjalan seperti itu. Kamu kenapa tiba-tiba marah seperti ini?"
"Wah, kamu masih tanya kenapa saya marah? Oke, mungkin tadi ketika di mobil keadaan kita berdua udah mencair. Tapi, apa kamu tahu, mama kamu bertanya kapan kamu menikahi mantan tunangan kamu itu. Dia mengatakannya lewat pesan dan saya melihat pesan itu dari handphone kamu. So, saya juga udah nggak punya harapan lagi untuk melanjutkan Saya ingin saya untuk menjadi istri yang baik untuk kamu. Saya lebih baik menyerah karena saya tidak mau kehidupan pernikahan saya diperlakukan seperti itu oleh keluarga suami saya. Lalu, lebih lucu nya adalah suami saya sendiri tidak mau membela saya dan lebih memilih untuk bungkam. Jadi, kesimpulannya adalah urus kehidupan kita masing-masing. Kamu berhubungan kembali dengan mantan tunangan kamu juga tidak apa-apa. Silahkan."
Ucapan itu ucapkan dengan gampang tanpa rasa takut hingga tatapan matanya tak lepas dari lawan bicaranya. Seperti biasa, keberanian Caira terhadap sesuatu yang tidak disukainya benar-benar tidak ia sembunyikan. Ia akan menunjukkan apa yang membuatnya tidak nyaman dan itu hal yang sangat membuat semua orang terkadang tidak berani untuk membalas ucapan Caira.
Eza menggenggam tangan Caira kemudian menariknya untuk duduk dipinggir ranjang mereka. Dia mengelus tangan kecil itu dengan perlahan hingga Caira tau bahwa Ezar tengah memintanya untuk memberikan waktu agar menjelaskan semua yang terjadi di rumah Ezar.
"Caira, saya tahu apa yang kamu rasakan saat ini adalah sesuatu yang wajar kamu rasakan ketika kamu tidak dianggap oleh orang yang menurut kamu penting dalam hidup kamu. Saya sendiri juga sudah berusaha untuk membuat Ibu saya menyukai kamu. Tapi, memang keras kepala ibu saya itu luar biasa susah untuk diluluhkan. Bahkan ayah saya sendiri juga berkali-kali sudah mengatakan untuk bersikap baik terhadap kamu tapi karena sifat keras kepalanya itu pada akhirnya mereka bertengkar tanpa menemukan hasil yang bagus. Jadi." Ezar menatap Caira dengan saksama. "Maafkan ibu saya. Maafkan apa yang telah dilakukan sehingga kamu sakit hati seperti ini. Saya berjanji lambat laun saya akan membuat Ibu saya sangat menyayangi kamu. Bagaimana?"
Caira tetap memandang Ezar dengan datar. Dia masih merasakan kekesalan yang begitu memuncak di kepalanya. Bukan jawaban ini yang dia inginkan. Tapi, kesalahan ini juga tidak sepenuhnya berada pada Ezar. Setidaknya Caira tau bahwa Ezar dan ayahnya sudah berusaha untuk membuat ibu Ezar lebih menyukai dirinya. Sifat keras kepala ibunya kemungkinan besar tidak akan mudah untuk dikalahkan sebab Caira sendiri juga memiliki sifat keras kepala yang susah untuk diajak bekerja sama.
"Gimana? Kamu sudah tenang saya mengatakan itu?" tanya Ezar saat ia hanya mendapatkan respon wajah datar dari istrinya tersebut. Memang Caira sangat rajin menunjukkan wajah cantiknya daripada wajah tersenyum miliknya. Sehingga kebanyakan orang akan merasa canggung ketika ingin menyapa Caira sebab wajahnya terkesan mengintimidasi.
Caira menaikkan sebelah alisnya kemudian menganggukkan kepalanya pelan. "Oke, sekarang saya percaya sama kamu. Tapi, tepati janji kamu untuk membuat ibu kamu menyukai saya. Saya juga menginginkan kamu untuk menjauh dari mantan tunangan kamu itu. Oke, kita memang menikah secara paksa. Tapi, saya tidak menerima perselingkuhan dalam bentuk apapun itu. Dan jika kamu melakukan perselingkuhan bahkan satu kali pun, Saya tidak akan pernah memaafkan kamu dan detik itu juga status saya sebagai istri kamu akan menghilang tanpa kamu duga nantinya," tekan Caira kemudian berdiri masuk ke kamar mandi. Ia berusaha menetralkan amarahnya sebab Ezar sama sekali tak menyalahkan kedatangan Haniya.
Ezar sendiri menghela nafasnya pelan. Perasaannya pada Caira masih tahap berlanjut dan belum sempurna. Tapi, disatu sisi dia tidak akan pernah untuk meninggalkan Caira. Caira memiliki peranan penting dalam hidupnya. Maka dari itu, dia tidak akan membiarkan Caira pergi dari hidupnya. Dia akan berbicara dengan Haniya nanti.
Walau sebenarnya pikirannya masih bercabang pada wanita itu. Kehidupan Haniya sangat berantakan sebab ia harus menikah dengan seseorang yang tidak dia sukai dengan alibi hutang. Ezar mengusap rambutnya dengan kasar sebab dia baru ingat Abraham memiliki gangguan emosi yang tidak baik sehingga dia dijauhkan dari orang-orang disekitarnya. Bagaimana Haniya bisa hidup dengan laki-laki yang memiliki tingkat emosi yang begitu parah.