Caira pulang setelah dia bermain dengan Alzam. Setidaknya dia sudah merasa senang setelah disakiti oleh Ezar. Sungguh, dia belum mencintai pria itu. Hanya saja posisinya yang sebagai seorang istri seakan dipermainkan oleh pria itu. Ia merasakan sakit hati ketika Ezar memilih mengantar Haniya daripada menenangkan dirinya. Haniya sudah dewasa dan dia juga bisa memesan taksi. Bukankah sampai disana bantuan itu sudah cukup? Kenapa dia malah membantu sampai diantar kerumahnya? Apakah setelah itu mereka berbincang? Ah, memikirkannya membuat Caira muak.
Pintu dibuka dengan perlahan. Suasana malam setelah hujan membuat bulu kuduk Caira merinding sebab hawa dingin menusuk hingga kulitnya. Setelah meletakkan sepatu miliknya ke rak sepatu yang tersedia di balik pintu, ia langsung ke dapur untuk mengambil minum. Lapar, padahal tadi dia sudah makan.
"Mau makan malam?" suara bariton itu terdengar dibelakang Caira yang sedang membuka kulkas. Tangan mungilnya memegang pintu kulkas dengan erat. Ia malas melihat pria jangkung tersebut hi nggak memilih mengabaikannya saja.
Langkah kaki Ezar perlahan mendekati Caira. Ia memeluk Caira dari belakang hingga wajahnya dibenamkan di leher wanita cantik itu. Diam, sunyi dan senyap. Yang terdengar hanya suara mesin kulkas karena kulkas masih dibuka dan jam dinding di dapur. Keduanya seakan ingin memberitahu apa yang mereka rasakan. Ezar mengeratkan pelukannya hingga pinggang Caira sepenuhnya dilingkari oleh tangan Ezar. Caira menghela nafasnya panjang. Jantungnya itu berdegup kencang seakan ingin meledak.
"Saya minta maaf atas perlakuan saya yang membuat kamu terluka, Maysa," ucap Ezar dengan lirih. Pria ini menyebut nama tengahnya. Caira Maysa Nadhira.
Tangan Caira sedikit bergetar namun dengan kekuatannya ia melepaskan belitan tangan Ezar yang terlalu membelenggunya. Ia membalikkan tubuhnya pada Ezar. Ia menghela nafas ketika melihat wajah Ezar yang sendu. "Saya enggak tau harus bilang apa. Saya mau marah tapi saya merasa enggak berhak karena perasaan saya terhadap kamu juga belum terlalu ada. "
"Kamu istri saya, Maysa. Kamu surga saya," kata Ezar dengan tegas namun suara lembutnya lebih mendominasi. "Ingat apa yang sudah saya ucapkan ke kamu kemarin? Setelah saya menjabat tangan ayah kamu, saya sudah terima marahmu, kekuranganmu, kekesalanmu, ngambekmu, mudah emosian yang kamu punya, keras kepalamu. Saya terima dengan ikrar dalam pernikahan kita dengan disaksikan oleh banyak orang termasuk orangtua kamu dan orangtua saya. Dan lebih penting dihadapan Allah. Saya terima itu semua. Jelas saja, amarahmu itu sudah sangat saya terima hingga kita bisa diskusi, Maysa."
Caira menitikkan air matanya. Ia tertawa lirih dengan tangannya yang digenggam erat oleh Ezar. "Saya enggak suka kamu masih terlibat dengan masa lalu kamu. Kemarin kita baik-baik saja. Kemudian bertengkar kembali. Kemudian baikan lagi dan kembali marah lagi. Saya belum bisa mengendalikan emosi saya. Saya marah ketika kamu masih memikirkan Haniya sedangkan kamu adalah suami saya. Saya marah ketika dengan lantang kamu memilih mengantar Haniya padahal aku merasa tidak enak juga setelah pertengkaran dengan Abraham sialan itu. Kamu memilih Haniya daripada saya, istri kamu."
Tangan Ezar menangkup wajah Caira. Ia memberikan ciuman hangat pada kening wanita itu. "Saya akan mencoba untuk tidak dekat dengan Haniya lagi. Saya akan dengan jelas mengatakan kalau istri saya marah kalau saya dekat dengan Haniya atau wanita manapun." Ezar mengucapkan itu tanpa keraguan.
"Jangan berjanji jika mengkhianati, Ezar. Saya tidak akan memberikan kesempatan kepada kamu kalau rasa bersabar saya telah hilang. Kamu paham?"
-/-
Haniya menggulung rambutnya. Ia mengganti kompres Abraham kemudian meletakkannya kembali. Tubuh Abraham panas dan dia demam. Sudah jelas saat pria ini meminum alkohol dalam jumlah yang banyak membuat tubuhnya tidak kuat.
Meletakkan sejadahnya dan memakai mukena, ia mulai menjalankan sholat tahajud. Dengan khusyuk dan perlahan, sholatnya terlaksana. Setelahnya, Haniya menangis kencang. Ia memukul dadanya untuk menghilangkan rasa sakit dan sesak yang mendominasi seluruh rongga tubuhnya. Jika perasaan rasa sakit itu diinterpretasikan dalam benda, kemungkinan besar ia akan segera mengambilnya tanpa berpikir lagi. Tapi, perasaanya ini adalah hal yang tak terlihat tapi sangat sakit dirasakan. Haniya seakan tidak kuat dengan rasa sakit ini.
"Ya Allah, bukalah pintu hati suami hamba supaya dia berpikir hamba melakukan banyak hal untuk kebaikannya. Hamba menginginkan dia menjadi imam yang baik buat hamba, Ya Allah. Hamba mohon." Haniya menangis tersedu-sedu. Ia memukul dadanya untuk mengurangi rasa nyeri di hatinya. Menarik nafas panjang hingga tersentak saat dirasa ada pelukan dari belakangnya.
Abraham menangis. Ia menangis dengan kuat saat mendengar doa dari Haniya. Ia memeluk wanita itu dengan kuat dan memberikan afeksi. Haniya kaget namun tak lama ia mengelus tangan Abraham dengan pelan.
"Kamu mau makan, Mas? Aku siapkan makanan dulu, ya."
"Saya enggak lapar," jawab Abraham yang masih meletakkan kepalanya di pundak Haniya. Wanita bermata cokelat itu hanya menghela nafas panjang kemudian ia membaca Alqur'an. Abraham masih memeluknya. Tak lama kemudian Abraham sudah tidur dan Haniya menggiring Abraham untuk tidur di ranjang.
Haniya bengong terlebih dahulu hingga ia mengambil ponselnya. Pasti Ezar sudah bangun sebab pria itu tak pernah melewatkan jam malam untuk berdoa dan ibadah. Ia keluar dari kamar karena takut Abraham mendengarnya.
Sambungan telepon masih terdengar menghubungkan. Setelahnya tak lama panggilan itu terangkat membuat Haniya tersenyum merekah. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatahu, Mas Ezar. Aku mau berbicara sama kamu sebentar."
Suara Haniya terdengar senang sekali. Belum ada balasan dari Ezar membuat Haniya kembali memberikan salam. "Assalamualaikum, Mas Ezar."
"Waalaikumsalam," jawab telepon diseberang sana. Suara perempuan dan jelas itu adalah Caira. "Ada apa telepon suami saya di jam segini, Bu?" tanya Caira masih sopan dan tenang walau mulutnya sudah tak tahan mau memaki.
"Ah, Caira ya? Maaf sekali saya menganggu."
"Sudah tau kenapa telepon, Bu?"
"Maaf, saya mau kasih kabar ke Mas Ezar bahwasanya Mas Abraham sudah baikan. Dia sudah sadar."
"Oh, bagus. Bogeman saya enggak buat dia mati ternyata."
"Caira!" sentak Ezar yang suaranya sedikit jauh dari tempat Caira meneleponnya. "Apa yang kamu katakan? Dengan siapa kamu berbicara?"
"Dari mantan tersayang kamu, Haniya Nafisa Sadya. Mantan tunangan kamu yang kabur dihari menjelang kalian menikah." Caira dengan berani dan lantang mengucapkan hal itu. "Kenapa ya dia telepon kamu terus? Kekurangan belaian sampai harus menelepon suami orang di jam segini?"
Cukup. Haniya mematikan ponselnya. Ia terduduk di karpet ruang tamu. Menekuk kakinya mencoba menghilangkan ucapan Caira yang masih bertengger diingatannya. Caira memang benar. Tak pantas dia menelepon Ezar yang sudah mempunyai istri sekarang.
Kenapa hidupnya sulit begini? Menikah dengan pria yang tidak ia cintai, pemabuk, dan suka melakukan tindakan kekerasan. Haniya lelah. Dia ingin bahagia seperti Caira. Kapan? Kapan dia merasakan itu juga?
Haniya menangis dengan kuatnya. Tanpa ia sadari Abraham melihat keadaan Haniya yang kacau. Dia mematikan seluruh rasa kasihannya. Biarkan Haniya menangis hingga ia melupakan perasaanya pada Ezar.