Chereads / Please, Choose Me / Chapter 10 - Momen Langka

Chapter 10 - Momen Langka

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatahu."

Ucapan salam itu menandakan berakhirnya sholat sunuh kedua pasangan tersebut. Caira kini mengusap wajahnya setelah salam diucapkan. Dia menggigit bibir bawahnya ketika merasakan ketenangan selesai sholat. Melihat Ezar yang belum membalikkan tubuhnya membuat Caira hendak berdiri karena dia pikir sholat sudah selesai.

"Mau kemana?" tanya Ezzar melihat Caira berdiri.

"Lah, udah selesai, kan? Saya mau lanjut tidur." Caira dengan cuek membuka mukenahnya.

"Belum selesai, Caira. Kamu dzikir dulu kemudian berdoa dan setelahnya membaca beberapa ayat Al-qur'an. Kalau selesai sholat ada baiknya meminta ampun kepada Allah dan meminta apapun yang kamu mau. Allah pengen dengar kamu berdoa dan meminta, Caira," jelas Ezar membuat Caira tertegun. Ia menggigit bibir bawahnya dengan kuat mencoba berbicara.

"Tapi saya sudah lama enggak sholat dan banyak yang sudah saya lakukan menyimpang dari aturan Tuhan. Emang saya bakalan diampuni? Lagian saya malu minta banyak hal tapi saya jarang bersujud," ucap Caira. Wanita cantik itu kemudian kaget saat Ezar menarik lengannya lembut. Ia terhenyak melihat wajah tampan itu tersenyum manis kepadanya.

"Caira, Allah maha pengampun. Sebanyak apapun dosa kamu bahkan jika dosa kamu melebihi luasnya samudera, Allah akan mengampuni dosa kamu. Saya sudah pernah bilang tentang itu, kan? Kamu enggak usah ragu dengan pengampunan Allah karena Allah maha pengasih dan maha penyayang. Dia juga maha mengampuni segala dosa dari ciptaan-Nya. Kalau saran saya, kamu bisa berdoa apapun yang kamu mau dan kamu minta ampun."

"Tetap saja saya merasa malu. Saya enggak mau banyak minta sedangkan sholat saya banyak yang enggak terpenuhi. So, yaudah lah saya semampunya aja."

Ezar terkekeh sembari kembali memakaikan istrinya mukena. Ia memasukkan rambut Caira dengan lembut kemudian mengecup keningnya. "Sudah saya bilang sama kamu kalau Allah maha pengasih dan penyayang. Bagus kalau kamu punya rasa malu atas apa yang kamu lakukan. Tapi, jangan menyerah meminta kepada Allah. Kamu mengerti, kan?" ucap Ezar dengan tenang tanpa ia tahu kalau Caira sudah berdebar tak karuan saat Ezar dengan berani mencim keningnya seperti tanpa beban. Ia mengulum senyum hingga matanya sedikit menyipit.

Jujur saja ia tenang sekali dekat dengan Ezar. Setelah masa lalu yang ia alami begitu buruk sehingga menutup seluruh akses siapapun yang mau mengenalnya lebih dalam, Caira baru bisa merasakan ketenangan ketika bersama dengan Ezar. Ada beberapa hal yang membuatnya merasa nyaman dan ia begitu suka hingga ketakutan pada masa lalu itu terkubur menjadi sesuatu yang hangat. Ezar memang menyebalkan ketika ia masih memperhatikan Haniya. Namun, di satu sisi ia memiliki jiwa sabar yang luas sehingga Caira tidak merasa terpojok ketika bersamanya.

"Emm… oke, makasih atas nasehat kamu. Tapi, aku enggak bisa membaca Al-qur'an."

Ezar tersenyum lembut kemudian mengelurkan Iqra. "Kamu mau belajar dari awal enggak? Kalau kamu mau, nanti akan saya ajarkan. Enggak apa mengulang dari awal daripada enggak sama sekali," ucap Ezar membuat Caira berpikir sejenak. Sebenarnya dia malas juga membaca ini. Namun, mungkin hal ini bisa membantunya menjadi lebih baik. Ya, walaupun jujur saja sekarang masa bebasnya sedikit terenggut.

Dengan perlahan tangan mungilnya mengambil iqra tersebut. Ia membuka halaman pertama dan langsung pusing melihat banyak huruf yang ia baca waktu SD. Banyak sekali ternyata yang ketinggalan. Dulu, waktu SD Caira hobi mengaji. Namun, ketika masuk SMP dia sudah malas dan kadang malu sebab tak banyak temannya yang mengaji juga. Lalu ketika masuk SMA dia mengenal dunia malam sehingga makin jauh dengan agama. Waktu kuliah dia sudah sangat bebas sebab punya apartemen sendiri. Minum alkohol, merokok dan berjoget ria dilantai dansa juga sudah ia lakukan. Ah, tidak menyangka dia mendapatkan suami yang baik secara agama. Sepertinya ini juga kebaikan dari Tuhan supaya dia menjadi manusia yang tahu diri sudah diberikan kehidupan bukannya banyak melakukan kebaikan malah jadi brengsek, pikirnya.

"Bagaimana, Caira? Kamu mau belajar lebih baik lagi, kan?" tanya Ezar kembali. Waniat itu mengangguk kemudian ia diajari di lembaran pertama.

-/-

Haniya selesai melaksanakan sholat shubuh. Ia menadahkan tangannya meminta banyak permintaan termasuk menginginkan kehidupan yang jauh lebih baik dari sekarang. Menangis sambil meminta pada Allah memang sangat jauh lebih tenang dari apapun di dunia ini. Karena dia meminta langsung pada pemilik segalanya. Bersimpuh dengan meminta ampun tak lupa ia panjatkan setiap dalam doanya. Caira tak bisa menahan isakan tangisnya. Ia selalu menangis dan jujur saja sebenarnya ia sangat lelah. Namun, dia tidak bisa menahan kesedihannya.

Menghela nafasnya panjang, Haniya membuka mukenahnya. Ia melipat sajadahnya kemudian meletakkannya ditempat yang seharusnya. Berjalan ke arah dapur, ia akan menyiapkan sarapan untuk Abraham. Pria itu ingin makan sup ayam dengan sambal untuk dibawa ke kantor. Permintaan itu tentu saja dituruti. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, pria itu akan mengatakan apa yang ia mau. Atau ketika malam sebelum mereka tidur.

Haniya terlonjak kaget saat ia merasakan pelukan dari belakangnya. Ia merasakan lehernya yang dikecup dengan lembut kemudian dagu yang dihiasi sedikit bulu itu ditumpukan pada pundaknya. "Good Morning, Shawty," sapa Abraham dengan senyum tampannya.

Wanita yang sedang memegang pisau itu tersenyum canggung kemudian membalas ucapan Abraham. Ia hanya diam saja ketika Abraham menyentuhnya semakin jauh. Namun, tak lama kemudian ia mendorong Abraham ketika ia tau maksud lelaki itu. Haniya tau itu adalah kewajibannya sebagai seorang istri. Tapi dia masih butuh waktu setelah pertengkaran mereka kemarin. Dia belum bisa melupakan masalah mereka dan ia masih butuh ketenangan jiwa untuk itu. Maka dari itu Haniya menolak Abraham sebab mereka berdua harus memberi jeda dulu.

Abraham menghela nafas kasar. Ia menatap datar Haniya walau wnaita tersebut hanya cuek dengan memasukkan berbagai bahan ke dalam panci. "Nanti malam aku lembur. Kamu kalau mau makan bisa duluan aja," ucap Abraham sembair meminum susu yang sudah disiapkan Haniya. Ia merapatkan bibirnya ketika tak ada ucapan yang keluar dari bibir Haniya. Dengan kasar pria itu meletakkan gelasnya hingga membuat suara yang kencang. Haniya menatap Abraham yang sudah memandangnya geram. Dengan perlahan ia mengambil gelas dari tangan Abraham kemudian meletakkannya ke dalam tempat cuci piring. "Iya, aku buatkan kamu jus aja nanti malam sama aku potongkan buah biar kamu segar kembali."

Abraham tersenyum miring kemudian memegang rambut Haniya. Mendaratkan kecupan di leher Haniya kembali kemudian memandangnya remeh. "Kamu harus ingat bahwa aku punya banyak mata-mata. Kalau kamu berani mendekati Ezar lagi," Abraham mengatupkan giginya hingga suara yang keluar seperti geraman. "Aku jamin kamu akan kehilangan semuanya, Haniya. Kehilangan banyak hal seperti apa yang aku lakukan sama kamu dulu. Ingat itu," titahnya.

Haniya mengangguk dan menitikkan air matanya ketika Abraham beranjak darisana. Ia memegang dadanya kuat sembari menahan segala rasa sakit yang ia rasakan. Menarik nafasnya kuat, Haniya kembali masak dengan tangan gemetar. Ia mengingat masa sakit saat ia harus melihat ayahnya dipukuli ketika Haniya hendak kabur. Ia tidak ingin siapapun merasakan itu lagi. Ia tidak ingin masa-masa kelam itu kembali lagi hingga membuat orang disekitarnya sial.

Semua akan baik-baik saja asal ia tidak melakukan tindakan yang fatal. Ia akan berusaha menjadi lebih sabar menghadapi Abraham walau jujur saja raungan ingin mati terus bersliweran di kepalanya. Haniya selalu mendapatkan bisikan untuk mengakhiri hidupnya. Tapi tak lama kemudian ia istighfar sebab ia yakin itu pikiran buruk yang hanya akan mendatangkan keburukan dalam hidupnya. Daripada itu, ia memilih abai dengan perasaan sakitnya.

"Sudah selesai?" tanya Abraham. Pria itu sudah mandi dan menenteng tas. Ia menggeleng membuat Abraham mendengus. "Cepat, aku mau ada meeting sama klien."

Dengan segera Haniya memasak dan memasukkan semuanya ke bekal makanan milik Abraham. Ia memasukkan ke dalam tas Abraham kemudian meletakkan sarapan ke meja makan. Abraham mencuci tangannya kemudian ia memakan makanan dalam diam. Haniya sendiri masih sibuk mencuci piring. Wanita itu terburu-buru sebab ia ada mengajar kelas pagi.

Abraham yang melihat Haniya sibuk membuatnya memasukkan makanan ke piring. Ia berjalan ke arah Haniya dan menyuapi Haniya. Walau wajahnya datar, ia dengan telaten menyuapi makanan itu sembari mengusap bibir Haniya jika wanita itu makan blepotan. "Aku enggak bisa cuci piring. Jadi, aku bantu kamu makan. Kamu mau mengajar kelas pagi, kan?"

"Hm? Oh, iya. Hari ini aku mengajar kelas pagi, Mas." Haniya masih canggung kemudian hendak mengambil piring makan tersebut. "Mas, aku bisa makan sendiri. Kamu makan dulu aja. Sebentar lagi kamu juga akan ada meeting, kan?"

Abraham mendekatkan wajahnya pada Haniya hingga membuat wanita itu menahan nafas. "Aku mau menyuapi kamu. Momen langka yang aku enggak tau kapan terjadi lagi nanti."