Chereads / Please, Choose Me / Chapter 5 - How About Us?

Chapter 5 - How About Us?

Caira hanya memandang keluar mobil saja daritadi. Mulutnya terkatup dengan rapat saat ia mendengar apa yang keluarga suaminya ucapkan kepadanya. Dari seluruh keluarga Ezar, hanya ayah Ezar yang paling sangat menyetujui pernikahan mereka. Selebihnya mereka tidak menyukai pernikahan yang dilakukan dengan secara terburu-buru ini. Caira merasa sakit hati ketika dia tidak diterima kehadirannya oleh keluarga suaminya di saat dia sendiri berusaha untuk membuka hati dan pikirannya terkhusus untuk pernikahan ini.

Ezar sendiri juga dari tadi hanya membungkam mulutnya karena merasa malu atas apa yang dilakukan oleh keluarganya. Bukannya dia tidak mau membela istrinya dengan menghardik orang-orang yang ada di sana. Namun, jika dirinya melakukan hal tersebut semuanya akan terasa semakin mencekam dan itu membuat perpecahan di keluarganya semakin terasa. Tentu saja Caira yang akan disalahkan di kemudian hari atas perpecahan keluarga mereka. Maka dari itu Ezar berusaha menahan amarahnya walau dia sebenarnya sudah merasa dongkol ketika istrinya ditekan seperti itu. Untung saja Caira mau mengeluarkan kata-kata sadis kepada orang-orang yang menekannya sehingga ucapan mereka bisa tertampar langsung dan membuat mereka terdiam seketika.

"Kamu mau membeli sesuatu?" tanya Ezar saat mobil mereka mendekati tempat makanan. "Ada sate di sana. Kamu mau beli?"

Tak ada jawaban dari mulut Caira membuat Ezar memilih untuk keluar dan membelinya tanpa persetujuan istrinya. Caira sangat menyukai sate kacang bahkan dia bisa makan sampai 3 bungkus. Kesukaannya pada sate kacang membuatnya yang marah menjadi langsung kalem saat Ezar menyodorkan makanan kesukaan Caira. Suasana hati gadis itu langsung berubah seketika.

Caira sendiri tetap diam di dalam mobil sembari melihat suaminya yang berdiri untuk membeli sate tersebut. Dia memandang Ezar dengan sendu. Bagaimana mereka bisa menjalin pernikahan dengan harmonis jika keluarga Ezar sendiri menjadi penghalang untuk kebahagiaan mereka. Apalagi secara terang-terangan ibu mertuanya memberikan penilaian jelek terhadap dirinya. Dia merasa tidak memiliki harga diri dan tidak dihargai sama sekali padahal dia sendiri juga tidak memberikan perlakuan negatif kepada mereka. Namun, kesan yang diberikan seakan-akan dia sudah melakukan perihal besar yang membuat mereka rugi. Itu sungguh membuatnya sakit kepala dan merasa harga dirinya tercoreng.

Pernikahan ini bisa dia terima dengan baik setelah berbagai nasehat yang diberikan kepadanya. Ketika ia mencoba untuk menjadi lebih baik, kenapa malah begini jadinya?

Tak lama Ezar kembali dan duduk disamping Caira yng masih saja memasang wajah datarnya. Caira menatap Ezar dengan tatapan yang menghunus tajam. Ia tersenyum miring kemudian mengelus paha Ezar dengan sensual. "Dengar, kalau saya sampai melihat atau mendengar kamu delat dengan Haniya, siap-siap saja kamu enggak bisa ereksi lagi."

Ezar memandang Caira dengan merinding. Wanita ini ternyata sangat berbahaya. Selain galak dia bisa saja melakukan tindakan brutal lainnya dan itu akan mengancam keselamatan Ezar sebagai seorang pria. Dia tidak bisa banyak bertingkah ketika memiliki istri yang selain galak juga bisa sadis jika merasa dirinya terusik.

Ezar makin gelagapan ketika tangan itu mengelus hingga naik ke perutnya. Tidak, kalau dibiarkan seperti ini yang ada dia yang kelepasan. Tidak etis jika hubungan pertama mereka harus di mobil. Selain kurang romantis, juga bisa bisa mereka digerebek karena mobil yang berguncang dengan kerasnya.

"Caira, udah jangan sentuh aku lagi," lirih Ezar dengan suara gemetaran. Dia tidak kuat jika harus menahan perasaan mengganjal di dalam dirinya jika Caira melakukan ini secara terus-menerus. Yang ada dia kelepasan.

Caira sendiri terkekeh ketika melihat wajah panik Ezar. Ya, wajar saja sebab lelaki ini memang tidak pernah berdekatan dengan wanita seintim tadi. Kalau dia memang berpengalaman, mungkin Caira sudah habis di mobil saat ini juga tanpa peduli situasi dan kondisi.

Wajah Ezar memerah saat ia mengingat tangan Caira tadi. Ia menarik nafas dalam-dalam kemudian mencebikkan bibirnya. Caira sungguh menguji iman. Bahkan yang paling dominan dalam hubungan mereka malah Caira. Ezar kalah dari segala arah dan saat ini ia bahkan sudah sangat kelihatan kalahnya padahal baru saja disentuh dan itu hanya sedikit. Cara berbicara Caira yang dominan juga membuatnya tidak bisa berkutik ataupun menyela hingga pada akhirnya menyetujui semua perkataan dari bibir manis Caira.

Ya, bibir manis Caira.

Oh, Ezar bisa gila lama-lama hanya memikirkan Caira. Ia berdehem kemudian menetralkan degup jantungnya yang begitu kencang terdengar hingga telinganya terasa berdengung. Memang Ezar yang lemah ini tidak ada keahlian khusus untuk menghadapi wanita dan berakhir dia yang salah tingkah sendiri. Sedangkan Caira? Dia hanya bersedekap dada sembari menatap Ezar yang masih berusaha mati-matian menahan seluruh hormon dewasanya dan juga salah tingkahnya. Wanita ini seperti seseorang yang sudah ahli dalam hal menggoda. Sial, Ezar merasa perasaannya kesal ketika dia berpikir bahwa keahlian Caira sudah pernah dilakukan oleh orang lain dalam hal menggoda. Sungguh menyebalkan.

"Udah salah tingkahnya?" tanya Caira. "Saya lapar." Caira mengucapkannya dengan suara pelan namun entah kenapa terdengar menggoda. Tidak. Ini mungkin karena pikiran Ezar yang terlalu berkelana entah kemana-mana. Maka dari itu ia hanya mengangguk kemudian menjalankan mobilnya untuk pulang.

Sedangkan Caira sendiri memasang wajah datar namun tersenyum smirk. Ternyata Ezar memang sangat mudah ditaklukkan.

***

Haniya baru saja pulang setelah ia berbincang dengan Idah, ibu dari Ezar. Haniya hanya mendengarkan keluh kesah dari wanita itu dengan segala kekhawatiran yang dia rasakan ketika dengan tiba-tiba Haniya meminta pembatalan pernikahan dulu. Haniya sendiri menceritakan garis besar mengapa dia harus melakukan tindakan seperti itu. Syukurnya Idah memahami dan juga memaklumi apa yang terjadi pada dirinya. Hingga permintaan maaf yang Haniya tujukan pada Idah diterima dengan baik. Walau ayah Ezar sendiri belum menerimanya dengan baik, namun dia akan berusaha untuk meminta maaf atas apa yang dia lakukan dulu.

"Darimana saja kamu?" tanya Abraham, suami Haniya. Pria itu memakai baju hitam yang menampilkan otot padatnya hingga wajah tampan dengan alis tebal itu makin terlihat sempurna.

"Assalamualaikum, Mas. Aku baru aja pulang dari rumah Mas Ezar," lirih Haniya membuat Abraham yang mendengar ucapan itu langsung menarik hijab Haniya dan menyeretnya ke kamar. Haniya menjerit kesakitan sebab Abraham tanpa perasaan langsung membanting tubuhnya ke lantai.

Suara pintu yang dibanting membuat Haniya makin panik. Dia berusaha berdiri namun dengan tenaga Abraham yang jelas lebih besar darinya membuat ia tak bisa berkutik. Haniya kembali duduk dengan kepala mendongak ke atas akibat jambakan dari Abraham.

"Udah aku bilang berapa kali sama kamu. Jangan kembali pada Ezar. Aku sudah memberitahu kamu, Haniya," kata Abraham dengan merapatkan giginya hingga pengucapan itu terdengar geram. "Apakah kamu kira kamu masih pantas di keluarga itu setelah kamu meninggalkan pernikahan kamu dengan Ezar padahal pernikahan kalian tinggal menghitung hari?"

"Sakit, Mas. Sudah sakit sekali, Mas," lirih Haniya meminta ampun saat kakinya dipijak Abraham. "Ampun, Mas."

"JAWAB PERTANYAAN AKU!"

"Aku hanya mau bertamu saja karena mereka mengundang aku, Mas. A-aku tidak ada bermaksud kembali. Mas Ezar sudah menikah, Mas." Haniya mengatakannya dengan berusaha menahan sakit di sekujur tubuhnya. Abraham dengan pukulannya membuat Haniya makin kesakitan di hati maupun fisiknya.

Abraham tersenyum remeh. Ia melepaskan tangannya. Tangannya bersedekap kemudian tatapannya menajam pada Haniya yang masih menangis tersedu-sedu di lantai. "Ingat, Haniya. Jika kamu berani mendekati Ezar lagi, aku pastikan dia mati dengan cara mengenaskan. Sekali lagi peringatanku bukan main-main, Haniya."

Haniya masih diam saja. Ia masih berusaha menahan sakit di kepalanya. Benar-benar sangat menyakitkan hingga membuat Haniya pusing sekali.

"JAWAB AKU, HANIYA!"

Haniya mendongakkan kepalanya menatap suaminya. Ia mengangguk pelan hingga senyuman hadir di wajah Abraham. Setelah menyiksa dirinya, ia pergi dengan santainya membiarkan Haniya kesakitan. Luar biasa sakit yang ditorehkan Abraham pada Haniya.

Haniya lelah sekali dipukuli terus. Dia malah lebih senang Abraham keluar kota hingga penyiksaan ini tidak ia dapatkan. Haniya menangis dengan menahan suaranya supaya tidak didengar Abraham.

Apa ini karma dari perbuatan ayahnya hingga ia mendapatkan masalah ini?