Sore ini Caira harus disibukkan dengan pakaiannya yang akan ia gunakan untuk bertamu ke rumah mertuanya. Ezar mengatakan kalau ibu pria itu menyuruh mereka datang. Sebenarnya Caira sangat malas hadir sebab ia tahu kalau ibu mertuanya sama sekali tidak menyukai dirinya. Bahkan saat acara pernikahan saja wanita itu sama sekali tidak datang. Perlakuannya yang sangat menjengkelkan itu berhasil membuat Caira juga tidak menyukai mertuanya.
"Pakai baju apa, nih. Ah, bajunya kenapa jelek semua, sih?" gerutu Caira yang daritadi belum juga selesai mencari baju yang pas.
"Caira, kamu belum selesai?" tanya Ezar di depan pintu kamar mereka yang terkunci. "Sebentar lagi acara akan dimulai, Caira."
"Ck, tunggu sebentar!" balas Caira dengan lantang. Sudah pusing karena belum dapat pakaian yang ia mau, sekarang disuruh segera selesai. Caira paling anti disuruh-suruh. Dia mau kalau melakukan apapun harus santai dan tenang.
Pada akhirnya ia memilih gaun berwarna peach diatas lutut. Setelah memakainya, ia mengeringkan rambutnya kemudian memakai riasan wajah. Setelah selesai, ia keluar dengan menenteng sepatu hak tinggi berwarna peach juga. "Ayo, saya sudah selesai."
Ezar memandang Caira dengan kagum. Sangat cantik dan begitu mengagumkan. Tapi, kalau mereka datang dengan pakaian Caira yang seksi begini, bisa-bisa akan ada ajang roasting yang terjadi. "Caira, kamu bisa memakai baju yang lebih sopan? Kita akan bertemu orangtua saya serta beberapa saudara saya."
"Ck, ini udah bagus dan enggak ada waktu lagi. Sekarang kita pergi." Caira melangkah dengan cepat dan membuka pintu mobil. Ezar hanya bisa mengelus dada berusaha sabar dengan sifat keras kepala istrinya. Susah membuat seseorang berubah kalau tidak ada dalam hatinya keinginan untuk berubah lebih baik. Tapi, Ezar tidak mungkin menyerah sebab Caira adalah istrinya yang akan ia pertanggungjawabkan sampai mereka meninggal. Caira hanya butuh waktu saja dan Ezar akan memberikan pengertian untuk itu.
-/-
Netra cokelat Caira menatap bangunan megah didepannya. Caira tidak menyangka bahwa ia memiliki suami yang keluarganya kaya raya seperti saat ini. Ia juga bukanlah dari keluarga sederhana. Caira anak dari seorang pengusaha dibidang perfilman. Ayahnya memiliki rumah produksi sendiri. Namun melihat kemegahan rumah orangtua Ezar, Caira menciut dan makin merasa bahwa ia memang tidak setara dari segala arah dibandingkan dengan Ezar.
Keduanya masuk ke dalam rumah mewah tersebut. Mereka bergandengan tangan agar keluarga besar Ezar menganggap bahwa mereka sudah melakukan pendekatan yang signifikan. Caira tersenyum canggung saat tangan Ezar dengan lembut menuntunnya ke ruang makan. Mata wanita itu berpendar menatap satu persatu wajah keluarga besar Ezar.
"Assalamualaikum," salam Ezar hingga mendapat balasan. Keduanya lalu duduk ditempat yang sudah disediakan. "Apa kabar semuanya?"
"Alhamdulillah sehat. Ezar, perkenalkan istri kamu. Tante mau kenalan juga. Duh, cantik sekali," puji tante Ezar dengan tatapan kagumnya.
Ezar tertawa lembut kemudian memegang tangan istrinya. "Perkenalkan namanya Caira Maysa Nadhira. Dia anak dari sahabat Ayah, anaknya pak Dio Permana," jelas Ezar.
"Oh, Dio Permana yang pemilik rumah produksi film yang sangat terkenal itu, ya? Haha, ternyata kamu anaknya mantan tante, ya," ucap tante Ezar membuat Caira mengernyit tak paham. "Iya, dulu sebelum sama mama kamu, papa kamu pacaran sama tante. Tapi, ya karena papa kamu suka sama mama kamu, akhirnya kami berpisah dan enggak lama kemudian kedua orangtua kamu menikah meninggalkan tante dengan perasaan kacau," jelas tante Ezar kembali.
"Nama tante siapa? Mana tau saya kenal dengan tante," tanya Caira.
"Nama tante adalah Ira," jawab wanita itu dengan percaya diri dan terlihat angkuh tidak seperti saat awal tadi.
"Oh, saya ingat kalau mama pernah cerita ada seorang wanita yang terobsesi sama papa sampai-sampai dia suka mengarang cerita kemanapun seolah mama saya adalah perebut kebahagiaannya. Padahal papa tidak pernah menjalin hubungan dengan siapapun sebab setelah sekolah, mama dan papa sudah bertunangan," ucap Caira sambil tersenyum miring mencoba mematikan kalimat dari wanita berlipstik merah dihadapannya ini.
"Saya enggak pernah memberikan cerita palsu seperti itu," bantah Ira panik.
"Memang saya bilang itu tante? Saya hanya bercerita," kekeh Caira membuat Ira yang awalnya ingin membuat Caira tertekan malah dia yang tertekan dengan omongan menyakitkan yang Caira lontarkan padanya.
Di ujung meja sebelah kiri, wanita berhijab hijau tersenyum dengan pongah. "Mama kamu itu perebut pasangan orang sama kayak kamu. Jadi, jangan pernah menolak fakta karena kamu sendiri sama seperti mamamu," sinis wanita itu. Dia adalah Idah, mama dari Ezar sekaligus mertua yang selalu membencinya atas apapun.
"Anak ibu yang mau sama saya lalu kenapa saya yang dihina? Tanya aja sama dia, kenapa tidak menolak pernikahan ini dan memilih langsung menyetujui hubungan yang bahkan tidak pernah saya harapkan," lugas Caira yang sudah tidak tahan lagi dengan mertuanya.
"Caira," tegur Ezar membuat Caira menoleh kepadanya. "Kamu jangan bicara begitu."
"Kenapa? Karena dia orangtua? Kalau dia memang orangtua seharusnya memberikan contoh yang baik bukannya sewot tidak jelas begitu. Memang bagus perilaku buat manusia tua yang sebentar lagi akan masuk ke dalam tanah," lanjut Caira yang tidak puas menghina. Ezar yang mendengar ucapan istrinya memendam emosi yang ia rasakan. Seberapa jahat ibunya, Idah tetaplah ibu yang mengandung dan melahirkannya. Dia merasa sakit juga jika ibunya dihina.
"Jaga ucapan kamu. Kalau kamu tidak bisa menghargai ibu aku, sama saja kamu tidak bisa menghargai aku," ucap Ezar masih dengan menahan emosinya.
"Untuk apa aku menghormati suami yang bahkan diam saja ketika istri dan keluarga istrinya dihina? Menurut kamu, apakah kamu pantas dihormati?" balas Caira kembali membuat Ezar menutup mulutnya. Caira dengan segala kepandaiannya membuat orang lain tidak berkutik dengan ucapan yang ia lontarkan. Semuanya hanya diam tak membantah ucapan dari menantu galak mereka. Caira ternyata bukanlah menantu yang hanya akan diam jika dipojokkan. Dia berani melawan tanpa peduli bahwa orang itu akan sakit hati atau tidak.
Ezar menghela nafasnya. Ia menatap sekeliling kemudian berdehem. "Maaf, tapi saya mohon jangan memperlakukan istri saya dengan cara seperti ini. Dia tidak tau apapun dan-"
"Assalamualaikum," salam seorang wanita cantik dengan gamis merah jambu. Dia Haniya, wanita yang pernah hampir menjadi bagian keluarga Ezar. "Wah, maaf sekali aku terlambat. Tadi ada kemacetan panjang banget."
Idah berdiri kemudian memeluk Haniya dengan erat. Ia mengusap punggung wanita yang hampir menjadi menantunya dengan lembut. "Masyaallah, Haniya. Nak, kamu makin cantik saja. Pakaian kamu juga sederhana tapi tertutup dengan baik, wajah kamu berseri. Ya Allah, andai saja Ezar bersama kamu sekarang, mungkin kalian sudah memiliki anak yang lucu, cantik atau tampan, Haniya," kata Idah dengan suaranya yang lembut sangat berbeda jauh ketika berbicara dengan Caira.
Jujur saja hati Caira merasa sakit sekali saat ia harus mendengar ucapan dari mertuanya sendiri. Memuji masa lalu suaminya dan membuatnya merasa tak pantas hanya karena penampilannya yang tak tertutup.
Ezar yang juga mendengar ucapan ibunya diam-diam merasa kesal juga, namun dia masih menghormati wanita yang separuh hidupnya telah membesarkannya. Maka dari itu Ezar hanya bisa memegang tangan Caira yang sudah terkepal. Memberikan tepukan ringan sebagai penguat agar istrinya tak merasa terpuruk atas ucapan dari keluarganya.
"Duduk dulu, nak. Tunggu ayah sebentar lagi turun. Dia sibuk kerja terus sama kayak Ezar. Kamu sendiri tau gimana Ezar yang hobi bekerja. Nah, ayah sama seperti Ezar. Dulu juga kamu selalu marah kalau Ezar banyak bekerja. Hm, ibu senang banget dulu kamu perhatian sama Ezar sampai dia gemukan enggak kurus seperti sekarang," sindir Idah kembali bahkan mengungkit masa lalu romansa anaknya seakan Caira tak ada di sana.
Caira mencoba menahan emosinya saat Haniya sendiri tidak ada membantah bahkan tidak berniat mencoba melerai perilaku Idah yang sudah membuatnya merasa tersakiti. Ezar hanya bisa menenangkannya saja karena dia sendiri juga tau bagaimana keras kepala ibu kandungnya. Jadi, dia hanya berdoa saja agar Caira tidak mengamuk dan mengacak-acak apapun yang ada di hadapan mereka. Caira tidak akan segan melakukannya karena emosinya yang kadang tidak stabil.
Tak lama kemudian Ridho turun dan duduk di kursi khusus untuknya di ujung meja sebelah kanan. Pria yang masih terlihat gagah walau sudah lebih dari setengah abad itu menatap Caira dengan senyuman manisnya. "Caira, apa kabar menantuku yang cantik," sapa Ridho.
"Saya baik, om."
"Lho, saya juga sudah menjadi ayah kamu. Panggil ayah dong."
"Iya, ayah," kata Caira dengan lembut dan tersenyum sedikit. Dia mendengar decihan dari Idah dan Ira. Dua manusia yang ingin sekali Caira lindas dengan motor kesayangannya. Sungguh menyebalkan sekali para orangtua ini.
Ridho melihat ke sisi lain. Ia melihat Haniya yang tengah menundukkan kepalanya. Ridho terlihat tidak suka dengan kehadiran Haniya membuat wanita itu hanya bisa menunduk tak berani menampakkan wajahnya. "Kamu punya muka datang ke sini, Haniya?" tanya Ridho dengan nada yang terkesan mencekam. Dia terlihat jengah saat Haniya hanya menunduk tkut padanya. "Kamu bersalah tapi kamu yang paling takut di sini."
"Ayah! Dia tidak tau apapun. Kamu jangan memaksa dan memojokkan dia," pinta Idah memohon agar suaminya tidak mengatakan hal buruk lagi pada Haniya.
"Dia meninggalkan anak kita dengan alasan yang tidak jelas dan hanya melalui pesan. Lalu kamu menerima dia lagi ke sini. Apakah kamu tau betapa bodohnya kamu menerima wanita yang sudah menyakiti hati anak kita. Bahkan kamu dengan terang-terangan memuji dia. Kamu sangat luar biasa aneh, Idah."
Ucapan Ridho membuat Caira tersenyum culas. Dia menatap Idah dan tersenyum miring mengejek kekalahan Idah. Sungguh, dia kira Caira bisa dikalahkan. Nyatanya, dia bahkan tidak bisa berkutik saat tatapan mata Caira menampakkan betapa dia berani pada Idah dan tidak peduli jika posisinya sebagai seorang menantu tercoreng.
"Pak, saya meminta maaf atas apa yang telah saya perbuat dulu," lirih Haniya membuat semua mata menatap wanita itu. "Saya melakukan pernikahan saya juga karena keterpaksaan sehingga saya memilih mundur dari pernikahan Ezar." Haniya menangis hingga Ezar yang awalnya tidak tertarik malah menjadi mendengar ucapan wanita itu. Caira sendiri menaikkan sebelah alisnya melihat suaminya yang hendak mendengarkan saksama apa yang diucapkan Haniya.
"Apa maksud kamu, Haniya? Terpaksa? Maksudnya?"
"Saya terpaksa menikah dengan Abraham untuk melunasi hutang saya dan ayah saya. Abraham juga mengancam saya agar menikah dengannya supaya Ezar selamat. Dia terobsesi kepada saya dengan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan saya," jelas Haniya hingga semua orang iba dengannya, bahkan Ezar sekalipun bergetar dibuatnya.
"Lalu, apakah kamu masih mencintai Ezar?" tanya Idah.
"Saya masih mencintai Mas Ezar, bu. Tapi, saya bingung bagaimana agar keluarga ini tidak mendapatkan musibah atas apa yang saya rasakan."
Caira menganga dengan apa yang dikatakan oleh Haniya. Terlihat sangat tidak tau diri dan naïf. Dia bahkan berdecih merasa jijik dengan perilaku wanita ini.
"Ezar, bisakah kamu menikahi Haniya supaya dia bisa selamat dari jeratan Abraham? Kamu tidak kasihan dengan Haniya?" tanya Idah membuat Caira menatap mertuanya itu dengan murka.
Ezar menepuk tangan Caira perlahan membuat Caira bisa kembali menahan emosi. Pria itu kini bertatapan dengan Haniya. Tak dipungkiri bahwa ia masih merasakan debaran di dadanya. Namun, ia harus tegas dengan perasaannya saat ini sebab ia sudah menikah dan tidak ada hak atas masa lalu datang merusaknya.