"Caira, bangun. Ayo kita sholat subuh," lirih Ezar dengan lembut. Daritadi sebenarnya dia sudah membangunkan Caira. Tapi gadis ini malah membentaknya dan tidur kembali. Tak lama Ezar membangunkan lagi dan belum ada hasil. Ternyata memang benar apa kata Dio. Caira terlalu susah untuk bangun. Apalagi ditambah kebiasaannya yang suka main ponsel sampai jam dua pagi. Kalau Ezar tidak menarik ponselnya semalam, mungkin wanita ini akan tidur jam 6 pagi.
Panggilan kembali Ezar ucapkan. Caira makin memeluk gulingnya dan menarik selimut sampai leher. Dengan usil Ezar mengusap wajah Caira dengan tangan yang ada airnya. Caira kaget kemudian langsung duduk. "Oh, hujan!"
Lelaki tampan dengan setelan baju koko dan sarung itu tertawa terbahak-bahak saat Caira masih menutup matanya tapi gelagapan seperti ikan kurang air. Dia kembali mengusap wajah Caira dengan air. Tertawa kembali saat Caira baru sadar kalau dia tengah dikerjai dan bukan karena hujan. Mata Caira menatap Ezar dengan tajam. Pria dihadapannya tertawa puas dan membuat Caira memukul pria tampan itu dengan bantal. "Sialan! Apa-apaan sih! Kamu bisa bangunin saya dengan baik dan enggak usah siram kayak begitu!"
Dalam hati Ezar berkata bahwa dia sudah membangunkan harimau tidur. Wajah Caira yang putih memerah karena emosi saat ia harus menerima perbuatan Ezar. "Maaf, tadi saya sudah bangunkan kamu. Bahkan sudah daritadi. Tapi kamu tidak bangun dan akhirnya saya pakai cara alternatif yang lebih ampuh."
"Ampuh kepala kamu petak! Jadi basah kayak gini muka saya. Lagian ngapain bangun jam segini, sih? Masih ngantuk!"
"Caira, adzan sudah berkumandang. Kamu sekarang bangun dan wudhu. Kita akan sholat bersama. Ayo." Ezar mencoba menarik tangan Caira dengan lembut agar perempuan itu bangun dan segera ke kamar mandi. Tapi gadis itu malah menyentak tangan Ezar kuat sehingga Ezar kesakitan saat tangannya diputar. Kebiasaannya memang bermain fisik. Ezar baru tau gadis ini rajin belajar ilmu bela diri semenjak SMP. Pantas saja badannya kuat.
"Enggak usah sentuh gue!" sentak gadis itu kemudian ia berdiri untuk ke kamar mandi. Caira berwudhu kemudian dalam hati bertanya. Kenapa dia jadi wanita penurut? Dari dulu dia lebih dominan dan sekarang dia harus menuruti seseorang yang sudah menjadi suaminya? Tidak bisa dibiarkan. Harga dirinya serasa diinjak. Ayahnya sendiri bahkan tak banyak memerintah. Namun, Ezar yang orang baru malah seenaknya. Parahnya lagi Caira menurut saja.
Setelah berwudhu, Caira memakai mukena. Dia berpikir terlebih dahulu bagaimana niat sholat subuh. "Gue tadi malam kayaknya udah hapal, deh."
Ezar terkekeh lalu menghadap ke belakang. Ia memasukkan rambut Caira ke mukena agar lebih rapi kemudian mengajari Caira membaca niat sholat subuh. Akhirnya mereka menjalankannya dengan khidmat. Setelah sholat, Caira berniat membuka mukenanya. Namun, tangan Ezar dengan cepat menahan pergerakan perempuan itu. "Belajar mengaji, yuk."
Alis Caira mengernyit. Tak lama kemudian dia tertawa keras. Manusia ini mengajaknya membaca Alqur'an? Dia lulus iqra saja tidak. "Ngaji aja sendiri. Saya enggak pandai baca Al-Qur'an."
"Lho, mengaji enggak harus bisa baca Al-Qur'an. Kalau kamu belum bisa baca Al-Qur'an, kamu bisa belajar dulu dasarnya di Iqra. Saya ajarkan kamu sampai bisa. Kamu mau tidak?" tawar Ezar yang dibalas gelengan kepala dan tangan menyilang di depan muka Ezar.
"Maaf, enggak minat. Saya sudah lama tidak membaca Alqur'an. Allah mungkin udah enggak menerima amal saya karena sudah berapa tahun tidak menyentuh Al-Qur'an." Caira menatap Ezar sendu. Tidak, dia tidak berusaha sedih. Hanya saja ia merasa hina karena tidak pernah mengamalkan membaca Alqur'an lalu tiba-tiba dia membaca Al-Qur'an. Setan mungkin akan tertawa kalau melihat dia menjadi wanita sholehah yang rajin ibadah.
"Caira," panggil Ezar lembut kemudian menarik tangan Caira dan meletakkannya di lututnya. "Allah maha baik dan pemaaf. Kamu sudah berapa tahun tidak sholat, tapi Allah menerima kamu dengan baik ketika kamu sholat lagi dengan hati yang lapang. Begitu juga dengan amalan lainnya. Kamu harus paham bahwa Allah tidak akan membenci hambanya. Justru dia menunggu hambanya untuk bertaubat dan meminta banyak kepada Allah. Kamu enggak boleh suudzon. Kalau kamu merasa dirimu kurang dalam ibadah dan merasa enggak pantas. Sebaiknya kamu beribadah lebih rajin lagi bukannya insecure."
Penjelasan Ezar membuat Caira sedikit tenang. Tapi tetap saja ia merasa malu. Maka dari itu ia membiarkan Ezar membantunya membaca Iqra seperti anak-anak. Ya, setidaknya dengan menikah bersama Ezar dia bisa berubah. Semoga saja akan terus begini. Ah, tapi dia rindu alkohol. Menyebalkan sekali.
-/-
Ezar memasuki kantornya lalu meletakkan seluruh berkasnya. Ia baru saja pulang mengisi seminar tadi. Syukurlah semuanya berjalan lancar. Setelah menjadi dosen, dia sedikit sibuk tidak seperti sebelumnya saat Ezar masih menjadi seorang asisten dosen. Apalagi sekarang dia harus menerima mahasiswa bimbingannya. Ya, sedikit kesusahan awalnya. Tapi, dia menikmati semuanya apalagi Caira menjadi salah satu mahasiswa bimbingannya. Dia senang atas hal itu dan berusaha semangat.
Suara ketukan pintu membuat Ezar duduk tegak. "Masuk," ucapnya dan seketika pintu terbuka dan menampilkan wanita yang sudah lama pergi darinya.
"Haniya?"
"Assalamualaikum, Mas Ezar." Haniya berjalan dengan anggun ke arah Ezar. Wanita cantik berkerudung merah dan gamis merah itu. "Mas, apa kabar?" tanya wanita itu. Haniya tersenyum manis dengan penampilannya yang terlihat anggun. Wajahnya masih saja cantik dengan alis tebal dan kulit kuning langsat. Hanya saja wajah Haniya semakin kurus dengan terbukti tulang pipi yang menonjol.
Ezar tersenyum sedikit kemudian mengangguk. "Waalaikumsalam, Haniya. Alhamdulillah saya sehat. Kamu... kenapa bisa di sini?" tanya Ezar berniat tidak menyinggung hati Haniya karena takutnya Haniya berpikir Ezar tidak suka kedatangannya.
"Mas, aku bekerja di sini sekarang. Aku menjadi dosen Matematika Diskrit. Setelah menjalani S2 dan baru lulus tahun semalam," ungkap Haniya dengan bahagia.
Ezar mengangguk kemudian ia memberikan minum kepada Haniya. "Bagaimana kabar pernikahan kamu, Haniya?" tanya Ezar. Jujur, sebenarnya ada rasa sakit di dalam hatinya ketika dia harus menanyakan hal tersebut pada Haniya. Dia menyukai Haniya sejak lama saat mereka baru saja memasuki SMA. Perasaan itu tidak akan hilang begitu saja dan masih tersisa walau hanya sedikit.
"Hm, Alhamdulillah baik. Aku dengar kamu sudah menikah juga, Mas?"
"Alhamdulillah, saya sudah menikah beberapa hari yang lalu. Maaf, saya tidak tau kalau kamu pulang ke Indonesia saat ini, Haniya."
"Ah, enggak apa-apa. Aku juga paham karena aku dengar pernikahan kalian mendadak. Semoga kalian menjadi keluarga yang sakinah, Mas," lirih Haniya yang dalam hatinya juga menyimpan sakit. Terpaksa menikah dengan lelaki yang tidak ia cintai nyatanya tak membuat ia merasakan kebahagiaan. Cinta karena terbiasa tidak ia rasakan karena rasa itu menyimpan nama Ezar begitu banyak dari apa yang ia perkirakan. Ezar sama sekali belum mengetahui perihal ini. Lalu sekarang Haniya ingin menyampaikan kejujuran yang sebenarnya mengapa ia meninggalkan Ezar disaat mereka akan menikah dan sudah bertunangan.
Ezar mengucapkan kalimat pengampunan kepada Allah atas apa yang dia pikirkan. Sungguh jahat jika ia berpikir bahwa ia bisa kembali dengan Haniya. Dia berusaha mencintai Caira dan mengubah wanita itu menjadi istrinya kelak di surga. Dia tidak mau pikiran jahat ini semakin merajainya sehingga dia kembali mengucap kalimat ampunan.
"Suamiku tukang mabuk, Mas," lirih Haniya tiba-tiba membuat Ezar menatap wanita yang sudah menangis itu. "Dia selalu mabuk dan membuat aku bingung. Apakah dia bisa menjadi imam yang baik buat aku seperti bagaimana kamu membimbing aku dulu."
Ungkapan itu makin membuat Ezar kalap. Dia berusaha untuk peduli sesama teman. "Bagaimana bisa kamu mendapatkan suami seperti itu?"
"Aku juga tidak tau, Mas. Bapak menjodohkan aku dengannya karena hutang bukan karena dia anak sahabatnya. Aku ditipu dari sana-sini. Aku dihancurkan, Mas. Lalu sekarang aku harus kehilangan kamu juga. Kenapa, Mas?"
"Kamu menikah dengan siapa, Haniya?" tanya Ezar penasaran sebab Haniya meninggalkan dirinya tanpa sebab dan mengatakan hanya ingin membatalkan pernikahan mereka.
"Aku dijodohkan dengan Abraham, Mas. Sahabat kita waktu SMA," lirih Haniya kembali kemudian menangis tersedu-sedu. "Bapak hutang banyak sekali dengan Abraham. Awalnya Abraham menawarkan hutang dalam jumlah sedikit tapi bapak makin ketagihan untuk berjudi sehingga hutang lagi. Karena terlalu menumpuk, aku dijadikan jaminan, Mas. Aku enggak tau apapun. Aku dihancurkan oleh mereka, Mas."
Ezar sudah tidak heran dengan perilaku Abraham. Tapi, dia juga sangat kaget saat Haniya menceritakan perilaku licik pria itu. Waktu meninggalkan dirinya, Haniya hanya memberikan pesan singkat dan kabur begitu saja dari rumah. Maka dari itu ia ternyata bisa mendapatkan jawaban ini membuat ia shock juga.
Tangisan Haniya terasa menyayat hatinya. Ezar ingin memberikan kekuatan pada Haniya tapi dia hanya bisa mengucapkannya saja. "Saya tau kamu merasakan sakit. Ada Allah yang akan selalu membantu kamu, Haniya. Allah akan selalu ada untuk kamu," kata Ezar dengan tenang.
"Lalu, apakah Allah akan mengembalikan apa yang sudah aku punya dari dulu? Seperti aku yang mengharapkan kamu kembali, Mas."
Pertanyaan itu tentunya tidak bisa dijawab oleh Ezar. Dia memiliki seorang istri dan dia tidak berhak melakukan kejahatan pada istrinya. Berharap pada Haniya juga suatu kebodohan sebab perempuan itu juga meninggalkan dirinya dengan perasaan kosong dan hampa.
"Jujur saja saya masih suka memikirkan kamu, Haniya. Tapi, saya tidak mau terjebak di masa lalu dengan kamu yang sudah menikah juga. Saya harap kamu paham bahwa kita sudah selesai, Haniya."
"Mas, aku masih mencintai kamu. Tolong bantu aku, Mas."