Saat itu, Rasanya Judith ingin menimpuk kepala Eggi dengan laptop yang sedang digunakannya.
"Iya, berenang, basket atau voli. Maksud saya, apa Anda suka berolah raga?" Tanya Eggi lagi.
"Owhh, saya tidak punya waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting seperti itu." Jawab Taufik Wahyudi Sang Programmer.
"Ehmm, lantas...bagaimana anda bisa menjaga tubuh tetap ideal dan sehat?" Tanya Eggi lagi.
"Saya hanya menjaga pola makan saja, apa yang ada dalam kondisi fisik saya, termasuk wajah rupawan, itu adalah bawaan dari lahir." Jawab Taufik Wahyudi dengan pedenya.
Judith nyaris tersedak. Eggi tersenyum sambil pura-pura mencatat jawaban dari pertanyaannya.
"Orang ini percaya diri banget! Padahal tampangnya biasa saja. Di bandingkan sama Eggi, sih! Masih lebih cakep Eggi. Ehhhh!" Tiba-tiba saja Judith melotot dan merasa kesal pada dirinya sendiri.
"Kenapa aing jadi bandingin dan memuji Eggi, Sihhh!" Rutuknya dalam hati.
Eggi memperhatikan Judith yang terlihat gelisah, keringat menetes dari keningnya padahal ini masih pagi.
Sepertinya, pamit sekarang juga adalah jalan ninja untuk menghindari perdebatan yang tidak penting.
"Euhmm, Baiklah Pak Taufik, terima kasih atas waktunya. Maaf sudah mengganggu waktu anda!" Judith berpamitan.
"Ahhh, tidak apa-apa, Mbak! Saya seneng sudah di wawancara oleh reporter secantik Mbak. Kapan-kapan, kalau ada waktu, bisa kok, kita ngobrol-ngobrol santai." Jawabnya dengan raut wajah sumringah kepada Judith.
Eggi melotot. Dia merasa belum selesai melakukan wawancara. Tapi Judith sudah menarik tangannya sambil memberikan kode dengan bibir dan matanya yang menyipit.
Tiba-tiba saja Judith jadi terlihat seperti Kak Rose lagi ngamuk. Eggi bergidik.
Judith agak menghentak-hentakan kakinya, saat berjalan menuju mobil yang di parkir di luar gerbang.
Eggi melihat wajah Judith yang masam dengan bibir terlipat. Cepat-cepat dia menyalakan mobil. Tanpa di suruh, Judith langsung membuka pintu mobil dan masuk begitu saja sambil membanting pintu.
"Heh! Kenapa denganmu?" Eggi tak kuasa membendung rasa penasaran melihat Judith cemberut.
"Gue yang harusnya tanya! Loe itu kenapa?" Tanya Judith sengit.
"Emang gue kenapa?" Eggi sok polos.
"Hah! Pertanyaan macam apa itu? Nggak relate sama yang seharusnya di tanyakan." Protes Judith.
"Kalau benar dia sepintar itu, dia pasti tahu kalau olah raga sangat penting buat kesehatan. Pake bilang bawaan lahir segala. Memangnya dia sekeren Chriss Evans? Ohh, tidak!" Jawab Eggi.
"Itu terserah dia dong, mau muji dirinya setinggi langit juga. Toh, namanya memang ada dalam daftar!" Jawab Judith.
"Justru gue penasaran, orang kacrut seperti dia kok dijadikan role model. Di tanya coding, jawabannya nggak jelas. Ngalor ngidul! Apa dia bener-bener programmer atau copas dan klaim hasil kerja orang lain?" Eggi terlihat jengkel. Tapi dia tetap konsentrasi menyetir.
Kali ini Judith terdiam. Soal IT, Eggi juga pasti menguasai. Kalau enggak, tidak mungkin dia bisa membuat program game yang paling laku dan banyak di unduh saat ini.
"Orang itu cuma sok pinter! Tampang pas-pasan juga, narsisnya ngalahin Hyunbin." Eggi menggerutu lagi.
"Shit! Untunglah gue narik Eggi keluar. Kalau enggak, itu orang bakal habis di telanjangin belangnya." Seru Judith dalam hati.
"Yeehh, kenapa diem? Nggak terima? Mau balik lagi kesana? Ayookk!" Sepertinya Eggi kesal karena Judith nggak merespon apapun.
"Apaan sih? Malu-maluin aja. Udah pamitan ya sudah!" Jawab Judith.
"Terus kenapa diem? Gue kan capek ngomong sendiri dari tadi?" Tanya Eggi.
"Laper!" Jawab Judith pendek.
"Nahh, bilang dari tadi kek!"
Judith kaget melihat tingkah Eggi seperti itu. Well, menurut Judith sih, marahnya Eggi keterlaluan. Tapi, kali ini Judith males debat.
"Mau makan apa?" Tanya Eggi dengan suara yang lebih tenang.
Judith melihat daftar menu.
"Ikan bakar aja deh!" Judith menunjuk makanan yang paling terjangkau dompetnya.
Eggi mengangguk. Dia segera mencatat pesanan dan memberikannya kepada pelayan.
"Sorry, gue marah-marah. Tapi aslinya, gue jengkel banget denger omongan orang itu. Sebagian besar, karya yang dia bangga-banggakan, itu hasil karya mahasiswa yang dia copas dan klaim, sebagai bahan buat dia meraih gelar Professor." Eggi menjelaskan.
"Loe tahu dari mana?" Judith masih tak percaya.
"Semalam gue riset dulu soal karya-karya orang itu. Ada adik angkatan yang pernah ikut kuliahnya beberapa semester. Hasilnya, dia di tendang dari kelas karena membantah teori-teorinya." Jawab Eggi.
"Apakah hal itu jadi masalah besar? Maksud gue, kalau ngeklaim hasil pemikiran mahasiswanya. Kan dia juga yang ngajar?" Tanya Judith.
"Loe serius nanya seperti itu?" Eggi menatap tajam.
"Apa loe nggak tahu, kalau perbuatan itu sangat memalukan untuk seorang akademisi seperti dia? Copy paste karya mahasiswa, lalu di klaim bahwa itu hasil karyanya. Gampangnya, gimana kalau hasil kerja loe di akuin sama reporter lain, padahal dia nggak kerja sama sekali?" Eggi balik bertanya.
Judith tertegun. Kalau itu terjadi padanya, jelas dia bakal ngamuk dan nuntut orang itu, lalu minta ganti rugi sampai mampus.
"Ngerti!" Judith mengangguk.
"Ini soal reputasi. Orang itu, membangun reputasi oleh karya orang lain. Dia sangat licik." Eggi masih saja jengkel.
"Terpaksa gue tetap memberitakan yang baik-baiknya tentang orang itu. Kalau nggak, Madam bisa ngamuk." Judith meniup wajahnya sendiri hingga poninya terangkat.
"Iya nggak apa-apa. Itu kan kerjaan loe. Gue sih, cuma ingin membuktikan sendiri, pria yang nyaris sempurna itu macam apa?" Eggi beralasan.
Judith diam. Dia nggak tahu harus berkata apa. Alasan Eggi cukup masuk akal.
Pelayan datang membawakan pesanan mereka. Judith melongo saat melihat makanan yang di sajikan melebihi kapasitas dompetnya.
Ikan bakar memang pesanan dia, terus Eggi pesan ayam bakar dua porsi, sup kaki sapi dua mangkuk, udang goreng tepung seporsi, kangkung belacan, sambel dan lalapan.
"Loe bakalan habis makan segini sendirian?" Judith melongo.
"Ya enggak lah! Gue pesen kan buat dimakan berdua sama loe! Nih, sup-nya!" Eggi mendekatkan mangkuk sup yang wangi lebih dekat ke Judith.
"Ayo, makan yang banyak! Nggak usah sungkan-sungkan, biar gue ada temennya. Laper banget gue!" Eggi langsung menghajar nasi dan lauk pauk dihadapannya.
Judith tentu saja girang bukan main.
"Ini sih, rejeki anak yang nggak soleh-soleh amat!" Katanya dalam hati.
Judith nampak menikmati makanannya, terutama udang goreng krispi. Kelihatannya, dia sangat suka menu yang ini. Eggi memperhatikan dengan sudut matanya. Ada senyum yang tak terlihat dari wajahnya.
"Kok, dia malah kelihatan cantik saat lagi makan ya?" Pikir Eggi heran.
"Sup-nya enak banget ya?" Kata Judith sambil menyuapkan lagi ke dalam mulutnya.
Eggi mengangguk. Dia juga ikut mencicipi rasa sup yang jadi kesukaannya itu.
Judith orangnya nggak sok jaga image. Biasanya, cewek menunjukkan permusuhannya dengan makanan, karena takut gendut. Tapi, Judith makan dengan lahap seperti udah berbulan-bulan nggak nemu makanan.
Eggi melihat Judith sedang menjilat bibirnya sendiri yang kena sambel. Bibirnya jadi berwarna merah seperti kelopak bunga. Eggi menelan air liurnya.
"Shit! Gue kenapa sih?" Eggi sadar dari lamunannya.