"Ehhhh! Beneran?"Judith masih melongo.
"Iya. Kerjaan loe kan banyak di rumah, nguras pikiran juga. Sama aja kayak kerjaan aku. Makanya, sengaja gue beliin persediaan makanan. Ambil nih!" Eggi menyimpan kantung keresek berisi belanjaan ke pangkuan Judith.
"Euhh, terima kasih banyak, yah!" Sahut Judith takjub.
"Sama-sama." Eggi mengangguk.
Judith segera turun dari mobil dan menutup pintunya pelan-pelan.
"Sampai besok!" Eggi melambaikan tangan. Judith juga melambaikan tangan kepada Eggi.
Judith masuk ke kamarnya, lalu menyalakan lampu karena hari sudah menjelang malam.
Judith membereskan dulu barang belanjaan yang diberikan oleh Eggi padanya.
"Kalau buatku, sih! Ini persediaan buat dua Minggu. Nggak nyangka, Eggi yang terlihat cuek dan sombong, ternyata care juga. Apa karena aku semiskin ini, Ya?" Tanya Judith dalam hati.
Judith membuat nasi untuk makan malam, lalu mandi dan mencuci pakaian kotornya. Setelah itu, Judith mengenakan daster batik tanpa lengan, menyisir dan menjepit rambutnya yang ikal.
Makan malam kali ini, dadar telur dan sosis goreng. Cukup mengenyangkan dan sederhana buat seleranya yang tidak pernah pilih-pilih makanan.
Saat Judith sedang makan, ponselnya bunyi.
"Eggi?" Judith heran.
"Hallo!" Judith melambaikan tangan saat wajah Eggi muncul di layar ponsel.
"Hei, mau mastiin aja, loe dah makan malam atau belum?" Tanya Eggi.
"Nihh, lagi makan!" Jawab Judith sambil mengarahkan kamera ke piring
"Heheh, ngirit amat makannya? Lagi diet?" Eggi terkekeh geli.
"Buatku ini cukup, yang penting aku tetap hidup." Jawab Judith lagi.
"Besok-besok tambahin sayuran. Loe jaga kesehatan, jangan abaikan." Tiba-tiba wajah Eggi berubah serius.
"Baik, Pa Dosen!" Judith mengangguk, sambil menyuap sesendok besar nasi dan telor yang sudah dibubuhi kecap manis.
"Hahahahahaha!" Eggi malah ngakak geli.
"Loe lagi apa? Loe sendiri udah makan belum?" Tanya Judith.
"Udah, barusan Luki beli capcay." Jawab Eggi mengangguk.
"Owhhh! Syukur dehh!" Judith mengangguk dengan mulut penuh nasi.
"Gue lanjut kerja, Ya! Besok gue jemput." Kata Eggi.
"Ok!" Judith mengacungkan jempolnya.
Sekilas, Judith melihat seperangkat komputer dan alat-alat penunjangnya.
"Wuihh, kursinya doang di atas lima juta. Nggak kebayang peralatan komputernya. Huftt, ngiri dehh! Kapan aku bisa sukses kayak Eggi?" Judith menghembuskan nafasnya.
"Perasaan, dari dulu udah kerja keras, kerja apa saja dijabanin. Kok, gue nggak sukses-sukses dan jadi kaya, yah?" Judith termenung.
"Nasib orang emang beda-beda. Bisa bertahan hidup disini aja, bagiku sudah untung. Nggak kebayang kalau luntang-lantung nggak jelas." Judith kembali mengunyah makanannya.
Lalu, Judith teringat kepada keluarganya di Jakarta. Kalau saja dia mau menurut apa kata Ibunya, dia tidak akan kesulitan untuk hidup. Namun, sejak Ibunya menikah lagi, Judith tidak ingin merepotkannya, terutama, Ibunya juga harus berbagi perhatian dengan saudara tirinya.
Sesuatu terjadi ketika Judith mencoba berbaur dengan saudara tirinya saat itu. Tapi, Judith tidak sanggup menceritakannya karena takut membuat Ibunya sedih.
"Mengapa juga, Ibu harus menikah lagi dan meninggalkan kenangan tentang Ayah? Apa dulu hidup dengan Ayah tidak bahagia? Itu tidak mungkin! Ayah adalah lelaki terbaik dan paling sempurna dimataku." Pikir Judith.
Judith sibuk membereskan piring bekas makan, bersih-bersih kamar kostannya.
Sementara itu, Eggi kembali dengan rancangan game terbarunya. Design tokohnya sudah jadi, begitu juga dengan setting dan jalan ceritanya. Eggi baru menyelesaikan program untuk level tiga sebelum menambah lagi tingkat kesulitannya.
"Hoaaahmm!" Eggi menguap sambil meregangkan tubuhnya.
"Ngopi, bro!" Luki membuatkan secangkir kopi panas buat Eggi.
"Thanks, kayaknya emang gue butuh kafein!" Eggi beranjak dari kursinya dan menghampiri meja, duduk bersandar di sofa besar berwarna kuning kesayangannya.
"Udah sampai mana kerjaannya?" Tanya Luki sambil merokok.
"Baru beres program buat level tiga. Besok bkin lagi buat level empatnya." Jawab Eggi sambil menyeruput kopinya yang masih panas.
Kopinya hitam dan pekat, namun cukup manis. Eggi merasa agak Segaran setelah mencicipinya.
"Maksudku, kerjaan sampingan itu. Yang ikutan wawancara sama Neng Juju." Jawab Luki.
"Namanya Judith!" Eggi meralat.
"Justru karena namanya Judith, enakkan manggil dia Juju." Jawab Luki kalem.
"Paling juga kepalamu di gampleng sama dia!" Eggi terkekeh geli.
Terutama saat ingat bagaimana wajah Judith, ketika dia marah. Matanya yang melotot, pipinya yang kembang kempis, terus bibirnya yang mengerucut.
"Segalak itukah dia?" Luki tertegun.
"Huum!" Eggi mengangguk.
"Wuihh, tapi kok, loe betah barengan sama dia?" Tanya Luki heran.
"Habisnya, dia lucu. Kadang kayak anak-anak, kadang juga dewasa banget." Eggi tersenyum geli saat mengingat cara Judith makan yang mirip Tupai, saat pipinya menggembung.
"Wahh, begitu ya!" Luki manggut-manggut.
"Tapi, Judith cerdas dan menyenangkan. Orangnya juga apa adanya, nggak neko-neko kayak cewek lainnya yang sempat gue kenal." Eggi memuji.
"Wahh, perkembangan baru niih! Loe muji-muji cewe. Biasanya, loe banyak protes soal cewe baik dari segi penampilan maupun attitude." Luki heran.
"Entahlah! Mungkin karena baru menemukan yang seperti ini. Kadang gue juga bertanya-tanya. Kalau dari segi penampilan, gue yakin Judith bukan orang biasa. Tapi keseharian dan kehidupannya saat ini, jauh dari kata mapan. Tapi, gue salut! Dia pekerja keras dan pandai bersyukur." Eggi mengingat-ingat.
"Wahh, kalau dijadikan istri, dia tuh tipe istri yang nggak bakal bawel, bukan tipe istri yang bakalan menuntut hal yang ga masuk akal sama suaminya. Ehh, Juju udah punya pacar belum?" Tanya Luki antusias.
"Kayaknya belum tuh! Tapi, nggak tahu juga, gue nggak nanya-nanya detail." Jawab Eggi.
"Emang kenapa?" Tanya Eggi heran.
"Gue pengen ketemu, dongg! Ajakin gue ikutan wawancara, sapa tahu dia sama gue cocok!" Jawab Luki dengan semangat empat lima, tetapi harus terdiam saat melihat tatapan sengit Eggi.
"Nggak usah macam-macam deh, dasar duda bulukan!" Eggi sewot sambil melempar bantal kepada Luki.
Esok harinya, Eggi menjemput Judith. Hari ini, mereka mau mewawancarai seorang model pria yang sedang naik daun, namanya Gerrian. Menurut info terakhir, dia didapuk menjadi Brand Ambassador sebuah merk parfum pria dari Italia.
"Silakan tunggu!" Seorang wanita cantik tersenyum kepada Eggi saat menyuruhnya menunggu, namun pandangan matanya terlihat mengejek kepada Judith.
Gerrian masuk ke lobby tempat keduanya menunggu. Dia tersenyum sangat ramah kepada Eggi, tapi memandang sinis kepada Judith.
"Owhh, Iya! Kenalkan, saya Gerrian, panggil saja Gerri." Katanya mengulurkan tangan kepada Eggi dan melewati Judith begitu saja.
"Kenapa Siputnya Spongebob ini ga ramah sama aku?" Judith tertegun.
"Mungkin dia menganggap gue assistennya Eggi kali!" Pikir Judith.
"Silakan dimulai saja pertanyaannya, Pak!" Gerrian mempersilakan kepada Eggi untuk memulai wawancaranya.
"Sebetulnya, saya hanya mengikuti saja sesi wawancara untuk mengajukan beberapa pertanyaan. Yang bertugas mewawancai anda, sebagai perwakilan dari majalah adalah Nona Judith." Eggi menunjuk kepada Judith disebelahnya.
"Owhh! Jadi dia yang mau ngewawancara gue?" Gerrian terlihat meremehkan Judith dengan senyum sinisnya.