"Jadi, maksud Anda, perempuan kampungan ini yang mau wawancara model seperti saya?" Gerrian membelalakan matanya.
Judith mengerutkan keningnya. Kedua alisnya nyaris bertemu.
"Apakah Anda menilai dari penampilan sehingga merasa, bahwa saya tidak layak mewawancarai Anda?" Tanya Judith sopan.
"Owhh, come on! Sudah jelas begitu! Mana bisa seorang wanita yang bahkan tidak tahu mode, menggunakan tas robek-robek dan sepatu murahan, bakal mengerti dunia modeling yang menjadi profesi saya? Ayolah! Jangan bercanda! Anda pasti hanya penggemar dari kalangan menengah yang meminta tolong orang terhormat untuk dikenalkan pada saya!" Gerrian berkata dengan angkuhnya.
"Gerri, Anda jangan keterlaluan!" Eggi mengingatkan.
"Tidak! Suruh dia pergi! Bisa turun kredibilitas ku sebagai model, jika orang dari majalah murahan mewawancarai saya." Jawab Gerrian sinis.
"Exscuse, Me! Yang anda katakan majalah murahan, adalah majalah online yang menjadi rujukan setiap wanita berkelas di negeri ini, bahkan hasil tulisan saya, bisa membuat nama anda terkenal seantero dunia, atau bahkan bisa membuat anda kembali jadi gigolo yang di sewa oleh tante-tante kesepian, Tuan Gerri Siput!" Jawab Judith sengit.
"Jangan kurang ajar, kau wanita rendahan!" Sahut Gerri marah.
"Kita lihat saja nanti, bagaimana tulisan saya bisa mengupah pandangan separuh wanita bodoh yang sudah memilihmu menjadi pria idamannya." Kali ini, Judith yang tersenyum sinis.
Judith merasa harga dirinya diinjak-injak oleh Gerri yang angkuh. Gerri sudah menghinanya secara pribadi, sekaligus merendahkan nilai profesi dan majalah tempatnya bekerja.
"Tidak usah mengancam! Dasar kampungan!" Gerri tersenyum sinis.
"Itu lebih baik daripada Anda yang bagus covernya saja, tapi miskin Attitude. Sorry, gue nggak sebodoh kamu dalam menilai seseorang. Terima kasih!" Judith langsung berdiri dan meninggalkan tempat.
Eggi tertegun. Dia benar-benar tak menyangka, pria yang dari tampilannya seperti orang terhormat, ternyata mulutnya jahat.
"Darimana, sih! Anda memungut sampah itu?" Gerrian tertawa.
Bugh! Bughh! Eggi memberikan bogem mentah di pipi dan hidung mancung bak bule itu.
"Arrghhh! Sakit! Hwaaaaaa, hidungku berdarah!" Gerrian mengaduh kesakitan hingga membuat para Staff tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Sialan!" Gerrian meludah.
"Sekali lagi kau menghina rekanku! Akan kupastikan kau menganggur seumur hidup!" Eggi mengancam.
"Ada apa ini?" Seorang pria yang merupakan pimpinan Agency kaget melihat Gerrian sedang dikompres kantung berisi es batu pada hidungnya.
"Apa anda perwakilan dari Agency pria bedebah ini?" Tanya Eggi tajam.
"Benar! Siapa Anda sebenarnya sehingga membuat model saya jadi seperti ini?" Pria berperut buncit itu terlihat kesal.
"Anda harus mencari model lain. Orang seperti dia hanya akan merusak reputasi Agency yang anda kelola." Jawab Eggi.
"Apa maksudnya?" Pria itu kaget.
"Bisa bicara secara pribadi?" Tanya Eggi.
Pria itu mengangguk.
"Silakan bicara di kantor saya, Pak! Febi, kau urus dulu Si Gerri." Pria itu mempersilakan kepada Eggi, sekaligus memerintahkan staff-nya.
Barangkali ada setengah jam, Eggi berbicara dengan pria berperut buncit yang menjadi pimpinan di Agency itu. Entah apa yang sebenarnya mereka bicarakan. Namun, saat Eggi keluar dari ruangannya. Pria itu membungkuk penuh hormat kepada Eggi.
"Maafkan anak buah saya, Pak! Saya secara pribadi akan meminta maaf secara terbuka kepada Nona Judith dan Majalah yang diwakilinya." Katanya.
Tentu saja, hal itu membuat Gerrian dan para Staff terbelalak karena kaget.
"Bang! Apa-apaan ini?" Gerrian tak terima.
"Diam kau! Dasar cecunguk tengik!" Pria buncit itu langsung memelototi Gerrian.
"Terima kasih! Saya tunggu itikad baik Anda." Eggi mengangguk.
"Akan saya pastikan orang ini menyesal!" Sahut Pimpinan Agency sambil tetap membungkuk.
"Baik, saya permisi!" Jawab Eggi sambil mengangguk dan melempar tatapan membunuh kepada Gerrian.
Saat dirasanya Eggi sudah menjauh, Gerrian berdiri dan protes lagi.
"Aku tidak mau minta maaf sama pria sombong itu! Apalagi kepada wanita kampungan itu! Jangan memaksaku, Bang! Kalau tidak, aku akan mundur dari iklan ini!" Gerri mengancam.
"Mundur saja. Lebih baik aku mencari model lain yang lebih baik darimu, daripada menghancurkan reputasi Agency, yang kubangun dengan susah payah." Jawab pria berperut buncit itu.
"Apa? Jangan bercanda, Bang! Perusahaan parfum itu yang memintaku!" Gerri benar-benar tak terima.
"Aku akan mengurusnya. Justine Hadiwijaya lebih baik darimu! Perusahaan manapun tak akan menolaknya!" Pimpinan Agency itu meninggalkan Gerri yang melongo begitu saja.
"Justine Hadiwijaya? Astaga!" Seorang Staff terpekik karena kaget sekaligus senang.
Bagaimana tidak? Justine Hadiwijaya adalah nomer satu top model di Tanah Air. Dia juga sudah melanglang buana ke Manca Negara selama bertahun-tahun. Gerrian langsung lemas.
Eggi mencari-cari keberadaan Judith. Setelah setengah jam mencari dan menghubunginya via telepon, ternyata Judith sedang duduk sendirian di Taman Kota yang menghadap ke air mancur.
"Juju!" Eggi malah keceplosan manggil dengan nama pendek itu.
Judith menoleh. Dia berusaha tersenyum. Rambut ikalnya menari-nari tertiup angin, wajahnya sembab seperti habis menangis.
"Bagaimana hasil wawancaranya?" Tanya Judith tenang.
"Aku nggak mewawancara pria brengsek itu!" Jawab Eggi.
"Aku bicara dengan pimpinan Agencynya." Lanjut Eggi sambil duduk di sebelah Judith.
"Well, tapi Gerrian benar! Penampilanku memang payah!" Judith tertawa.
"Itu bukan sesuatu yang mengubah kecerdasan dan kredibilitasmu sebagai seorang wartawan, sekaligus penulis." Eggi menghibur Judith.
"Aku, bukannya tidak ingin berpenampilan baik dan berkelas. Namun, ada hal-hal yang harus lebih dulu kupenuhi sebelum membeli pakaian yang lebih layak. Selama masih bisa kupakai, aku akan tetap memakainya." Judith tersenyum getir.
"Nggak usah pikirin omongan pria tengik itu. Gue pastikan dia menyesal seumur hidupnya, sudah berani menghinamu!" Eggi menepuk bahu Judith.
Judith memandang Eggi yang tersenyum manis padanya.
Keadaan keuangan Judith memang tidak seberuntung gadis-gadis lainnya. Untuk saat ini, Judith lebih mengutamakan menyambung hidupnya dengan gaji pas-pasan yang didapatkan dari pekerjaannya.
Untuk bisa memiliki pakaian layak yang bagus, mungkin, Judith harus merelakan makan siang dan makan malamnya dilewatkan.
"Makan yuk, Aahh! Gue laper nih!" Kata Eggi berdiri dari bangku taman.
"Gue nggak laper! Loe kalau mau makan, Silakan! Gue bisa pulang naik bis!" Jawab Judith.
"Nggak mau! Nggak enak makan sendirian!" Eggi menarik tangan Judith dan memaksanya berdiri.
"Ihkk, loe narik-narik sampe maksa gini, kayak anak kecil!" Judith tergopoh-gopoh mengikuti langkah Eggi.
"Biarin!" Jawab Eggi pendek sambil terus berjalan dengan langkah-langkah lebar.
"Eggi, jangan cepet-cepet, donngg! Capek nihh! Ngejar kamunya!" Judith ngos-ngosan.
"Yehhh, sorry! Gue lupa kalau loe nggak setinggi gue! Hahahaha!" Eggi tertawa sendiri sambil tetap menggenggam tangan Judith dan menariknya, namum memperlambat langkahnya.
Ada perasaan aneh yang menyelinap di hati Judith. Terutama saat tangan Eggi yang kekar tapi halus itu menggenggam tangannya dengan erat.
"Mengapa hatiku jadi berdebar?" Judith bingung.
"Tuhhh! Ada warung Soto Ayam!" Eggi berteriak kegirangan.
"Ehhh, Iya!" Judith mengangguk.
Eggi masih tetap tak melepaskan genggaman tangannya saat memasuki warung Soto, seakan takut Judith kabur dan meloncat naik bis.