"Ehmm, Loe pernah nyobain kerjaan lain, selain jadi wartawan seperti ini?" Tanya Eggi.
"Hmmm, pernah! Bahkan berkali-kali Gonta-ganti pekerjaan. Nyobain usaha sendiri juga pernah sih!" Judith mengangguk.
"Sempet kerja dimana saja?" Eggi penasaran.
"Sales Oli mobil,sih! Itu yang paling lama. Hampir setahun, sebelum memutuskan untuk mulai menulis dengan serius." Judith mengingat-ingat.
"Sales Oli?" Eggi terkejut.
"Iya betul. Bukan yang paling menyenangkan juga! Tapi, karena butuh uang, ya dijalanin." Jawab Judith.
"Terus, kalau sedang prospek dan nego ke suatu bengkel, loe gaul sama mekanik juga dong?" Eggi terbelalak.
"Iyalah. Kalau enggak, mana bisa produknya masuk ke bengkelnya." Jawab Judith.
"Gede gajinya?"
"Hmmm, gaji pokok satu juta, uang makan perminggu tiga ratus lima puluh ribu. Kalau memenuhi target, dapet bonus. Kalau enggak, yahh cuma segitu aja dapetnya." Jawab Judith sambil menyedot lemon tea-nya.
"Dan loe hidup setiap bulan dengan uang segitu? Whoaaa, amazing. Kalau gue, duit segitu, dua hari juga sudah habis buat makan doang!" Jawab Eggi sambil berdecak kagum.
"Yahh, rejeki orang kan beda-beda. Saat itu, gue hanya mensyukuri aja yang ada. Masih bisa makan dan hidup juga, gue udah bersyukur banget." Jawab Judith.
Eggi mengangguk sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya. Rupanya, Judith termasuk tangguh dan sabar. Bahkan, wajahnya selalu nampak ceria seperti tidak memiliki beban hidup. Hanya terkadang saja, ada sorot kesedihan di balik sepasang mata coklat yang jernih itu.
"Loe tangguh banget. Gue aja nggak akan sanggup kalau kerja cuma dapet gaji segitu buat hidup." Eggi tersenyum.
Judith tertegun, Eggi terlihat sangat manis saat tersenyum, apalagi lesung pipinya. Membuatnya tambah betah memandanginya.
"Kalau loe, pernah kerja apa sebelum jadi kreator game sukses seperti sekarang ini?" Judith balik bertanya.
"Aku pernah ngajar di SMA. Sayangnya, murid-murid sama sekali nggak tertarik dengan rumus percepatan yang aku ajarkan. Well, sebenarnya, saat ini gue juga suka ngisi materi kuliah. Tentu saja tentang IT." Jawab Eggi sambil menyendok es campur yang baru saja dipesan buat cuci mulut.
"Wuihh, keren! Nggak aku kira, loe Akademisi juga. Pantas saja loe jengkel banget sama orang yang tadi. Masuk akal, Sih!" Judith menunjukkan kekagumannya.
"Thanks!" Jawab Eggi merasa senang dengan pujian itu.
Eggi merasa heran juga. Biasanya, perempuan yang berbincang dengannya, mengaguminya secara fisik, mengatakan dia tampan, imut bahkan sering juga kagum karena sekarang Eggi terkenal dan banyak uang.
Berbeda dengan perempuan dihadapannya, yang dia kagumi justru latar belakang pendidikannya.
Eggi sendiri merasa nyaman berbincang-bincang dengan Judith. Apa yang dia katakan, bahkan gerak-geriknya apa adanya tanpa mencoba menarik perhatiannya.
"Loe udah selesai makannya?" Tanya Eggi.
"Sudah! Kecuali kalau gue makan juga piringnya." Jawab Judith sambil nyengir
"Hahaha, ehh maksudku, kali aja mau yang lain."
"Nggak usah, ini sudah kenyang banget, kok!" Jawab Judith sambil mengambil dompet yang warnanya sudah bladus dari dalam tasnya.
Eggi meliriknya, lalu meminta bon kepada pelayan.
"Berapa?" Tanya Judith sambil deg-degan takut uangnya tidak cukup, saat pelayan memberikan struk dan kembalian kepada Eggi.
"Simpen aja duit loe! Cabut Yukk!" Ajak Eggi.
"Ehh, makasih banyak. Gue jadi di traktir makan siang." Tak lupa Judith mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama. Nggak usah di pikirkan, Tibang makan doang ini." Jawab Eggi.
Judith mengangguk. Dia masuk ke dalam mobil Eggi. Judith sih, seneng saja di traktir makan siang seperti itu. Eggi tidak tahu saja, kalau bagi Judith, beberapa ratus ribu yang Eggi keluarkan untuk makan siang, bisa untuknya bertahan hidup selama satu Minggu.
"Siapa lagi yang mau kita wawancara?" Tanya Eggi.
"Hari ini, cuma Pak Taufik doang. Kalau besok, kita ada dua orang yang harus di wawancara. Gerrian yang model itu, lalu Pak Gunawan, owner produk skincare pria." Jawab Judith sambil menggulir layar ponsel jadulnya.
"Jadi hari ini cuma itu saja jadwalnya? Terus loe mau kemana?" Tanya Eggi.
"Mungkin pulang saja. Sambil persiapan buat wawancara lagi besok, aku juga harus kirim laporan sama Madam." Jawab Judith setelah berpikir.
"Ya udah! Sekalian gue mau mau mampir belanja juga." Jawab Eggi sambil berbelok ke arah Jalan Rangga Wulung.
"Loe tinggal sendiri juga?" Tanya Judith.
"Iya. Cuma sering ada manajerku di rumah, dia juga merangkap asisten pribadi, kecuali urusan isi perut." Eggi terkekeh geli.
"Owhh yang waktu itu menerima telepon dariku, Ya?"
"Nah, itu dia. Duda bulukan yang doyan rebahan. Tapi dia jago dalam hal pemasaran. Karena itulah rancangan game yang sekarang, benar-benar mengandalkan kepintarannya cuap-cuap." Sahut Eggi.
"Hmm, gue pernah sih, main game yang loe buat. Yang Si Adon itu!" Kata Judith.
"Wahh, benarkah? Gimana menurutmu, bagus nggak?" Tanya Eggi senang.
"Baguslah! Apalagi itu kan yang paling banyak diunduh saat ini. Gue diracun sama Jodi." Judith memijat pelipisnya.
"Bilang Jodi, jangan keseringan juga mainnya. Takut matanya bermasalah. Gue aja minusnya gede. Repot!" Eggi menyarankan.
"Iya, ntar gue bilangin." Judith mengangguk.
"Yuk! Turun!" Eggi memarkir mobilnya di sebuah Supermarket besar di jalan Cikutra. Judith mengekornya ke dalam supermarket yang menyediakan bahan makanan.
Setelah mengecek suhu tubuh masing-masing, mereka masuk ke dalam supermarket. Eggi menyeret sebuah troli.
"Nggak ikut belanja?" Tanya Eggi.
"Hmmm nanti deh! Aku nemenin kamu saja." Judith nyengir.
Mana cukup uangnya buat memikirkan belanja. Ini baru awal Minggu, sedangkan uang makan baru turun nanti hari Jumat sebelum weekend.
Eggi mengangguk. Dia mengerti kalau keuangan Judith pas-pasan. Mereka berjalan menuju rak pajangan yang memajang mie instan. Eggi mengambil beberapa jenis dalam jumlah banyak. Sesudah itu, Eggi juga menimbang hampir empat kilo telur dalam plastik berbeda, memasukan dua pack beras isi sepuluh kilo, kopi, kornet, frozen food, camilan ringan, tak lupa roti, susu dan minuman kalengan.
"Wuihh, kalau melihat begini, loe bener-bener mirip Ibu rumah tangga ya?" Judith nyengir, memperlihatkan deretan giginya yang putih.
Eggi tersenyum. Mereka mengantri di kasir.
"Loe tunggu aja di kursi sana. Pegel kalau ikut ngantri." Kata Eggi sambil menunjuk deretan bangku besi.
"Owhh, Iya kalau begitu." Judith menurut dan berjalan menuju kursi.
Judith melihat Eggi di depan kasir yang menghitung belanjaannya. Eggi mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya. Setelah selesai, dia menghampiri Judith.
"Yuk, udah nih!" Kata Eggi sambil mendorong lagi troli ke perkiran.
Eggi meletakkan bungkusan belanjaan di kursi penumpang. Setelah itu, mobil meninggalkan Supermarket. Eggi mengantar Judith sampai ke gerbang kostan.
"Makasih udah dianterin!" Kata Judith.
"Sama-sama!" Jawab Eggi sambil berbalik ke belakang dan mengambil satu kantong besar belanjaan.
"Ini buat loe!" Eggi memberikan kantong belanjaannya pada Judith.
"Hah?" Judith terbelalak.
"Buat cadangan loe ngetik kerjaan, biar nggak bolak-balik ke warung." Kata Eggi.
Judith masih membelalakan matanya tak percaya.