Tutur kata sistematis, materi berbobot, bahasa tubuh penuh keyakinan, sisipan humor cerdas, serta penampilan memesona dari wanita itu menjadi sebuah harmoni yang berhasil menghipnotis para hadirin.
Shenata Angkara, adalah sosok pembicara publik yang selalu tampil tanpa cela di usianya yang masih muda.
Dua orang panitia penyelenggara yang duduk di dekat pintu masuk berbisik pada, junior Shenata yang selalu mengikuti tiap kali wanita itu tampil guna menyerap semua pembelajaran.
"Melihat Bu Shenata itu antara kagum dan iri, ya," bisik Marni, salah satu panitia bertumbuh gempal.
"Iya, pintar, cantik, ramah, dan jago banget bicara di depan orang banyak," imbuh Nur, panitia lain yang berkulit sawo matang.
"Bu Shenata memang luar biasa, Bu. Salah satu aset perusahaan yang paling berharga," jawab Brilyani. Ia sudah berulang kali mendengar pujian semacam itu dari mulut orang-orang yang terpukau dengan penampilan Shenata.
Sanjungan yang semakin membuat nyali Brilyani dan Herlin ciut untuk dapat mengikuti sepak terjang Shenata.
"Dia sudah menikah?" tanya Marni penasaran.
"Sudah, Bu. Sudah punya satu putri umurnya sekitar 4 tahun," sahut Herlin.
"Berapa umurnya Bu Shenata?" Marni kian dilanda rasa ingin tahu.
"Kalau tidak salah tahun ini 32 tahun." Herlin berusaha mengingat tahun kelahiran seniornya itu.
"Ya ampun, kok tidak kelihatan, masih seperti kepala 2." Marni semakin iri.
"Suaminya pasti ganteng banget," terka Nur. "Bu Shenata cakep begitu, pasti dapatnya juga pria tampan."
"Cakep banget, Bu. Anak pejabat terkenal, Yoga Dharmawangsa," sahut Brilyani menyebut nama salah satu pejabat penting di negara ini yang cukup terkenal karena menduduki jabatan strategis di pemerintahan.
"Wah ... ya pasti ganteng. Pak Yoga sudah tua saja masih terlihat tampan, istrinya juga cantik banget kan, ya?" timpal Nur.
Brilyani dan Herlin mengangguk bersamaan.
"Bu Shenata juga dari keluarga berada seperti suaminya?" Marni kembali menggali kehidupan wanita yang sedang beraksi di panggung.
Herlin mengangguk, lalu menjelaskan, "Bapaknya Bu Shenata juga pengusaha. Irwan Angkara, salah satu pengusaha pribumi yang sukses."
"Kadang kalau lihat orang macam Bu Shenata, jadi merasa Tuhan tidak adil. Semua dikasih ke dia, aku cuma disisain sedikit," keluh Marni bergurau yang disambut tawa kecil dari tiga orang lainnya.
Setelah satu jam memaparkan materi dan dilanjutkan dengan satu jam tanya jawab yang penuh dengan antusiasme dari hadirin, akhirnya sesi Shenata berakhir. Tepuk tangan meriah kembali menggema memenuhi penjuru ballroom berbarengan dengan turunnya Shenata dari panggung. Beberapa peserta seminar menghampiri, sekadar bertukar kartu nama atau meminta foto bersama.
Brilyani dan Herlin sudah sangat terbiasa melihat pemandangan itu. Dibanding pembicara lain dari Stariffic Public Speaking School - lembaga pelatihan di bidang komunikasi yang didirikan oleh Shenata dan teman-temannya - wanita itu adalah bintang yang paling bersinar. Bukan hanya karena kemampuan public speaking-nya yang mumpuni, tetapi juga penampilannya yang menawan dan sikapnya yang santun. Permintaan terhadap dirinya untuk menjadi pembicara selalu melampaui rekan-rekannya yang notabene adalah mantan penyiar, presenter, dan public figure terkenal.
Seorang pria berusia kepala empat mendekati Shenata yang masih dikelilingi banyak orang. Ia memperkenalkan diri seraya menyodorkan kartu namanya. "Angga Sadana," ucapnya dengan senyum yang menawan.
Shenata selintas melirik jabatan Angga di kartu nama, Direktur Pengembangan Bisnis salah satu perusahaan multinasional.
"Saya juga dulu nongkrongnya di Balsem, loh," ujar Angga. Balsem adalah singkatan dari Balik Semak, sebuah kantin yang terletak dekat Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Indonesia, kampus di mana Shenata meraih gelar Sarjana Komunikasi-nya. Latar belakang pendidikan Shenata yang sempat dibacakan oleh moderator diingat betul oleh Angga karena dijadikan amunisi untuk berbasa-basi.
Shenata tersenyum. Ia sudah sangat mengenal langkah para pria seperti Angga yang memanfaatkan tahta untuk memikat wanita. Namun, sebagai representasi lembaga dan demi menjaga reputasinya, ia tetap berusaha menyikapi dengan santun. "Oh ... Bapak dari FISIP juga?" tanyanya.
Angga semringah, merasa strateginya mengakrabkan diri berhasil. "Bukan, hanya sering main ke situ saja."
"Kalau zaman saya namanya berubah jadi Takor, Pak. Taman Korea, kemudian sekarang berubah lagi jadi Next Level of Balsem," sahut Shenata berusaha bersikap ramah.
"Wah ... sudah berubah banyak ya. Jadi berasa tua deh saya," ucap Angga.
Shenata hafal betul makna kalimat terakhir itu. "Tidak kelihatan tua, kok, Pak," ujarnya sengaja memakan umpan Angga.
"Ah ... bisa saja, Bu Shenata. Boleh saya minta kartu nama?"
"Tentu, Pak." Shenata menyodorkan kartu namanya.
"Master-nya ambil di mana?" tanya Angga sambil mengamati apakah ada nomor ponsel Shenata tertera di kartu nama tersebut. Senyum terkembang saat menemukan informasi yang diinginkannya. "Tadi saya tidak menyimak karena sambil mengurusi kerjaan via ponsel." Penjelasan tambahan yang merupakan kebohongan karena sebenarnya Angga ingat betul informasi tentang kampus di mana Shenata menempuh pendidikan paska sarjananya.
"UniMelb, University of Melbourne, Pak. Saya ambil Global Media Communication," jawab Shenata lengkap.
"Di Parkville, ya? Saya dulu ambil master-nya di Monash University, kampus Caulfield." Angga kembali mengedepankan kesamaan mereka. "Kalau Monash yang di Parkville untuk jurusan farmasi kalau tidak salah."
"Ya ampun, dunia sempit ya, Pak." Shenata tertawa dalam hati. Pria hidung belang macam ini sangat senang jika dianggap memiliki banyak kesamaan.
"Penampilan Anda tadi sangat luar biasa," sanjung Angga, pandangannya tidak lepas menatap wajah oval dan sepasang mata almond Shenata. "Suatu saat bersedia mengisi di kantor saya, ya."
"Dengan senang hati, Pak Angga." Shenata mengulas senyum di heart-shaped lips-nya, bibir dengan lekuk yang sempurna. Senyum yang membuat dada Angga dipenuhi desiran.
"Boleh kita foto bersama?" Angga menyerahkan ponselnya kepada panitia yang sejak tadi membantu mengambil foto para peserta dan Shenata.
Shenata mengangguk, memenuhi keinginan Angga.
"Terima kasih banyak, Bu Shenata," ucap Angga sambil menyodorkan tangannya hendak menyalami Shenata.
Shenata menyambut uluran tangan itu. Saat berjabat tangan, ia merasakan ujung jari Angga menggelitik telapak tangannya, memberikan sebuah isyarat. Isyarat yang sering sekali didapatnya saat pria menunjukkan ketertarikan dan memiliki niat khusus padanya.
"Sama-sama. Terima kasih juga, Pak Angga. Sukses selalu," sahut Shenata tenang. Ia tidak membalas kegenitan Angga, tapi juga tidak bersikap antipati.
Usai Angga berlalu, beberapa pria berniat serupa pun bergantian memperkenalkan diri. Kerumunan itu baru bubar setelah moderator memperkenalkan pemateri sesi selanjutnya.
"Silakan istirahat dulu sambil menikmati kudapan, Bu Shenata," ajak Marni sembari tangannya mempersilakan wanita itu berjalan ke luar ballroom.
"Terima kasih banyak, Bu Marni," sahut Shenata dengan senyum yang tetap mengembang. Bibirnya seperti tidak pernah berhenti membentuk lengkungan.
Di dekat pintu, Brilyani dan Herlin telah berdiri menanti.
"Penampilan keren as always, Bu," sanjung Brilyani begitu Shenata melintas di dekatnya.
"Terima kasih, Brilyani," jawab Shenata. "Suatu saat pun kau bisa menaklukan panggung." Ia memotivasi yuniornya sembari berjalan bersama ke luar ruangan.